• Puisi
  • TV Online
  • Radio online
  • Live score Bola
  • Film
  • Games
  • Tukar Link
  •  joyodrono
    Diberdayakan oleh Blogger.

    Menelusuri sejarah Medang Kahuripan

    OMENU
    PUTRA WILIS
    Berbagi Informasi Tanpa Menyakiti
    c


    c
    Menu

    Putra Wilis Cerita Rakyat MENELUSUR MISTERI MEDANG - KAHURIPAN.
    MENELUSUR MISTERI MEDANG - KAHURIPAN.

    Cerita Rakyat

    Oleh : Drs. Harmadi

    Pengantar
    Meskipun masyarakat Nganjuk dan sekitarnya yakin benar bahwa Sejarah
    berdirinya Kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur tidak dapat
    dilepaskan dari awal kemenangan Mpu Sindok melawan bala tentara Melayu
    (Sriwijaya) di wilayah Nganjuk sekarang pada awal abad ke X, namun
    nama Kerajaan yang dirintis oleh pendiri dinasti Isana itu sendiri
    masih terdapat kesimpang siuran penyebutan, ada sementara yang
    mengatakan Medang, ada sebagian yang mengatakan Medang ? Kamolan, ada
    yang Medang ? Kehuripan, dan bahkan ada yang hanya menyebut Kehuripan
    saja.
    Terlebih lagi dengan sangat minimnya bekas peninggalan dan tidak
    konsistennya pernyataan yang termuat dalam tiap prasasti peninggalan,
    lebih menyulitkan bagi peneliti sejarah untuk mengadakan kajian
    mendalam tentang situs yang diasumsikan sebagai lokasi yang bisa
    diyakini sebagai ibukota atau pusat pemerintahan kala itu.
    Tulisan ini hanya sebagai sumbangsih penulis melengkapi
    tulisan-tulisan terdahulu, sebagai warga Nganjuk yang merasa ikut
    peduli terhadap sejarah tanah kelahiran.
    Wassalam.

    I.MASA MPU SINDOK
    A.BABAT ANJUK LADANG
    Sebagaimana telah saya tulis pada edisi-edisi terdahulu, bahwa
    romantika sejarah perjuangan mPu Sindok dalam mempertahankan
    pemerintahan dan kedaulatan Mataran Hindu di Jawa Timur dari
    rongrongan Sriwijaya, menguras banyak tenaga dan pikiran serta waktu
    yang cukup lama. Strategi demi strategi, kekuatan demi kekuatan telah
    dikerahkan semaksimal mungkin, namun kekalahan masih selalu berada
    dipihaknya, dan tentara Sriwijaya masih selalu diatas angin
    Hal demikian jelas membuat kecil hati dan paniknya mPu Sindok
    menghadapi lawan yang memang tangguh dalam segala hal, yang memang
    jauh lebih unggul dalam mengatur strategi, persenjataan, pengalaman
    perang, maupun kuatnya dukungan logistik yang sangat memadai dan
    dipersiapkan untuk sebuah perang besar yang berkepanjangan (perang
    gejag).
    Dalam situasi terdesak dan terjepit seperti itu, telah menimbulkan
    pemikiran untuk mobilisasi umum, yaitu mengerahkan penduduk setempat,
    untuk bersama-sama berjuang melawan musuh kerajaan Mataram yang juga
    musuh para kawulo bersama. Pemberian motivasi bahwa kalau kerajaan
    sampai terjajah musuh, maka nasib para kawulo juga akan menderita
    diperbudak oleh penjajah, rupanya sangat mengena dihati rakyat.
    Dengan motivasi seperti itu, timbul kesadaran masyarakat setempat
    untuk mau berjuang bahu membahu bersama prajurit mPu Sindok melawan
    musuh bersama, walaupun mereka tidak pernah mengenal ilmu perang dan
    pengalaman berperang, dengan hanya bermodal persenjataan apa adanya,
    semuanya cancut tali wondo, holopis kontul baris, saiyek saeko proyo,
    dengan modal nekat, semuanya maju bersama melawan mush, menumpas habis
    bala tentara Sriwijaya di ladang pembantaian (killing field) di
    kalangan peperangan.
    Perjuangan besar itu membuahkan hasil gemilang, yaitu kemenangan
    gilang gemilang. Kemenangan yang diperoleh berkat sebuah strategi
    mobilisasi umum, telah mengangkat mPu Sindok naik ke derajat yang
    lebih tinggi dari kedudukan semula Rakai Hino, menjadi pemegang
    Singgasana Kerajaan baru yaitu Medang pada tahun 929 Masehi,
    mengakhiri dominasi wangsa Sanjaya Kerajaan Mataram Hindu yang
    berpusat di Jawa Tengah, dan mendirikan dinasti baru Isana dengan
    pusat pemerintahan di Jawa Timur, dengan abiseka nama (gelar
    kemaharajaan) Sri Isanawikramadharmatunggadewa.
    Sebagai wujud ucapan terima kasih atas bantuan penduduk memenangkan
    peperangan melawan tentara Melayu, dilokasi peperangan itu pada tahun
    937 Masehi, didirikan sebuah tugu peringatan (prasasti) Jaya Stamba,
    dimaksudkan sebagai catatan yang tak akan terlupakan sepanjang
    sejarah, bahwa karena bantuan penduduk setempat, maka kedaulatan
    Mataram Hindu tetap jaya, tidak jadi terlepas ketangan musuh, dan
    karena kemenangan itu pula telah mengantarkan mPu Sindok menjadi
    seorang Maharaja di Medang.
    Bersamaan dengan peresmian Jaya Stamba, dilokasi yang sama dilakukan
    juga peresmian Jaya Mrta dengan ujud sebuah Candi dari bahan batu bata
    merah, yang kemudian oleh masyarakat dinamakan dengan Candi Lor sampai
    sekarang.
    Barangkali didirikan dan diresmikannya Candi Jaya Mrta, dimaksudkan
    bahwa kekuasaan telah hidup kembali, terlepas dari ancaman yang nyaris
    menamatkan riwayat, dan diharapkan ditempat yang baru, Kerajaan Medang
    akan hidup abadi, bahkan akan berkembang mencapai puncak kejayaannya
    (air amrta adalah air yang dapat mengekalkan kehidupan dalam kisan
    Samudramanthana).
    Rangkaian kisah heroik yang diawali dari perlawanan terhadap
    kedatangan bala tentara Sriwijaya devisi Jambi di Pelabuhan Bandar
    Alim Tanjunganom, kemudian jebolnya pertahanan Marganung dan
    terjebaknya tentara Melayu oleh kepiawaian olah strategi yang
    dimainkan oleh mPu Sindok di ladang pembantaian, serta ide persatuan
    Nusantara yang tercetus di Bumi Anjuk Ladang, kiranya dapat dianggap
    bahwa babad Anjuk Ladang, merupakan awal dari berdirinya
    kerajaan-kerajaan besar yang berpusat di Jawa Timur seperti Kerajaan
    Medang sendiri, Kerajaan Kediri, Singosari maupun Mojopahit.

    B.UPACARA PENETAPAN SIMA
    Selain peresmian Jaya stamba dan Jaya Mrta, juga ditetapkan Anjuk
    Ladang sebagai Sima Swatantra.
    Arti harafiah ?Sima? menurut Supratikno Raharjo (2002) adalah ?batas?,
    yaitu tiang batu yang dipasang sebagai tanda batas suatu daerah yang
    memiliki status ?istimewa? yang diberikan oleh penguasa kepada wateg
    (desa) tertentu, dalam hal ini adalah pemberian status istimewa dari
    Maharaja mPu Sindok kepada Desa Anjuk Ladang berupa status Sima
    Swatantra.
    Sebelum dilakukan upacara penetapan Sima, selalu didahului dengan
    pembukaan lahan sawah baru, dari yang semula lahan tegal, pekarangan
    maupun hutan.
    Adapun upacara pemberian status istimewa ini didahului dengan suatu
    rangkaian susunan acara yang menurut Haryono (1980) adalah sebagai
    berikut :
    1.Pemberian pasek-pasek atau hadiah kepada para pejabat.
    2.Meletakkan saji-sajian untuk upacara
    3.Makan dan minum bersama
    4.Melakukan aktifitas ritual yang disebut makawitha dan makamwang
    5.Duduk bersama di witana (bangsal yang dibangun khusus untuk
    keperluan itu), mengelilingi watu sima dan watu kelumpang, dengan
    posisi sebagai berikut :
    -Sebelah Utara : Para pejabat wakil pemerintah pusat
    -Sebelah Timur : Para ibu, sangsang, dan wakil dari tetangga sekitar
    -Sebelah Selatan : Sang watuha patih (barangkali pejabat setingkat
    Camat sekarang) dan para kepala desa tetangga
    -Sebelah Barat : Sang Makudur (pemimpin upacara) dan para pejabat
    keagamaan desa
    -Posisi Tengah : Tempat watu kelumpang/watu Sima (batu pusaka)
    6.Memotong leher ayam dengan landasan Watu Kelumpang dan membanting
    telor serta menaburkan abu yang dilakukan oleh Sang Makudur didampingi
    Pamget Wadihati.
    7.Membakar dupa sambil mengucapkan kutukan terhadap yang melanggar
    ketentuan Sima dikemudian hari.
    8.Menyembah kepada Sang Hyang Sima Watu Ketumpang
    9.Membungkus sisa makanan dengan daun untuk dibawa pulang (dibrekat Jw)
    10.Pertunjukan kesenian.
    Bunyi kutukan adalah sebagai berikut : ?Jika pergi ke hutan akan
    dimakan ular berbisa, jika pergi ke ladang akan disambar petir
    meskipun pada musim kemarau, jika pergi ke bendungan akan tenggelam
    disambar buaya?.
    Sedangkan arti simbolis dari urutan acara ke 6, diharapkan bahwa si
    pelanggar akan menemui petaka seperti ayam yang telah dipisahkan
    antara badan dan kepalanya, akan hancur lebur seperti telor yang telah
    dipecahkan, dan seperti nasib kayu yang menjadi abu karena terbakar,
    atau bahkan si pelanggar akan mendapatkan lima kemalangan besar
    (pancamaha pataka) selama jangka waktu yang tidak terbatas (Haryono,
    1980).
    Kepala Sima sebagai wakil resmi Raja di Sima Swatantra Anjuk Ladang,
    mempunyai wewenang dan kewajiban sebagai berikut :
    1.Mengatur jalannya pemerintahan di wilayah Sima Anjuk Ladang,
    terutama yang berkaitan dengan masalah pajak.
    2.Kepala Sima bertanggung jawab atas keberhasilan penarikan segala
    macam jenis pajak, yaitu pajak bumi, perdagangan dan jenis-jenis usaha
    diwilayahnya, serta membagikan kepada pihak-pihak yang berhak
    menerima, seperti untuk bangunan-bangunan suci yang ada diwilayahnya.
    3.Memelihara, menjaga kebersihan dan kesucian bangunan suci, serta
    mengadakan perbaikan dimana perlu.
    4.Menyelenggarakan upacara ritual, pemujaan dan persembahan kepada
    bathara, sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan.
    5.Menetapkan besar kecilnya denda apabila terjadi pelanggaran
    diwilayahnya (sukhadhuka dan kalahayu).
    6.Menjaga keamanan dan ketertiban didaerahnya.
    7.Berhak untuk mengerahkan dan mengatur tenaga kerja bhakti untuk
    perbaikan saranan dan prasaranan umum.

    C.SISTEM PEMERINTAHAN
    Selain sebagai seorang panglima perang yang ahli dalam mengatur siasat
    perang, mPu Sindok juga menunjukkan bakatnya sebagai negarawan handal
    yang kreatif dan banyak akal, dan senantiasa berfikir demi
    kesempurnaan sistim Pemerintahan Kerajaan Medang yang dipimpinnya.
    Meskipun dia sendiri bukan putra mahkota atau bahkan bukan keturunan
    Raja, namun pengalaman selama pengabdiannya di Kerajaan Mataram
    (Hindu), merupakan pengalaman berharga untuk melakukan
    pembenahan-pembenahan.
    Dalam sebuah prasasti yang diketemukan didaerah Tengaran (Jombang),
    disebutkan bahwa mPu Sindok memerintah bersama istrinya, Rakryan Sri
    Parameswari Sri Wardhani Pu Kbi (Drs.Santoso, 1971), dan dalam
    prasasti Bakalan (934 M) menyebutkan berisi perintah Rakryan Mangibil
    (isteri mPu Sindok lainnya) untuk membangun 3 buah Dawuhan di
    Kalihunan, Wwatan Wulus dan Wwatan Tamya.
    Sedangkan dalam prasasti lainnya yang ditulis pada jaman yang sama,
    tanpa menyebut nama istri atau isteri-isterinya. Dengan demikian
    kiranya dapat diasumsikan bahwa :
    1.mPu Sindok memerintah Medang bersama-sama/didampingi oleh
    isteri/isteri-isterinya
    2.Isteri/isteri-isterinya adalah keturunan Raja, sehingga sebetulnya
    berhak menjadi Raja, namun karena anggapan bahwa derajad laki-laki
    lebih tinggi daripada perempuan, kedudukan Raja diberikan kepada suami
    3.Isterinya menduduki jabatan tertentu di pemeirntahan seperti Raja
    daerah, yang diberi kewenangan untuk mengeluarkan prasasti sendiri
    dengan sepengetahuan Raja.
    Penyempurnaan struktur tata pemerintahan dari model Jawa Tengah ke
    Jawa Timur, sebagaimana dapat diamati dari beberapa prasasti berangka
    tahun yang dikeluarkannya, seperti :
    1.Prasasti Turyyan (929 M) yang menurut penelitian de Cas paris, 1988
    menyebutkan tentang pengelompokan para pejabat berdasarkan strata
    tingkatan jabatan dan kepangkatan, serta siapa-siapa yang disebut
    Rakai, Rakryan, Samget, mPu, Sang, Dyah, Si dan lain-lain.
    Menurut de Casparis, bahwa jabatan Wakai Kanuruhan menduduki jabatan
    paling penting sesudah mahamantri (mahamantri Rakai Wka)
    Para Rakai mempunyai pegawai sendiri-sendiri yang disebut
    parujar-ujar. Begitu pula Rakryan dan Samget juga mempunya
    parujar-ujar sendiri.
    2.Mulai dikenal sebutan rakryan mapinghe kalih atau mahapatih yang 2
    (dua) orang yaitu Rakai 1 Hino dan Rakai Wka. Barangkali dengan
    pembagian tugas yang kemudian dikenal dengan sebutan patih njero dan
    patih njobo.
    3.Mulai ada jabatan kepala Protokol Kerajaan, yaitu Rakai Kanuruhan
    dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang lebih luas baik didalam
    karaton maupun di luar, seperti kewenangan menetapkan dan memungut
    pajak pada para pedagang asing (po hawang /nahkoda kapal asing)
    4.Ada kelompok jabatan tanda rakryan ring pakira-kiran, yaitu kelompok
    jabatan khusus yang menerima langsung pemerintah Raja tanpa melalui
    perantara, kurang lebih semacam Aspri sekarang.

    D.AGAMA, SASTRA DAN ILMU PENGETAHUAN
    Sri Isanawikramadharmattunggadewa (mPu Sindok) pada saat memerintah
    Kerajaan Medang, sangat memperhatikan perkembangan agama, Ilmu
    Pengetahuan dan Sastra Jawa. Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau
    ketiganya mengalami perkembangan yang signifikan.
    Ketiga ilmu tersebut saling kait-mengkait dan berhubungan satu sama
    lain. Beberapa padepokan dan mandala-mandala didirikan untuk mendidik
    para cantrik dan sisya (siswa) untuk memperdalam berbagai ilmu.
    Beberapa siswa dikirim ke Nelanda (India Utara) menyerap ilmu bagi
    kepentingan Medang. Karya sastra yang diterbitkan dan cukup populer
    sampai saat ini adalah :
    1.Kitab Sang Hyang Kamahayanikam
    Sebuah kitab aliran Budha Mahayana berbahasa Sanskerta, berisi
    tuntunan dharma dan tata cara bersemedi menurut aliran Mahayana, dan
    ajaran tentang praktek Yoga yang diharuskan melalui bimbingan Guru.
    Selain itu juga berisi tentang bentuk penyucian jiwa raga dan harta
    dalam bentuk dana paramitha, yakni kesempurnaan pemberian derma, misal
    jenis makanan yang enak-enak, minuman yang manis-manis dan harum,
    diberikan kepada orang yang membutuhkan. Emas, pakaian, uang dan tanah
    di dermakan untuk fasilitas umum dll.
    Melihat bahasa yang dipergunakan dalam kitab tersebut Sanskerta, jelas
    menunjukkan bahwa Medang betul-betul telah berhubungan dengan Benggala
    India Utara asal bahasa tersebut, yang saat itu sedang diperintah oleh
    dinasti Cola yang sangat terkenal dengan perguruan tingginya di
    Nelanda. Dengan demikian asumsi yang dapat dikemukakan adalah :
    a.Kitab tersebut dikarang oleh pujangga pendatang dari Benggala, atau
    b.Ditulis oleh bangsa sendiri lulusan Nelanda dan ingin menunjukkan
    kemampuannya berbahasa Sanskerta.
    Perlu kami tambahkan bahwa untuk pergi belajar ke luar negeri, calon
    siswa harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari Rakai Kanuruhan,
    yang berarti para siswa adalah tugas belajar dari negara (Kerajaan).
    2.Kitab Brahmandapuruna
    Yaitu kitab suci agama Hindu Saiwa, berbahasa Jawa Kuno, terdiri dari
    beberapa parwa, berisi tentang Kosmologi, kosmogoni, astronomi dan
    cerita-cerita kuno yang dikumpulkan dari cerita-cerita yang hidup
    dikalangan rakyat mengenai kehidupan par adewa, penciptaan dunia dan
    lain-lain, yang pada intinya memuat 5 hal (pancalaksana), yaitu :
    a.Sarga, tentang penciptaan alam semesta
    b.Pratisarga, tentang penciptaan kembali dunia setiap kali dunia
    lenyap (kiamat).
    Menurut kitab ini bahwa berlangsungnya dunia sekarang hanyalah selama
    satu hari Brahma.
    c.Wamsa, menguraikan tentang asal usul para Dewa dan Rsi (pendeta tertinggi)
    d.Manwantarani, berisi tentang pembagian waktu, yaitu satu hari Brahma
    terbagi dalam 14 masa. Dalam setiap masa manusia itu dicipta kembali
    sebagai keturunan Manu, manusia pertama (Adam)
    e.Wamsanucarita, berisi tentang sejarah Raja-raja yang memerintah diatas dunia.
    Kosmologi sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang
    alam semesta sebagai sistem yang beraturan, dan kosmogoni yang
    mempelajari tentang asal mula terjadinya benda-benda langit dan alam
    semesta, serta astronomi yang mempelajari tentang matahari, bulan,
    bintang dan planet-planet lainnya, sangat penting dipelajari untuk
    pengembangan ilmu pengetahuan, agama dan pertanian.
    Tidak hanya bagi wariga (ahli perhitungan musim untuk pertanian)
    perhitungan waktu merupakan hal yang sangat penting, tapi Kerajaan
    maupun masyarakat luas sangat membutuhkan juga perhitungan-perhitungan
    tersebut dalam setiap kali akan melakukan aktifitasnya, termasuk
    memulainya peperangan, pindah rumah, perhelatan, kegiatan pertanian,
    kelautan dan lain-lain.
    Untuk hitungan hari dalam satu pekan (Minggu) terdapat hitungan yang
    lima hari (Poncowolo), enam hari (Sadworo) dan tujuh hari dalam satu
    pekan/minggu yang disebut dengan saptoworo.
    Hitungan lima hari dalam satu pekan (poncowolo) sampai sekarang masih
    dikenal oleh masyarakat, walaupun sedikit telah mengalami pergeseran
    penulisan dan pengucapan.
    -Pahing, biasa disingkat dengan Pa saja
    -Pwan, sekarang Pon, disingkat Po
    -Wagai, sekarang Wage, disingkat Wa
    -Kaliwuan, sekarang Kliwon, disingkat Ka
    -Umanis, sekarang Legi, disngkat U/Ma
    Hitungan Sadworo atau enam hari dalam satu pekan, sekarang sudak tidak
    dikenal, namun demikian selengkapnya adalah :
    -Tunglai, disingkat Tu/Tung
    -Haryang, disingkat Ha
    -Warukung, disingkat Wu
    -Paniruan, disingkat Pa
    -Was, disingkat Wa
    -Mawulu, disingkat Ma
    Disamping Poncowolo dan Sadworo, ada hitungan hari yang tujuh, yaitu Saptoworo
    -Aditya (A/Ra)
    -Soma (So)
    -Anggoro (Ang)
    -Budho (Bu)
    -Wrhaspati (Wr)
    -Cukrau (Cu)
    -Sainascara (sa)
    Nama-nama bulan dikenal dengan istilah antara lain :
    -Magha (Januari ? Pebruari)
    -Phalguno (Pebruari ? Maret)
    -Caitra (Maret ? April)
    -Bodro (Agustus ? September)
    -Asuji (September ? Oktober)
    -Karttiko (Oktober ? Nopember)
    Upacara dan persembahan sesaji yang dilakukan secara teratur dan tetap
    menurut kebutuhan maupun kesepakatan pranata Agama menurut kalender,
    misal :
    -Pratidina, yaitu upacara sesaji yang dilakukan setiap hari, untuk
    bangunan-bangunan keagamaan tertentu
    -Pratimasa, yaitu upacara/sesaji yang dilakukan setiap bulan sekali
    -Angken bisuwakala, yaitu upacara keagamaan yang dilakukan dua kali
    dalam setiap tahun. Biasanya diselenggarakan pada bulan Caitra dan
    Asuji
    -Asuji, Badra, Karttika, yaitu upacara yang dilaksanakan setahun
    sekali pada bulan Asuji, Badra dan Karttika.
    Sebagai persyaratan pokok sesaji, salahs atu perlengkapannnya adalah
    potongan-potongan kecil kayu Cendana yang untuk wilayah Anjuk Ladang
    tidak terlalu sulit mencarinya, karena sejak dahulu kala telah
    tertanam dan merupakan perkebunan yaitu di Desa Ngetos, Kecamatan
    Ngetos, yang sampai sekarang masih disakralkan.
    Selain bahan sesaji, potongan-potongan kecil (tatal) kayu Cendana
    biasa dikunyah oleh para wiku dan Rsi di Padepokan, serta merupakan
    kebiasaan sebagai aroma penyegar mulut.

    E.UKURAN TAKARAN DAN TIMBANGAN
    Pada masa mPu Sindok memerintah Kerajaan Medang tahun 929 ? 947
    Masehi, telah dikenal satuan ukuran, takaran dan timbangan yang
    dipergunakan untuk berbagai keperluan jual beli dan keperluan lainnya,
    misal :
    -Ukuran luas : tampah, suku
    -Ukuran panjang : dpa
    -Takaran : Catu
    -Ukuran berat : masa, pikul, bantal, kati, tahil
    -Ukuran emas : Suwarna (Su)
    -Ukuran perak : dharono
    -Manusia atau binatang besar : prono
    -Ukuran kain : wdihan, wdihan yu, ken
    -Yang bisa dipegang tangan, misal padi : Agem dll
    Contoh penggunaan ukuran tersebut sebagaimana terpahat antara lain
    pada prasasti Hering atau Prasasti Kujon Manis Tanjunganom (934 M)
    yang inti isinya sebagai berikut :
    ?Pada tahun 859 Saka atau 934 Masehi, pada bulan Phalguno (Pebruari ?
    Maret) telah terjadi transaksi pembelian tanah yang sangat luas oleh
    pejabat Desa (Samget) Marganung Pu Danghil dari beberapa orang
    penduduk desa (+ 26 orang), seluas 6 tampah 1 suku, seharga 5 kati 9
    suwarna atau sekitar 3.773,36 gram emas.
    Prasasti tersebut juga mencatat besarnya pasek-pasek atau pemberian
    hadiah yang harus diberikan kepada para pejabat yang berkompeten mulai
    tingkat kerajaan sampai pejabat tingkat bawah, berupa wdihan yu,
    dengan ketentuan sebagai berikut :
    -Raja mendapatkan 5 wdihan yu
    -2 orang mahapatih (I hino pu sahasra dan rakai wka Pu Baliswara)
    masing-masing 6 wdihan yu
    -Rakai Sirikan pu Balyang 6 yu
    -Rakai kanuruhan Pu Pikatan dan pu Sata masing-masing 1 wdihan yu
    -Pu Rita 5 wdihan yu
    -Dan seterusnya
    Keterangan :
    -Wdihan adalah sebutan untuk kain yang biasanya dikenakan oleh kaum
    pria yang sekarang dikenal dengan bebet
    -Wdihan yu,a dalah seperangkat pakaian laki-laki termasuk iket (udeng Jw)
    -Satu tampah + 20.250 M2
    -Satu suku + 0,25 tampah
    -Suwarna (Su) = ukuran satuan emas
    -Dharana = ukuran satuan perak
    -Kati (Ka) = 20 tahil = + 750 ? 768 gram
    -Satu tahil (ta) + 38 gram
    -Satu bantal = 20 kati
    -Satu pikul = 5 bantal = 100 kati = 75 kg
    Selain hitungan ukuran diatas, pada jaman mPu Sindok dikenal hitungan
    untuk volume (isi) yang biasanya dipergunakan untuk takaran beras atau
    minyak dan rempah-rempah, yaitu satuan Catu. Catu dibuat dari batok
    kelapa yang dipotong bagian atasnya (dikrowaki Jw). Ukuran satu catu +
    300 ? 450 mililiter.

    F.PERTANIAN
    Beras merupakan bahan makanan pokok penduduk Medang, diproduksi oleh
    sebagian besar masyarakat petani dengan memanfaatkan lembah Sungai
    Brantas yang terkenal subur sebagai lahan produksi.
    Untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok tersebut, dilakukan berbagai
    usaha ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi
    yaitu dengan pembukaan sawah secara besar-besaran yang antara lain
    melalui pranata penetapan Sima, dimana kegiatannya selalu didahului
    dengan pembukaan kebun, padang rumput, tegal ataupun hutan dijadikan
    sawah produktif.
    Selain melalui ekstensifikasi, dilakukan juga intensifikasi penunjang
    pertanian dengan pengaturan sistem pengairan yang memadai untuk
    men-suply kebutuhan air bagi pertanian, disamping pemanfaatan yang
    lain seperti usaha perikanan dan rekreasi.
    Untuk itu dibangun fasilitas infrastruktur, yang dalam skala kecil
    dikelola oleh masyarakat sendiri, seperti : talang, weluran,
    urung-urung dan tambak. Sedangkan yang beskala besar dikelola oleh
    Kerajaan, seperti misal bangunan Dawuhan dan Bendungan, sebagaimana
    tertulis pada prasasti Bakalan (934 M) maupun prasasti Sarangan (929
    M) yang keduanya mengatur sistem pengairan Kali Kunto.
    Dalam prasasti Bakalan tersebut berisi perintah dari Rakryan Mangibil
    (isteri Raja Sindok) untuk membuat bangunan 3 buah dawuhan, yakni
    Kaliwuhan, Wwtan Wulas dan Wwtan Tamya, yang kemudiannya diketahui
    bahwa dulunya dawuhan Tamya tersebut berukuran 175 x 350 m, yang dapat
    menampung air sebanyak + 350.000 M3.
    Bendungan yang lain adalah di Wwtan Mas (Bajulan Loceret) yang kelak
    akan melahirkan sederetan dongeng Panji Semirang/Ande-ande lumut.
    Hasil produksi beras Kerajaan Medang melalui pola ekstensifikasi dan
    intensifikasi pada akhirnya melimpah ruah, surplus bagi konsumsi
    masyarakat Medang sendiri, hingga sangat memungkinkan untuk dijadikan
    bahan komoditi perdagangan antar pulau di luar ibukota Medang.
    Akibat perdagangan itulah yang kemudian meramaikan dermaga-dermaga
    seperti : Bandaralim (Demangan ? Tanjunganom), Dermaga Ujung Ngkaluh
    (Jombang) maupun Kembang Putih (Tuban).

    Sumber : Putra Wilis
    Di tulis Oleh :


    Translate to : by

    postingan ini berkategori dengan judul Menelusuri sejarah Medang Kahuripan . Jangan lupa menyertakan URL http://joyodrono-cahmabung.blogspot.com/2016/11/menelusuri-sejarah-medang-kahuripan.html . Jika ingin memposting ulang . Terima kasih!

    Belum ada komentar untuk " Menelusuri sejarah Medang Kahuripan "

    On Facebook

    Pengikut

    On Twitter

    News Google