iki jamane wes tuo
akeh musibah sing teko
iku tondo gusti ngelingno
tapi menungso tetep ra kroso
........
Inilah Islam Indonesia
Mungkin ini jawaban foto
Islam Kejawaan (Taddaburan/maiyahan) di Indonesia.
Alhamdulillah, akhir-akhir ini orang merasakan manfaatnya Nahdlatul
Ulama (NU). Dulu, orang yang paling bahagia, paling sering merasakan
berkahnya NU adalah keluarga orang yang sudah meninggal : setiap hari
dikirimi doa dan tumpeng.
Hari ini begitu dunia dilanda kekacauan, ketika Dunia Islam galau: di
Afganistan perang sesama Islam, di Suriah perang sesama Islam, di
Irak, perang sesama Islam. Semua ingin tahu, ketika semua sudah jebol,
kok ada yang masih utuh: Islam di Indonesia.
Akhirnya semua ingin kesini, seperti apa Islam di Indonesia kok masih
utuh. Akhirnya semua sepakat: utuhnya Islam di Indonesia itu karena
memiliki jamiyyah NU. Akhirnya semua pingin tahu NU itu seperti apa.
Ternyata, jaman dulu ada orang Belanda yang sudah menceritakan santri
NU, namanya Christia Snouck Hurgronje. Dia ini hafal Alquran, Sahih
Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu'in , tapi tidak
islam, sebab tugasnya menghancurkan Islam Indonesia.
Mengapa? Karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan
Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri.
Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok
melawan Belanda.
Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari
rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk. Snouck Hurgronje
masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Dia
belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya
paham betul Islam.
Hanya saja begitu ke Indonesia, Snouck Hurgronje bingung: mencari
Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu. Ternyata Islam yang
dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje itu tidak ada.
Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya Pangeran. Ketemunya
Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada Gusti
namanya Gusti Kanjeng. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya
sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak ketemu, ketemunya kiai.
Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla tidak
ketemu, ketemunya langgar.
Maka, ketika Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu Van Der Plas. Ia
menyamar dengan nama Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar
bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa
Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.
Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees. Orang disini
makanannya nasi (sego). Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahu bahasa
beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz .
Yang disebut ruz, ketika di sawah, namanya pari, padi. Disana masih
ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana
masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah mulai kucluk , korslet.
Begitu ditutu, ditumbuk, digiling, mereka masih mahami ruz, rice ,
padahal disini sudah dinamai gabah. Begitu dibuka, disini namanya
beras, disana masih ruz, rice . Begitu bukanya cuil, disini namanya
menir, disana masih ruz, rice. Begitu dimasak, disini sudah dinamai
sego , nasi, disana masih ruz, rice.
Begitu diambil cicak satu, disini namanya
upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang,
disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur
kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan
hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.
Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing.
Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam
Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge nglinting
(berkopiah miring dan bersarung ngelinting). Kedua, mambu rokok (bau
rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).
Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje
di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang
lain sudah biasa. Maka, jangankan Snouck Hurgronje, orang Indonesia
saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di
tanah Arab.
Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang bid'ah . Melihat
tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid'ah. Padahal
itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi tidak
paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan
sebutan "Muhammad" saja. Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil
"Mas". Padahal orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi.
Lha , akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia.
Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia,
Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati
(essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia.
Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab.
Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga
makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke
Indonesia.
Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu
peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum
terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp
20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang
berpendidikan, sulit, dikasih uang Rp 10 juta belum tentu mau.
Islam datang ke Eropa juga dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang
kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa di Nusantara ini sedang
kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian ini bukan bangsa kecoak. Ini karena
ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai
2/3 dunia, namanya Majapahit.
Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia
ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang
menjadi rujukan adanya di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya
bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya
Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar
dan kaya-raya.
Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam penggambaran
Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya mengalir), seperti kali.
Kata orang disini: "mencari air kok sampai surga segala? Disini itu,
sawah semua airnya mengalir." Artinya, pasti bukan itu yang
diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya
banyak juga tidak, karena disini juga banyak buah. Artinya dakwah
disini tidak mudah.
Diceritain pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang Widhi.
Diceritain Ka'bah orang jawa juga sudah punya stupa: sama-sama batunya
dan tengahnya sama berlubangnya. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal
Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni.
Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari
raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang
Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama
hindu. Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang
Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.
Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur
atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin
dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai
negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama.
Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra .
Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam
dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu
pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh
bicara soal agama.
Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya,
bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta paria,
yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet,
namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta
Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.
Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan
Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu
bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.
Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini mau memakan
manusia. Namanya aliran Bhirawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti
Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa
melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa
atau murco.
Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak
minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil
dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak
bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha
ini terus menjadi jenglot atau batara karang.
Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk
gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah,
namanya ilmu ngrogoh sukmo . Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari
ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan
Pancamakara.
Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan dikenyangi, laki-laki
perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging
manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks
bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.
Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak
banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan
tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul
orang-orang macam Sumanto.
Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak
mencuri namanya
ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika
sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka
kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.
Ada 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh
orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi,
maka Khalifah Turki Utsmani mengirim kembali tentara ulama dari Iran,
yang tidak bisa dimakan orang Jawa.
Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang
Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh
Subakir. Di Jawa ini di duduki bala tentara Syekh Subakir, kemudian
mereka diusir.
Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap,
Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa
Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu,
Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka
dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro.
Karena Syekh Subakir sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya
namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim
Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah,
anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak,
melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik.
Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok
Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah,
melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air
biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti
kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan.
Kalau ada orang banyak komentar mem-bid'ah -kan, ceritakanlah ini.
Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena
NU termasuk yang masih mengurusi beginian.
Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid
Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap di
daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh
Jumadil Kubro.
Disana dia punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat,
membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk
Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif
Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan
Padjajaran. Maka kemudian ada Rara Santang, Kian Santang dan
Walangsungsang.
Nah , Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama Maulana Ishak
dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan
Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas
mengislamkan Majapahit.
Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya
pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat
sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu,
pohon pisang anda bisa ditebang.
Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat
petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan : "....
masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar'in ahraja sat'ahu
fa azarahu fastagladza fastawa 'ala sukıhi yu'jibuz zurraa, li yagidza
bihimul kuffar………"
Artinya: "…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu
menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan
hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………"
Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, kemudian hamil,
kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti
orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya
hamil? Jawabannya adalah padi.
Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi.
Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau
diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.
Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau menanam
shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam syaikhun,
ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun , disini
sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu,
menanamnya tidak kelihatan.
Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat syahadat, jadi
kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi langgar. Sampai
itu jadi bahasa masyarakat. Yang paling sulit mememberi pengertian
orang Jawa tentang mati.
Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati
(tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan.
Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena
ini prinsip. Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan
dengan reinkarnasi. Bagaimana caranya?
Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian
di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.
Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka
tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan:
mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang
begitu, mudah hafal dengan tembang.
Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi:
ndang baliyo, Sri, ndang baliyo . Lihat lintang, nyanyi: yen ing
tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali
nyucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok, menthok, tak kandhani,
mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran.
Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok silit, gudighen.
Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu ditembangkan.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang
bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa
membaca perkara Empat.
Keempat perkara itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika
turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia.
Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah
padatnya keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu
depan.
Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini
penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur
dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat
bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia.
Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. "Dul, turun ya,". "Iya,
Ya Allah". "Alastu birabbikum?" (apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?).
"Qalu balaa sahidnya," (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang
nyawa,. "fanfuhur ruuh" (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka
daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging
ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A'raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu'min:
67, ed. )
Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya,
yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang
tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya
ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya
ganteng dan cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.
Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat.
Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, ada di
dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas
menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin
qarin dan hafadzah.
Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer. Ini metode
mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur
tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok
ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya
Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.
Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji
Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa,
kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa
billahil 'aliyyil 'adzim . Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri,
yang dibaca aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa.
Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya
Fattaahu Ya Razzaaqu , kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan
kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.
Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat.
Kiai yang 'alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama
tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang.
Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah
terbakar.
Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya
utuh; sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering
yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu
bedanya nur dengan nar.
Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang yang awalan,
Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo , sabut ngapati,
mitoni , ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk
imunisasi.
Maka menurut NU ada ngapati, mitoni,
karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami
tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau
lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya
kambing satu.
Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu, bekalilah
dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ,
ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah
main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing,
potong saja kailnya.
Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama,
akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi
anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.
Apalagi, setelah Sinom, tembangnya asmorodono , mulai jatuh cinta. Tai
kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati. Setelah itu manusia
disusul tembang Gambuh , laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah
tangga, rabi, menikah.
Setelah Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan manis dan
pahitnya kehidupan. Setelah Dhandanggula , menurut Mbah Sunan Ampel,
manusia mengalami tembang Dhurma.
Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga setelah
berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk
makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana?
Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain?
Khairunnas anfa'uhum linnas , sebaik-baik manusia adalah yang
bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi
tidak darma bakti, kesusul tembang Pangkur.
Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki
sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk
masjid kesusul tembang Megatruh : megat, memutus raga beserta
sukmanya. Mati.
Terakhir sekali, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi,
kalau Islam Pucung . Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan
pintu kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya :
siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).
Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir.
Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: "Man
rabbuka?" , dijawab: "Awwloh,". Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir
apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.
Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib buru-buru menghentikan: "Jangan
disiksa, ini lidah Jawa". Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na,
ca, ra, ka . "Apa sudah mau ngaji?"kata Mungkar – Nakir. "Sudah, ini
ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal".
"Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal
yang dimaafkan oleh Allah."
Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, "Man
rabbuka?" , menjawab, "Ha……..???". langsung dipukul kepalanya:
"Plaakkk!!". Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng
, takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh malaikat,
di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti
tarangan bodhol , ajur mumur seperti gedhebok bosok.
Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah –
mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan
bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti
ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!
Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada
musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok :
nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang,
gung . Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya
disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu.
Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini ini: kelihatannya
disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!. Sudah
hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju
putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.
Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin
akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke
Sanghyang Agung. Fafirru illallaah , kembalilah kepada Allah.
Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan
Bonang.
Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar
bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga:
mawar, kenanga dan kanthil.
Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu
kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti
ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho , ini
piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga,
yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh
Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.
Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu:
tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir
Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo
royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu
sanopo lambang shalat.
Disini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol: kolo-kolo teko ,
janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung. Blimbing itu
bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak cah angon
ayo memanjat mangga.
Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak
shalat, kita beda. Disana, shalat 'imaadudin, lha shalat disini,
tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun.
Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil
jam segitu masih disawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri kayu.
Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang
adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang.
Padahal tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai
pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana , – sambil
tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna
lanakunanna minal khasirin.
Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk.
Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro….. . Sampai
pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok
tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di
urugi anjang-anjang……. , langsung deh, para ma'mum buruan masuk. Itu
tumbuhnya dari situ.
Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat
disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allahu Akbar
, matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor,
ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya
membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah
shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.
Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek,
geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho,
sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang
sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan
dengan keras, agar ma'mum tahu apa yang sedang dibaca imam.
Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi
ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan
nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair:
kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud
tahun gajah.
Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam, agar masyarakat
disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak
(tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil
'aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk
menjadi rahmat bagi alam semesta.
Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang
sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran
kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya
dimiliki orang Jawa.
Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur
melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal
baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan
pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang
mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.
Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari' terbaik dari Gresik.
Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang
mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang
seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai
paham Islam.
Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam
dengan hukum, tidak dengan budaya. "Urusanmu kan bukan urusan agama,
tetapi urusan negara," kata Sunan Kalijaga. "Untuk urusan agama,
mengaji, biarlah saya yang mengajari," imbuhnya.
Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai
dan tidak menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga
memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:
Gundul-gundul pacul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
Gundul itu kepala. Kepala itu ra'sun. Ra'sun itu pemimpin. Pemimpin
itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal
itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.
Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah
tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat.
Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah
tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.
Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan
wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika
nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul
pacul. Inilah cara orang dulu, landai.
Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam
ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada
Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung
Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.
Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi. Khatib Dayan
belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali
ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.
Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan,
menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang
dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.
Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya
tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa
kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun
wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.
Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama
wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum
raa'in wa kullukum mas uulun 'an ra'iyatih ; bahwa Rasulullah
mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada sesuatu yaitu
pertanggungjawaban.
Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggung jawabkan disebut ra'iyyah.
Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra'iyyah atau
rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.
Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama
Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran
wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan
nama Jam'iyyah Nahdlatul Ulama.
Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan
Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama.
Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama,
orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya
muridnya ulama.
Meski, nama ini tidak gagah. KH Ahmad Dahlan menamai organisasinya
Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi,
namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran,
gagah namanya. Lha ini "hanya" Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di
desa juga ada yang hutang rokok.
Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari
ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid
Nabi namanya Sahabat. Murid sahabat namanya tabi'in . Tabi'in bukan
ashhabus-shahabat , tetapi tabi'in , maknanya pengikut.
Murid Tabi'in namanya tabi'it-tabi'in , pengikutnya pengikut. Muridnya
tabi'it-tabi'in namanya tabi'it-tabi'it-tabi'in , pengikutnya
pengikutnya pengikut. Lha kalau kita semua ini namanya apa? Kita
muridnya KH Hasyim Asy'ari.
Lha KH Hasyim Asy'ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai Asyari
mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya
namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai
Abdul Halim, Boyolali.
Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul Wahid itu murid
Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar murid
Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid
Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng.
Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid
Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil
Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid
Abdul Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib
Mirbath.
Kemudian murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid
Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir,
murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid
Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja'far Shodiq, murid
Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir
hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain,
murid Sayiidina Ali karramallahu wajhah . Nah, ini yang baru muridnya
Rasulullah saw.
Kalau begini nama kita apa? Namanya ya
tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka
cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.
Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis
Alquran. Maka tidak ada mushaf
Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat
ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.
Untuk siapa? Untuk para tabi'in yang tidak bertemu Alquran. Maka
ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman.
Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi'in harus mengajari dibawahnya.
Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit
tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda "titik"
oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.
Tabiin wafat, tabi'it tabi'in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak
cukup, kemudian diberi "harakat" oleh Syekh Kholil bin Ahmad
al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah.
Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Alquran
semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang
Andalusia diajari " Waddluha" keluarnya " Waddluhe".
Orang Turki diajari " Mustaqiim" keluarnya " Mustaqiin". Orang Padang,
Sumatera Barat, diajari " Lakanuud " keluarnya " Lekenuuik ". Orang
Sunda diajari " Alladziina " keluarnya " Alat Zina ".
Di Jawa diajari " Alhamdu" jadinya " Alkamdu ", karena punyanya ha na
ca ra ka . Diajari " Ya Hayyu Ya Qayyum " keluarnya " Yo Kayuku Yo
Kayumu ". Diajari " Rabbil 'Aalamin " keluarnya " Robbil Ngaalamin"
karena punyanya ma ga ba tha nga.
Orang Jawa tidak punya huruf " Dlot " punyanya " La ", maka " Ramadlan
" jadi " Ramelan ". Orang Bali disuruh membunyikan " Shiraathal…"
bunyinya " Sirotholladzina an'amtha 'alaihim ghairil magedu bi'alaihim
waladthoilliin ". Di Sulawesi, "' Alaihim" keluarnya "' Alaihing ".
Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 hijriyyah,
seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran ,
namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak
paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.
Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika
dzikir dan diam, hatinya "online" langsung kepada Allah SWT. Kalau
kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur.
Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.
Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka'bah. Muridnya ulama
dibangunkan Ka'bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus,
namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang
se-kampung.
Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang mengantar pulangnya belok
ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid ulama.
Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia,
Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum
pelajarannya ulama.
Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir, karena
muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini
makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir.
Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi,
pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di
akhirat ketika "wa tasyhadu arjuluhum ," ada saksinya. Orang disini,
ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca Alquran.
Maka diadakan semaan Alquran.
Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa
mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya
kosong, di telinga ada Alqurannya.
Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia.
Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak
serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah sahadat jadi
kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu.
Ini terkesan ulama dahulu tidak 'alim. Ibarat pedagang, seperti
pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam
Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat
terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari
Indonesia.
Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: islam
kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi. Dilihat dari sini, saya
meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan
sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris.
Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul
Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok
ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban,
tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang.
Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka,
anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga
jamiyyah Nahdlatul Ulama. Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi
organisasi terbesar di dunia.
Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran
120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai
saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali
matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah
bagaimana. Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad,
urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam
mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad saw.
sumber : Agus Sunyoto Lesbumi
Islam Kejawaan (Taddaburan/maiyahan) di Indonesia.
Alhamdulillah, akhir-akhir ini orang merasakan manfaatnya Nahdlatul
Ulama (NU). Dulu, orang yang paling bahagia, paling sering merasakan
berkahnya NU adalah keluarga orang yang sudah meninggal : setiap hari
dikirimi doa dan tumpeng.
Hari ini begitu dunia dilanda kekacauan, ketika Dunia Islam galau: di
Afganistan perang sesama Islam, di Suriah perang sesama Islam, di
Irak, perang sesama Islam. Semua ingin tahu, ketika semua sudah jebol,
kok ada yang masih utuh: Islam di Indonesia.
Akhirnya semua ingin kesini, seperti apa Islam di Indonesia kok masih
utuh. Akhirnya semua sepakat: utuhnya Islam di Indonesia itu karena
memiliki jamiyyah NU. Akhirnya semua pingin tahu NU itu seperti apa.
Ternyata, jaman dulu ada orang Belanda yang sudah menceritakan santri
NU, namanya Christia Snouck Hurgronje. Dia ini hafal Alquran, Sahih
Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu'in , tapi tidak
islam, sebab tugasnya menghancurkan Islam Indonesia.
Mengapa? Karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan
Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri.
Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok
melawan Belanda.
Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari
rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk. Snouck Hurgronje
masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Dia
belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya
paham betul Islam.
Hanya saja begitu ke Indonesia, Snouck Hurgronje bingung: mencari
Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu. Ternyata Islam yang
dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje itu tidak ada.
Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya Pangeran. Ketemunya
Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada Gusti
namanya Gusti Kanjeng. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya
sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak ketemu, ketemunya kiai.
Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla tidak
ketemu, ketemunya langgar.
Maka, ketika Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu Van Der Plas. Ia
menyamar dengan nama Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar
bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa
Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.
Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees. Orang disini
makanannya nasi (sego). Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahu bahasa
beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz .
Yang disebut ruz, ketika di sawah, namanya pari, padi. Disana masih
ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana
masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah mulai kucluk , korslet.
Begitu ditutu, ditumbuk, digiling, mereka masih mahami ruz, rice ,
padahal disini sudah dinamai gabah. Begitu dibuka, disini namanya
beras, disana masih ruz, rice . Begitu bukanya cuil, disini namanya
menir, disana masih ruz, rice. Begitu dimasak, disini sudah dinamai
sego , nasi, disana masih ruz, rice.
Begitu diambil cicak satu, disini namanya
upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang,
disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur
kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan
hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.
Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing.
Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam
Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge nglinting
(berkopiah miring dan bersarung ngelinting). Kedua, mambu rokok (bau
rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).
Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje
di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang
lain sudah biasa. Maka, jangankan Snouck Hurgronje, orang Indonesia
saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di
tanah Arab.
Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang bid'ah . Melihat
tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid'ah. Padahal
itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi tidak
paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan
sebutan "Muhammad" saja. Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil
"Mas". Padahal orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi.
Lha , akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia.
Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia,
Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati
(essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia.
Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab.
Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga
makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke
Indonesia.
Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu
peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum
terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp
20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang
berpendidikan, sulit, dikasih uang Rp 10 juta belum tentu mau.
Islam datang ke Eropa juga dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang
kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa di Nusantara ini sedang
kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian ini bukan bangsa kecoak. Ini karena
ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai
2/3 dunia, namanya Majapahit.
Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia
ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang
menjadi rujukan adanya di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya
bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya
Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar
dan kaya-raya.
Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam penggambaran
Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya mengalir), seperti kali.
Kata orang disini: "mencari air kok sampai surga segala? Disini itu,
sawah semua airnya mengalir." Artinya, pasti bukan itu yang
diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya
banyak juga tidak, karena disini juga banyak buah. Artinya dakwah
disini tidak mudah.
Diceritain pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang Widhi.
Diceritain Ka'bah orang jawa juga sudah punya stupa: sama-sama batunya
dan tengahnya sama berlubangnya. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal
Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni.
Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari
raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang
Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama
hindu. Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang
Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.
Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur
atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin
dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai
negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama.
Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra .
Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam
dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu
pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh
bicara soal agama.
Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya,
bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta paria,
yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet,
namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta
Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.
Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan
Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu
bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.
Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini mau memakan
manusia. Namanya aliran Bhirawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti
Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa
melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa
atau murco.
Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak
minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil
dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak
bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha
ini terus menjadi jenglot atau batara karang.
Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk
gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah,
namanya ilmu ngrogoh sukmo . Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari
ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan
Pancamakara.
Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan dikenyangi, laki-laki
perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging
manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks
bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.
Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak
banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan
tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul
orang-orang macam Sumanto.
Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak
mencuri namanya
ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika
sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka
kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.
Ada 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh
orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi,
maka Khalifah Turki Utsmani mengirim kembali tentara ulama dari Iran,
yang tidak bisa dimakan orang Jawa.
Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang
Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh
Subakir. Di Jawa ini di duduki bala tentara Syekh Subakir, kemudian
mereka diusir.
Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap,
Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa
Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu,
Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka
dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro.
Karena Syekh Subakir sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya
namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim
Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah,
anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak,
melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik.
Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok
Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah,
melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air
biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti
kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan.
Kalau ada orang banyak komentar mem-bid'ah -kan, ceritakanlah ini.
Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena
NU termasuk yang masih mengurusi beginian.
Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid
Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap di
daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh
Jumadil Kubro.
Disana dia punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat,
membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk
Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif
Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan
Padjajaran. Maka kemudian ada Rara Santang, Kian Santang dan
Walangsungsang.
Nah , Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama Maulana Ishak
dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan
Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas
mengislamkan Majapahit.
Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya
pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat
sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu,
pohon pisang anda bisa ditebang.
Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat
petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan : "....
masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar'in ahraja sat'ahu
fa azarahu fastagladza fastawa 'ala sukıhi yu'jibuz zurraa, li yagidza
bihimul kuffar………"
Artinya: "…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu
menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan
hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………"
Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, kemudian hamil,
kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti
orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya
hamil? Jawabannya adalah padi.
Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi.
Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau
diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.
Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau menanam
shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam syaikhun,
ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun , disini
sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu,
menanamnya tidak kelihatan.
Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat syahadat, jadi
kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi langgar. Sampai
itu jadi bahasa masyarakat. Yang paling sulit mememberi pengertian
orang Jawa tentang mati.
Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati
(tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan.
Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena
ini prinsip. Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan
dengan reinkarnasi. Bagaimana caranya?
Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian
di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.
Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka
tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan:
mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang
begitu, mudah hafal dengan tembang.
Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi:
ndang baliyo, Sri, ndang baliyo . Lihat lintang, nyanyi: yen ing
tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali
nyucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok, menthok, tak kandhani,
mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran.
Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok silit, gudighen.
Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu ditembangkan.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang
bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa
membaca perkara Empat.
Keempat perkara itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika
turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia.
Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah
padatnya keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu
depan.
Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini
penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur
dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat
bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia.
Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. "Dul, turun ya,". "Iya,
Ya Allah". "Alastu birabbikum?" (apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?).
"Qalu balaa sahidnya," (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang
nyawa,. "fanfuhur ruuh" (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka
daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging
ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A'raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu'min:
67, ed. )
Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya,
yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang
tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya
ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya
ganteng dan cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.
Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat.
Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, ada di
dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas
menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin
qarin dan hafadzah.
Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer. Ini metode
mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur
tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok
ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya
Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.
Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji
Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa,
kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa
billahil 'aliyyil 'adzim . Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri,
yang dibaca aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa.
Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya
Fattaahu Ya Razzaaqu , kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan
kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.
Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat.
Kiai yang 'alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama
tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang.
Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah
terbakar.
Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya
utuh; sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering
yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu
bedanya nur dengan nar.
Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang yang awalan,
Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo , sabut ngapati,
mitoni , ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk
imunisasi.
Maka menurut NU ada ngapati, mitoni,
karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami
tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau
lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya
kambing satu.
Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu, bekalilah
dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ,
ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah
main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing,
potong saja kailnya.
Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama,
akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi
anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.
Apalagi, setelah Sinom, tembangnya asmorodono , mulai jatuh cinta. Tai
kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati. Setelah itu manusia
disusul tembang Gambuh , laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah
tangga, rabi, menikah.
Setelah Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan manis dan
pahitnya kehidupan. Setelah Dhandanggula , menurut Mbah Sunan Ampel,
manusia mengalami tembang Dhurma.
Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga setelah
berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk
makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana?
Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain?
Khairunnas anfa'uhum linnas , sebaik-baik manusia adalah yang
bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi
tidak darma bakti, kesusul tembang Pangkur.
Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki
sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk
masjid kesusul tembang Megatruh : megat, memutus raga beserta
sukmanya. Mati.
Terakhir sekali, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi,
kalau Islam Pucung . Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan
pintu kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya :
siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).
Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir.
Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: "Man
rabbuka?" , dijawab: "Awwloh,". Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir
apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.
Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib buru-buru menghentikan: "Jangan
disiksa, ini lidah Jawa". Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na,
ca, ra, ka . "Apa sudah mau ngaji?"kata Mungkar – Nakir. "Sudah, ini
ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal".
"Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal
yang dimaafkan oleh Allah."
Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, "Man
rabbuka?" , menjawab, "Ha……..???". langsung dipukul kepalanya:
"Plaakkk!!". Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng
, takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh malaikat,
di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti
tarangan bodhol , ajur mumur seperti gedhebok bosok.
Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah –
mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan
bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti
ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!
Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada
musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok :
nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang,
gung . Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya
disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu.
Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini ini: kelihatannya
disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!. Sudah
hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju
putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.
Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin
akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke
Sanghyang Agung. Fafirru illallaah , kembalilah kepada Allah.
Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan
Bonang.
Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar
bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga:
mawar, kenanga dan kanthil.
Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu
kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti
ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho , ini
piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga,
yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh
Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.
Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu:
tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir
Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo
royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu
sanopo lambang shalat.
Disini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol: kolo-kolo teko ,
janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung. Blimbing itu
bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak cah angon
ayo memanjat mangga.
Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak
shalat, kita beda. Disana, shalat 'imaadudin, lha shalat disini,
tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun.
Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil
jam segitu masih disawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri kayu.
Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang
adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang.
Padahal tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai
pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana , – sambil
tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna
lanakunanna minal khasirin.
Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk.
Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro….. . Sampai
pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok
tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di
urugi anjang-anjang……. , langsung deh, para ma'mum buruan masuk. Itu
tumbuhnya dari situ.
Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat
disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allahu Akbar
, matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor,
ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya
membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah
shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.
Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek,
geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho,
sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang
sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan
dengan keras, agar ma'mum tahu apa yang sedang dibaca imam.
Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi
ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan
nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair:
kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud
tahun gajah.
Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam, agar masyarakat
disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak
(tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil
'aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk
menjadi rahmat bagi alam semesta.
Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang
sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran
kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya
dimiliki orang Jawa.
Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur
melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal
baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan
pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang
mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.
Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari' terbaik dari Gresik.
Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang
mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang
seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai
paham Islam.
Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam
dengan hukum, tidak dengan budaya. "Urusanmu kan bukan urusan agama,
tetapi urusan negara," kata Sunan Kalijaga. "Untuk urusan agama,
mengaji, biarlah saya yang mengajari," imbuhnya.
Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai
dan tidak menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga
memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:
Gundul-gundul pacul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
Gundul itu kepala. Kepala itu ra'sun. Ra'sun itu pemimpin. Pemimpin
itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal
itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.
Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah
tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat.
Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah
tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.
Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan
wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika
nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul
pacul. Inilah cara orang dulu, landai.
Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam
ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada
Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung
Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.
Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi. Khatib Dayan
belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali
ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.
Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan,
menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang
dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.
Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya
tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa
kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun
wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.
Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama
wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum
raa'in wa kullukum mas uulun 'an ra'iyatih ; bahwa Rasulullah
mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada sesuatu yaitu
pertanggungjawaban.
Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggung jawabkan disebut ra'iyyah.
Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra'iyyah atau
rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.
Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama
Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran
wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan
nama Jam'iyyah Nahdlatul Ulama.
Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan
Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama.
Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama,
orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya
muridnya ulama.
Meski, nama ini tidak gagah. KH Ahmad Dahlan menamai organisasinya
Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi,
namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran,
gagah namanya. Lha ini "hanya" Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di
desa juga ada yang hutang rokok.
Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari
ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid
Nabi namanya Sahabat. Murid sahabat namanya tabi'in . Tabi'in bukan
ashhabus-shahabat , tetapi tabi'in , maknanya pengikut.
Murid Tabi'in namanya tabi'it-tabi'in , pengikutnya pengikut. Muridnya
tabi'it-tabi'in namanya tabi'it-tabi'it-tabi'in , pengikutnya
pengikutnya pengikut. Lha kalau kita semua ini namanya apa? Kita
muridnya KH Hasyim Asy'ari.
Lha KH Hasyim Asy'ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai Asyari
mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya
namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai
Abdul Halim, Boyolali.
Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul Wahid itu murid
Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar murid
Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid
Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng.
Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid
Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil
Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid
Abdul Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib
Mirbath.
Kemudian murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid
Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir,
murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid
Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja'far Shodiq, murid
Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir
hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain,
murid Sayiidina Ali karramallahu wajhah . Nah, ini yang baru muridnya
Rasulullah saw.
Kalau begini nama kita apa? Namanya ya
tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka
cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.
Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis
Alquran. Maka tidak ada mushaf
Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat
ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.
Untuk siapa? Untuk para tabi'in yang tidak bertemu Alquran. Maka
ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman.
Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi'in harus mengajari dibawahnya.
Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit
tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda "titik"
oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.
Tabiin wafat, tabi'it tabi'in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak
cukup, kemudian diberi "harakat" oleh Syekh Kholil bin Ahmad
al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah.
Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Alquran
semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang
Andalusia diajari " Waddluha" keluarnya " Waddluhe".
Orang Turki diajari " Mustaqiim" keluarnya " Mustaqiin". Orang Padang,
Sumatera Barat, diajari " Lakanuud " keluarnya " Lekenuuik ". Orang
Sunda diajari " Alladziina " keluarnya " Alat Zina ".
Di Jawa diajari " Alhamdu" jadinya " Alkamdu ", karena punyanya ha na
ca ra ka . Diajari " Ya Hayyu Ya Qayyum " keluarnya " Yo Kayuku Yo
Kayumu ". Diajari " Rabbil 'Aalamin " keluarnya " Robbil Ngaalamin"
karena punyanya ma ga ba tha nga.
Orang Jawa tidak punya huruf " Dlot " punyanya " La ", maka " Ramadlan
" jadi " Ramelan ". Orang Bali disuruh membunyikan " Shiraathal…"
bunyinya " Sirotholladzina an'amtha 'alaihim ghairil magedu bi'alaihim
waladthoilliin ". Di Sulawesi, "' Alaihim" keluarnya "' Alaihing ".
Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 hijriyyah,
seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran ,
namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak
paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.
Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika
dzikir dan diam, hatinya "online" langsung kepada Allah SWT. Kalau
kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur.
Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.
Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka'bah. Muridnya ulama
dibangunkan Ka'bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus,
namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang
se-kampung.
Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang mengantar pulangnya belok
ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid ulama.
Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia,
Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum
pelajarannya ulama.
Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir, karena
muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini
makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir.
Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi,
pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di
akhirat ketika "wa tasyhadu arjuluhum ," ada saksinya. Orang disini,
ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca Alquran.
Maka diadakan semaan Alquran.
Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa
mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya
kosong, di telinga ada Alqurannya.
Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia.
Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak
serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah sahadat jadi
kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu.
Ini terkesan ulama dahulu tidak 'alim. Ibarat pedagang, seperti
pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam
Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat
terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari
Indonesia.
Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: islam
kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi. Dilihat dari sini, saya
meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan
sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris.
Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul
Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok
ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban,
tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang.
Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka,
anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga
jamiyyah Nahdlatul Ulama. Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi
organisasi terbesar di dunia.
Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran
120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai
saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali
matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah
bagaimana. Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad,
urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam
mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad saw.
sumber : Agus Sunyoto Lesbumi
Menyusuri sejarah Mbah Ngaliman ( Sedudo ) - Naganjuk
#Telisik Makam Mbah Ngaliman
-----------------------------------------
Berdirinya sebuah negara atau daerah termasuk Nganjuk yang dikenal
sebagai Bumi Anjuk Ladang, tentu tidak terlepas dari sejarah
perjuangan masa lampau, para leluhur, atau nenek moyang yang telah
babad alas, hingga tumbuh dan berkembang seperti sekarang ini.
Pada saat para wisatawan yang akan menikmati indahnya air terjun
Sedudo, di dekat pintu gerbang obyek wisata akan menjumpai lokasi
makam yang disebut makam Ki Ageng Ngaliman. Bagaimana sejarahnya ?
*
Berdasarkan data dan informasi yang direkam oleh Tim Penelusuran
Sejarah Ngaliman yang melibatkan berbagai nara sumber baik yang berada
di daerah Ngliman antara lain :
Mbah Iro Karto (sesepuh masyarakat), Drs. Sumarsono (Kades Ngliman)
Parmo (Mantan Kades Ngliman) , Suprapto (mantan Kades Sidorejo),
Imam Syafi'i (Juru Kunci Makam), Sumarno (Kamituwo),
Sarni (Jogoboyo) maupun nara sumber yang berada diluar daerah Ngliman
antara lain:
Kyai Ahmad Suyuti (Ngetos),
KH. Qolyubi (Keringan),
KH. Moh. Huseini Ilyas (Karang Kedawang , Trowulan Mojokerto).
*
KH. Moh. Huseini Ilyas ini merupakan salah satu keturanan Ki Ageng
Ngaliman Gedong Kulon, maka tersusunlah tulisan seperti di bawah
ini.Di Desa Ngliman terdapat dua makam yang sama-sama disebut Ki Ageng
Ngaliman. Akan tetapi guna membedakan kedua makam tersebut maka
digunakan sebutan :
.
a. Makam Gedong Kulon ;
b. Makam Gedong Wetan.
Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon
Ki Ageng Ngaliman dimakamkan di Desa Ngliman Kecamatan Sawahan + 50
Meter sebelah selatan Balai Desa Ngliman. Beliau dimakamkan
bersama-sama dengan para sahabat dan pengikutnya. Dalam satu kompleks
bangunan makam tersebut terdapat enam makam antara lain :
a. Ki Ageng Ngaliman ;
b. Pengeran Pati ;
c. Pangeran Kembang Sore ;
d. Pangeran Tejo Kusumo ;
e. Pangeran Blumbang Segoro ;
f. Pangeran Sumendhi.
*
Menurut nara sumber dari Ngliman bahwa di pintu depan Makam Ki Ageng
Ngaliman terdapat gambar bintang, kinjeng, ketonggeng, burung dan
bunga teratai. Gambar-gambar tersebut kemungkinan menunjukkan makna
tersendiri, namun sampai saat ini penulis belum bisa mengungkapkannya.
*
Ki Ageng Ngaliman berasal dari Solo Jawa Tengah. Ketika Surakarta
digempur oleh Belanda, maka oleh Nur Ngaliman yang pada waktu itu
menjabat sebagai Senopati Keraton Surakarta dengan sebutan Senopati
Suroyudo, Keraton Surakarta dikocor secara melingkar dengan air kendi.
Akibat dari tindakan tersebut kendaraan pasukan Belanda luluh, waktu
masuk keraton seperti masuk sarang angkrang, akhirnya beliau ditemui
oleh Nabi Khidir agar menemui sanak saudaranya yang ada di Karang
Kedawang Trowulan Mojokerto.
*
Ki Ageng Ngaliman masih keturunan Arab dan mempunyai anak sebanyak 21
orang. Keterangan ini diperoleh dari salah satu keturunan Ki Ageng
Ngaliman yang bernama KH. Huseini Ilyas. Perang di Solo tersebut
melibatkan kaum Cina yang dikenal dengan sebutan Perang Gianti pada
sekitar tahun + 1720 M. (sumber : KH. Qolyubi).
*
SILSILAH KI AGENG NGALIMAN menurut KH. Huseini Ilyas adalah : RONGGOWARSITO
NUR FATAH
NUR IBRAHIM
SYEH YASIN SURAKARTA
NUR NGALIMAN/ SENOPATI SUROYUDO ---MUSYIAH
I L Y A S
KH. HUSEINI ILYAS (TROWULAN MOJOKERTO)
*
Perjalanan Hidupnya KH. Qolyubi tokoh ulama asal Kelurahan
Mangundikaran itu berpendapat bahwa aktifitas yang dilakukan Ki Ageng
Ngaliman adalah untuk mempersiapkan perjuangan melawan Belanda dengan
diadakan pelatihan fisik dan mental yang bertempat di Padepokan yang
sampai saat ini disebut Sedepok, dan di Sedudo yang letaknya di Puncak
Gunung Wilis. Perjuangan tersebut ditujukan guna memerangi Pemerintah
Belanda yang sedang ikut mengendalikan pemerintahan di Kasultanan
Surakarta.
Dasar pemikiran yang melatarbelakangi hijrahnya Ki Ageng Ngaliman dari
Solo ke Nganjuk adalah karena Nganjuk merupakan wilayah Kasultanan
Mataram sehingga juga berguna untuk menghindari kecurigaan maka Ki
Ageng Ngaliman melatih prajuritnya menetap di daerah Nganjuk yang
merupakan wilayah kasultanan Mataram. Sehingga terjadilah kepercayaan
bahwa siapa saja yang menyebut nama Kyai Ageng Ngaliman akan mati
dimakan binatang buas sebab memang beliau dirahasiakan namanya agar
supaya tidak diketahui oleh Kasultanan Solo.
*
Dalam perjalanan waktu menurut cerita bahwa desa Kuncir asal usulnya
dari murid Ki Ageng Ngaliman yang meninggal dalam perjalanan di tempat
tersebut, dia adalah seorang cina yang waktu itu cina memakai rambut
yang dikuncir/dikepang sehingga tempat meninggalnya murid Ki Ageng
Ngaliman tersebut di sebut Desa Kuncir.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ki Ageng
Ngaliman merupakan seorang Kyai yang mempunyai keahlian nggembleng
ulah kanuragan keprajuritan. Bagi masyarakat Ngliman, karomah yang
dirasakan sampai saat ini adanya ketentraman dan kedamaian dalam
kehidupannya.
*
Mengingat Ki Ageng Ngaliman yang mempunyai keahlian neggembleng ulah
kanuragan keprajuritan maka banyak pusaka yang ditinggalkannya. Ki
Ageng Ngaliman masih mempunyai peninggalan berupa tanah di depan
Masjid Ngaliman sehingga oleh perangkat dusun waktu itu tanah tersebut
dibangun sebuah tempat yang disebut dengan Gedong Pusaka dan
peninggalan pusakanya Ki Ageng Ngaliman di tempatkan di Gedong pusaka
tersebut. Sebenarnya pusaka Ki Ageng Ngaliman cukup banyak tetapi ada
yang dicuri orang sehingga yang ada di Gedong Pusaka saat ini hanya
ada beberapa pusaka.
*
Berdasarkan nara sumber dari Ngliman bahwa yang berada dan disimpan
digedong pusoko antara lain :
a. Kyai Srabat ; (Hilang tahun 1976)
b. Nyai Endel ; (Hilang tahun 1976)
c. Kyai Berjonggopati; (Hilang tahun 1949 saat klas Belanda kedua)
d. Kyai Trisula ; (Hilang tahun 1949 saat klas Belanda kedua)
e. Kyai Kembar
f. Dalam bentuk Wayang antara lain : Eyang Bondan, Eyang Bethik, Eyang
Jokotruno, Kyai Panji, dan Nyai Dukun
g. Kamar 1 buah
h. Kotak Wayang Kayu 1 buah
i. Terbang
j. Almari tempat pusaka 2 buah
k. Tempat Plandean Tumbak
Pada bulan Suro diadakan jamasan pusaka Ki Ageng Ngaliman dan dikirap
mengelilingi Desa Ngliman.
*
Air terjun yang ada di Ngliman sebenarnya banyak sekali antara lain :
Sedudo, Segenting, Banyu Iber, Banyu Cagak, Banyu Selawe, Toyo Merto,
Tirto Binayat, Banyu Pahit, Selanjar dan Singokromo.Sedangkan yang
mudah dan bisa dikunjungi adalah Sedudo dan Singokromo. Sedangkan yang
lainnya seperti Banyu Cagak, Banyu Selawe, Banyu Iber hanya bisa
dikunjungi dengan jalan setapak. Adapun air yang paling besar adalah
Air terjun Banyu Cagak. Menurut pendapat dari Bapak Sarni (Jogoboyo
Ngliman) bahwa untuk pengembangan Wisata perlu dibangun kolam renang
di Ganter dan dibuatkan perkemahan.
*
Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan
Makam Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan terletak di Desa Ngliman + 100 M
ke arah timur dari Kantor Desa Ngliman.
Mbah Iro Karto maupun KH. Qolyubi berpendapat bahwa Ki Ageng Ngaliman
Gedong Wetan adalah keturunan dari Gresik. Menurut sejarah telah
disepakati bahwa setiap pengangkatan Sultan yang dinobatkan terutama
dari keturunan Demak harus mendapat restu dari keturunan Giri Gresik.
Hal ini disebabkan karena sewaktu kerajaan Majapahit runtuh, oleh wali
9 yang diangkat menjadi Sultan adalah Kanjeng Sunan Giri. Setelah 100
hari setengah riwayatnya 40 hari, kesultanan dihadiahkan kepada Raden
Patah.
*
Hal ini untuk menghindari citra bahwa Raden Patah merebut kekuasaan
dari ayahnya sendiri. Dengan demikian setiap pergantian Sultan Demak
yang menobatkan adalah keturunan Kanjeng Sunan Giri. Setelah
kasultanan Pajang runtuh, Sultan Hadiwijoyo pindah ke Mataram. Dengan
kejadian ini terjadi silang pendapat didalam keluarga Giri. Diantara
keluarga yang tidak setuju dan kalah suara menyingkir ke Ngliman dan
menyebarkan agama Islam di Ngliman yang kemudian dimakamkan di Ngliman
Gedong Wetan, Karena beliau lebih cenderung pada keturunan Demak Asli.
Kemudian kepergian beliau ditelusuri oleh orang Demak asli bernama
Dewi Kalimah yang kemudian meninggal dan dimakamkan di Kebon Agung.
Rentang waktu antara Ngaliman Gedong Wetan dengan Ngaliman Gedong
Kulon terpaut waktu antara + 200 tahunan. Lebih tua Gedong Wetan.
Setelah Ngaliman Gedong Wetan meninggal, keluarganya diboyong ke
Kudus.
*
Demikian hasil penelusuran sumber sejarah mengenai riwayat Ki Ageng
Ngaliman yang dihimpun dari berbagai nara sumber mudah-mudahan dapat
bermanfaat bagi pengembangan obyek wisata religius. Dasar pemikiran
yang sangat sederhana ini mudah-mudahan ada gayung bersambut dari
pihak-pihak terkait guna pengkajian yang lebih mendalam.
*
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Beliau yang dimakamkan di Ngaliman Gedong Kuolon berasal dari Solo
Jawa Tengah dan masih keturunan Arab dan merupakan Senopati Perang
Keraton Solo yang bernama Senopati Suroyudo. Perpindahan tersebut
terjadi pada saat pergolakan Perang Gianti sekitar abad 17.
.
2. Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon adalah Kyai yang ahli dalam hal
penggemblengan ilmu kanuragan. Ini bisa di buktikan bahwa di Desa
Ngaliman tidak ada Pondok Pesantren namun yang ada tempat peninggalan
untuk latih keprajuritan dan beberapa pusaka.
.
3. Beliau yang dimakamkan di Gedong Wetan berasal dari Gresik Jawa
Timur sekitar abad 15 saat terjadi silang pendapat tentang penentuan
orang yang menjabat sebagai raja di kerajaan Demak
*
Kirab Pusoko
------------------
Tempat atraksi wisata budaya berupa Kirab Pusoko dipusatkan di Gedung
Pusoko Desa Ngliman Kecamatan Sawahan. Acara Kirab Pusoko digelar
setiap bulan Maulud (dikaitkan dengan Bulan Kelahiran Nabi Muhamad,
SAW), pada acara Kirab Pusoko ini selain acara yang sudah bersifat
pakem, diisi pula pemeran produk unggulan penunjang dunia
kepariwisataan. Dengan demikian nampak lebih semarak.
*
Kirab pusaka biasanya dimulai sekitar pukul 09.00 itu berawal dari
Dukuhan Bruno berjalan berarak-arakan menuju Gedung Pusoko berjarak
sekitar 2,5 km. Saat itu pula warga di masing-masing pedukuhan
mengadakan selamatan, dengan suguhan jajanan pala kependem. Yaitu
seperti ketela, ubi, garut, kacang tanah dan lain-lainnya.
Pusoko yang dikirab berjumlah enam buah, sebagian banyak berupa wayang
kayu. Kecuali Kyai Kembar yang berbentuk Cundrik Lar Bangao. Keenam
pusaka itu ialah Kyai Bondan, Kyai Djoko Truno, Kyai Bethik, Kyai
Kembar, dan Eyang Dukun serta Eyang Pandji.
*
Masyarakat sekitar mempercayai bahwa pusaka-pusaka itu banyak membawa
tuah diantaranya untuk keberhasilan dunia pertanian dan juga berkah
kesehatan. Sebab, seperti dituturkan oleh Sang Juru Kunci Gedung
Pusoko Ngalimin (65), konon ceritanya dulu kala ketika Desa Ngliman
diserang wabah penyakit termasuk tanaman pertaniannya, Kyai Bondan dan
Kyai Djoko Truno keliling desa dengan ditandai bunyi klintingan. "
Karenanya, di daerah Ngliman dan sekitarnya, walaupun bayi dilarang
mengenakan klinting" tambah mBah Ngalimin.
*
Acara ini tidak ada kaitannya dengan agama., Bahkan, acara seperti itu
bisa saling melengkapi kasanah budaya khususnya budaya jawa. Oleh
karenanya, kedepan acara serupa bisa dikemas sebagai sebuah atraksi
wisata budaya yang layak jual.....
*Sumber : Putra Wilis
#MbahNgaliman
#sedudo
#sawahan
#Nganjuk
-----------------------------------------
Berdirinya sebuah negara atau daerah termasuk Nganjuk yang dikenal
sebagai Bumi Anjuk Ladang, tentu tidak terlepas dari sejarah
perjuangan masa lampau, para leluhur, atau nenek moyang yang telah
babad alas, hingga tumbuh dan berkembang seperti sekarang ini.
Pada saat para wisatawan yang akan menikmati indahnya air terjun
Sedudo, di dekat pintu gerbang obyek wisata akan menjumpai lokasi
makam yang disebut makam Ki Ageng Ngaliman. Bagaimana sejarahnya ?
*
Berdasarkan data dan informasi yang direkam oleh Tim Penelusuran
Sejarah Ngaliman yang melibatkan berbagai nara sumber baik yang berada
di daerah Ngliman antara lain :
Mbah Iro Karto (sesepuh masyarakat), Drs. Sumarsono (Kades Ngliman)
Parmo (Mantan Kades Ngliman) , Suprapto (mantan Kades Sidorejo),
Imam Syafi'i (Juru Kunci Makam), Sumarno (Kamituwo),
Sarni (Jogoboyo) maupun nara sumber yang berada diluar daerah Ngliman
antara lain:
Kyai Ahmad Suyuti (Ngetos),
KH. Qolyubi (Keringan),
KH. Moh. Huseini Ilyas (Karang Kedawang , Trowulan Mojokerto).
*
KH. Moh. Huseini Ilyas ini merupakan salah satu keturanan Ki Ageng
Ngaliman Gedong Kulon, maka tersusunlah tulisan seperti di bawah
ini.Di Desa Ngliman terdapat dua makam yang sama-sama disebut Ki Ageng
Ngaliman. Akan tetapi guna membedakan kedua makam tersebut maka
digunakan sebutan :
.
a. Makam Gedong Kulon ;
b. Makam Gedong Wetan.
Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon
Ki Ageng Ngaliman dimakamkan di Desa Ngliman Kecamatan Sawahan + 50
Meter sebelah selatan Balai Desa Ngliman. Beliau dimakamkan
bersama-sama dengan para sahabat dan pengikutnya. Dalam satu kompleks
bangunan makam tersebut terdapat enam makam antara lain :
a. Ki Ageng Ngaliman ;
b. Pengeran Pati ;
c. Pangeran Kembang Sore ;
d. Pangeran Tejo Kusumo ;
e. Pangeran Blumbang Segoro ;
f. Pangeran Sumendhi.
*
Menurut nara sumber dari Ngliman bahwa di pintu depan Makam Ki Ageng
Ngaliman terdapat gambar bintang, kinjeng, ketonggeng, burung dan
bunga teratai. Gambar-gambar tersebut kemungkinan menunjukkan makna
tersendiri, namun sampai saat ini penulis belum bisa mengungkapkannya.
*
Ki Ageng Ngaliman berasal dari Solo Jawa Tengah. Ketika Surakarta
digempur oleh Belanda, maka oleh Nur Ngaliman yang pada waktu itu
menjabat sebagai Senopati Keraton Surakarta dengan sebutan Senopati
Suroyudo, Keraton Surakarta dikocor secara melingkar dengan air kendi.
Akibat dari tindakan tersebut kendaraan pasukan Belanda luluh, waktu
masuk keraton seperti masuk sarang angkrang, akhirnya beliau ditemui
oleh Nabi Khidir agar menemui sanak saudaranya yang ada di Karang
Kedawang Trowulan Mojokerto.
*
Ki Ageng Ngaliman masih keturunan Arab dan mempunyai anak sebanyak 21
orang. Keterangan ini diperoleh dari salah satu keturunan Ki Ageng
Ngaliman yang bernama KH. Huseini Ilyas. Perang di Solo tersebut
melibatkan kaum Cina yang dikenal dengan sebutan Perang Gianti pada
sekitar tahun + 1720 M. (sumber : KH. Qolyubi).
*
SILSILAH KI AGENG NGALIMAN menurut KH. Huseini Ilyas adalah : RONGGOWARSITO
NUR FATAH
NUR IBRAHIM
SYEH YASIN SURAKARTA
NUR NGALIMAN/ SENOPATI SUROYUDO ---MUSYIAH
I L Y A S
KH. HUSEINI ILYAS (TROWULAN MOJOKERTO)
*
Perjalanan Hidupnya KH. Qolyubi tokoh ulama asal Kelurahan
Mangundikaran itu berpendapat bahwa aktifitas yang dilakukan Ki Ageng
Ngaliman adalah untuk mempersiapkan perjuangan melawan Belanda dengan
diadakan pelatihan fisik dan mental yang bertempat di Padepokan yang
sampai saat ini disebut Sedepok, dan di Sedudo yang letaknya di Puncak
Gunung Wilis. Perjuangan tersebut ditujukan guna memerangi Pemerintah
Belanda yang sedang ikut mengendalikan pemerintahan di Kasultanan
Surakarta.
Dasar pemikiran yang melatarbelakangi hijrahnya Ki Ageng Ngaliman dari
Solo ke Nganjuk adalah karena Nganjuk merupakan wilayah Kasultanan
Mataram sehingga juga berguna untuk menghindari kecurigaan maka Ki
Ageng Ngaliman melatih prajuritnya menetap di daerah Nganjuk yang
merupakan wilayah kasultanan Mataram. Sehingga terjadilah kepercayaan
bahwa siapa saja yang menyebut nama Kyai Ageng Ngaliman akan mati
dimakan binatang buas sebab memang beliau dirahasiakan namanya agar
supaya tidak diketahui oleh Kasultanan Solo.
*
Dalam perjalanan waktu menurut cerita bahwa desa Kuncir asal usulnya
dari murid Ki Ageng Ngaliman yang meninggal dalam perjalanan di tempat
tersebut, dia adalah seorang cina yang waktu itu cina memakai rambut
yang dikuncir/dikepang sehingga tempat meninggalnya murid Ki Ageng
Ngaliman tersebut di sebut Desa Kuncir.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ki Ageng
Ngaliman merupakan seorang Kyai yang mempunyai keahlian nggembleng
ulah kanuragan keprajuritan. Bagi masyarakat Ngliman, karomah yang
dirasakan sampai saat ini adanya ketentraman dan kedamaian dalam
kehidupannya.
*
Mengingat Ki Ageng Ngaliman yang mempunyai keahlian neggembleng ulah
kanuragan keprajuritan maka banyak pusaka yang ditinggalkannya. Ki
Ageng Ngaliman masih mempunyai peninggalan berupa tanah di depan
Masjid Ngaliman sehingga oleh perangkat dusun waktu itu tanah tersebut
dibangun sebuah tempat yang disebut dengan Gedong Pusaka dan
peninggalan pusakanya Ki Ageng Ngaliman di tempatkan di Gedong pusaka
tersebut. Sebenarnya pusaka Ki Ageng Ngaliman cukup banyak tetapi ada
yang dicuri orang sehingga yang ada di Gedong Pusaka saat ini hanya
ada beberapa pusaka.
*
Berdasarkan nara sumber dari Ngliman bahwa yang berada dan disimpan
digedong pusoko antara lain :
a. Kyai Srabat ; (Hilang tahun 1976)
b. Nyai Endel ; (Hilang tahun 1976)
c. Kyai Berjonggopati; (Hilang tahun 1949 saat klas Belanda kedua)
d. Kyai Trisula ; (Hilang tahun 1949 saat klas Belanda kedua)
e. Kyai Kembar
f. Dalam bentuk Wayang antara lain : Eyang Bondan, Eyang Bethik, Eyang
Jokotruno, Kyai Panji, dan Nyai Dukun
g. Kamar 1 buah
h. Kotak Wayang Kayu 1 buah
i. Terbang
j. Almari tempat pusaka 2 buah
k. Tempat Plandean Tumbak
Pada bulan Suro diadakan jamasan pusaka Ki Ageng Ngaliman dan dikirap
mengelilingi Desa Ngliman.
*
Air terjun yang ada di Ngliman sebenarnya banyak sekali antara lain :
Sedudo, Segenting, Banyu Iber, Banyu Cagak, Banyu Selawe, Toyo Merto,
Tirto Binayat, Banyu Pahit, Selanjar dan Singokromo.Sedangkan yang
mudah dan bisa dikunjungi adalah Sedudo dan Singokromo. Sedangkan yang
lainnya seperti Banyu Cagak, Banyu Selawe, Banyu Iber hanya bisa
dikunjungi dengan jalan setapak. Adapun air yang paling besar adalah
Air terjun Banyu Cagak. Menurut pendapat dari Bapak Sarni (Jogoboyo
Ngliman) bahwa untuk pengembangan Wisata perlu dibangun kolam renang
di Ganter dan dibuatkan perkemahan.
*
Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan
Makam Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan terletak di Desa Ngliman + 100 M
ke arah timur dari Kantor Desa Ngliman.
Mbah Iro Karto maupun KH. Qolyubi berpendapat bahwa Ki Ageng Ngaliman
Gedong Wetan adalah keturunan dari Gresik. Menurut sejarah telah
disepakati bahwa setiap pengangkatan Sultan yang dinobatkan terutama
dari keturunan Demak harus mendapat restu dari keturunan Giri Gresik.
Hal ini disebabkan karena sewaktu kerajaan Majapahit runtuh, oleh wali
9 yang diangkat menjadi Sultan adalah Kanjeng Sunan Giri. Setelah 100
hari setengah riwayatnya 40 hari, kesultanan dihadiahkan kepada Raden
Patah.
*
Hal ini untuk menghindari citra bahwa Raden Patah merebut kekuasaan
dari ayahnya sendiri. Dengan demikian setiap pergantian Sultan Demak
yang menobatkan adalah keturunan Kanjeng Sunan Giri. Setelah
kasultanan Pajang runtuh, Sultan Hadiwijoyo pindah ke Mataram. Dengan
kejadian ini terjadi silang pendapat didalam keluarga Giri. Diantara
keluarga yang tidak setuju dan kalah suara menyingkir ke Ngliman dan
menyebarkan agama Islam di Ngliman yang kemudian dimakamkan di Ngliman
Gedong Wetan, Karena beliau lebih cenderung pada keturunan Demak Asli.
Kemudian kepergian beliau ditelusuri oleh orang Demak asli bernama
Dewi Kalimah yang kemudian meninggal dan dimakamkan di Kebon Agung.
Rentang waktu antara Ngaliman Gedong Wetan dengan Ngaliman Gedong
Kulon terpaut waktu antara + 200 tahunan. Lebih tua Gedong Wetan.
Setelah Ngaliman Gedong Wetan meninggal, keluarganya diboyong ke
Kudus.
*
Demikian hasil penelusuran sumber sejarah mengenai riwayat Ki Ageng
Ngaliman yang dihimpun dari berbagai nara sumber mudah-mudahan dapat
bermanfaat bagi pengembangan obyek wisata religius. Dasar pemikiran
yang sangat sederhana ini mudah-mudahan ada gayung bersambut dari
pihak-pihak terkait guna pengkajian yang lebih mendalam.
*
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Beliau yang dimakamkan di Ngaliman Gedong Kuolon berasal dari Solo
Jawa Tengah dan masih keturunan Arab dan merupakan Senopati Perang
Keraton Solo yang bernama Senopati Suroyudo. Perpindahan tersebut
terjadi pada saat pergolakan Perang Gianti sekitar abad 17.
.
2. Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon adalah Kyai yang ahli dalam hal
penggemblengan ilmu kanuragan. Ini bisa di buktikan bahwa di Desa
Ngaliman tidak ada Pondok Pesantren namun yang ada tempat peninggalan
untuk latih keprajuritan dan beberapa pusaka.
.
3. Beliau yang dimakamkan di Gedong Wetan berasal dari Gresik Jawa
Timur sekitar abad 15 saat terjadi silang pendapat tentang penentuan
orang yang menjabat sebagai raja di kerajaan Demak
*
Kirab Pusoko
------------------
Tempat atraksi wisata budaya berupa Kirab Pusoko dipusatkan di Gedung
Pusoko Desa Ngliman Kecamatan Sawahan. Acara Kirab Pusoko digelar
setiap bulan Maulud (dikaitkan dengan Bulan Kelahiran Nabi Muhamad,
SAW), pada acara Kirab Pusoko ini selain acara yang sudah bersifat
pakem, diisi pula pemeran produk unggulan penunjang dunia
kepariwisataan. Dengan demikian nampak lebih semarak.
*
Kirab pusaka biasanya dimulai sekitar pukul 09.00 itu berawal dari
Dukuhan Bruno berjalan berarak-arakan menuju Gedung Pusoko berjarak
sekitar 2,5 km. Saat itu pula warga di masing-masing pedukuhan
mengadakan selamatan, dengan suguhan jajanan pala kependem. Yaitu
seperti ketela, ubi, garut, kacang tanah dan lain-lainnya.
Pusoko yang dikirab berjumlah enam buah, sebagian banyak berupa wayang
kayu. Kecuali Kyai Kembar yang berbentuk Cundrik Lar Bangao. Keenam
pusaka itu ialah Kyai Bondan, Kyai Djoko Truno, Kyai Bethik, Kyai
Kembar, dan Eyang Dukun serta Eyang Pandji.
*
Masyarakat sekitar mempercayai bahwa pusaka-pusaka itu banyak membawa
tuah diantaranya untuk keberhasilan dunia pertanian dan juga berkah
kesehatan. Sebab, seperti dituturkan oleh Sang Juru Kunci Gedung
Pusoko Ngalimin (65), konon ceritanya dulu kala ketika Desa Ngliman
diserang wabah penyakit termasuk tanaman pertaniannya, Kyai Bondan dan
Kyai Djoko Truno keliling desa dengan ditandai bunyi klintingan. "
Karenanya, di daerah Ngliman dan sekitarnya, walaupun bayi dilarang
mengenakan klinting" tambah mBah Ngalimin.
*
Acara ini tidak ada kaitannya dengan agama., Bahkan, acara seperti itu
bisa saling melengkapi kasanah budaya khususnya budaya jawa. Oleh
karenanya, kedepan acara serupa bisa dikemas sebagai sebuah atraksi
wisata budaya yang layak jual.....
*Sumber : Putra Wilis
#MbahNgaliman
#sedudo
#sawahan
#Nganjuk
Menelusuri sejarah Medang Kahuripan
OMENU
PUTRA WILIS
Berbagi Informasi Tanpa Menyakiti
c
c
Menu
Putra Wilis Cerita Rakyat MENELUSUR MISTERI MEDANG - KAHURIPAN.
MENELUSUR MISTERI MEDANG - KAHURIPAN.
Cerita Rakyat
Oleh : Drs. Harmadi
Pengantar
Meskipun masyarakat Nganjuk dan sekitarnya yakin benar bahwa Sejarah
berdirinya Kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur tidak dapat
dilepaskan dari awal kemenangan Mpu Sindok melawan bala tentara Melayu
(Sriwijaya) di wilayah Nganjuk sekarang pada awal abad ke X, namun
nama Kerajaan yang dirintis oleh pendiri dinasti Isana itu sendiri
masih terdapat kesimpang siuran penyebutan, ada sementara yang
mengatakan Medang, ada sebagian yang mengatakan Medang ? Kamolan, ada
yang Medang ? Kehuripan, dan bahkan ada yang hanya menyebut Kehuripan
saja.
Terlebih lagi dengan sangat minimnya bekas peninggalan dan tidak
konsistennya pernyataan yang termuat dalam tiap prasasti peninggalan,
lebih menyulitkan bagi peneliti sejarah untuk mengadakan kajian
mendalam tentang situs yang diasumsikan sebagai lokasi yang bisa
diyakini sebagai ibukota atau pusat pemerintahan kala itu.
Tulisan ini hanya sebagai sumbangsih penulis melengkapi
tulisan-tulisan terdahulu, sebagai warga Nganjuk yang merasa ikut
peduli terhadap sejarah tanah kelahiran.
Wassalam.
I.MASA MPU SINDOK
A.BABAT ANJUK LADANG
Sebagaimana telah saya tulis pada edisi-edisi terdahulu, bahwa
romantika sejarah perjuangan mPu Sindok dalam mempertahankan
pemerintahan dan kedaulatan Mataran Hindu di Jawa Timur dari
rongrongan Sriwijaya, menguras banyak tenaga dan pikiran serta waktu
yang cukup lama. Strategi demi strategi, kekuatan demi kekuatan telah
dikerahkan semaksimal mungkin, namun kekalahan masih selalu berada
dipihaknya, dan tentara Sriwijaya masih selalu diatas angin
Hal demikian jelas membuat kecil hati dan paniknya mPu Sindok
menghadapi lawan yang memang tangguh dalam segala hal, yang memang
jauh lebih unggul dalam mengatur strategi, persenjataan, pengalaman
perang, maupun kuatnya dukungan logistik yang sangat memadai dan
dipersiapkan untuk sebuah perang besar yang berkepanjangan (perang
gejag).
Dalam situasi terdesak dan terjepit seperti itu, telah menimbulkan
pemikiran untuk mobilisasi umum, yaitu mengerahkan penduduk setempat,
untuk bersama-sama berjuang melawan musuh kerajaan Mataram yang juga
musuh para kawulo bersama. Pemberian motivasi bahwa kalau kerajaan
sampai terjajah musuh, maka nasib para kawulo juga akan menderita
diperbudak oleh penjajah, rupanya sangat mengena dihati rakyat.
Dengan motivasi seperti itu, timbul kesadaran masyarakat setempat
untuk mau berjuang bahu membahu bersama prajurit mPu Sindok melawan
musuh bersama, walaupun mereka tidak pernah mengenal ilmu perang dan
pengalaman berperang, dengan hanya bermodal persenjataan apa adanya,
semuanya cancut tali wondo, holopis kontul baris, saiyek saeko proyo,
dengan modal nekat, semuanya maju bersama melawan mush, menumpas habis
bala tentara Sriwijaya di ladang pembantaian (killing field) di
kalangan peperangan.
Perjuangan besar itu membuahkan hasil gemilang, yaitu kemenangan
gilang gemilang. Kemenangan yang diperoleh berkat sebuah strategi
mobilisasi umum, telah mengangkat mPu Sindok naik ke derajat yang
lebih tinggi dari kedudukan semula Rakai Hino, menjadi pemegang
Singgasana Kerajaan baru yaitu Medang pada tahun 929 Masehi,
mengakhiri dominasi wangsa Sanjaya Kerajaan Mataram Hindu yang
berpusat di Jawa Tengah, dan mendirikan dinasti baru Isana dengan
pusat pemerintahan di Jawa Timur, dengan abiseka nama (gelar
kemaharajaan) Sri Isanawikramadharmatunggadewa.
Sebagai wujud ucapan terima kasih atas bantuan penduduk memenangkan
peperangan melawan tentara Melayu, dilokasi peperangan itu pada tahun
937 Masehi, didirikan sebuah tugu peringatan (prasasti) Jaya Stamba,
dimaksudkan sebagai catatan yang tak akan terlupakan sepanjang
sejarah, bahwa karena bantuan penduduk setempat, maka kedaulatan
Mataram Hindu tetap jaya, tidak jadi terlepas ketangan musuh, dan
karena kemenangan itu pula telah mengantarkan mPu Sindok menjadi
seorang Maharaja di Medang.
Bersamaan dengan peresmian Jaya Stamba, dilokasi yang sama dilakukan
juga peresmian Jaya Mrta dengan ujud sebuah Candi dari bahan batu bata
merah, yang kemudian oleh masyarakat dinamakan dengan Candi Lor sampai
sekarang.
Barangkali didirikan dan diresmikannya Candi Jaya Mrta, dimaksudkan
bahwa kekuasaan telah hidup kembali, terlepas dari ancaman yang nyaris
menamatkan riwayat, dan diharapkan ditempat yang baru, Kerajaan Medang
akan hidup abadi, bahkan akan berkembang mencapai puncak kejayaannya
(air amrta adalah air yang dapat mengekalkan kehidupan dalam kisan
Samudramanthana).
Rangkaian kisah heroik yang diawali dari perlawanan terhadap
kedatangan bala tentara Sriwijaya devisi Jambi di Pelabuhan Bandar
Alim Tanjunganom, kemudian jebolnya pertahanan Marganung dan
terjebaknya tentara Melayu oleh kepiawaian olah strategi yang
dimainkan oleh mPu Sindok di ladang pembantaian, serta ide persatuan
Nusantara yang tercetus di Bumi Anjuk Ladang, kiranya dapat dianggap
bahwa babad Anjuk Ladang, merupakan awal dari berdirinya
kerajaan-kerajaan besar yang berpusat di Jawa Timur seperti Kerajaan
Medang sendiri, Kerajaan Kediri, Singosari maupun Mojopahit.
B.UPACARA PENETAPAN SIMA
Selain peresmian Jaya stamba dan Jaya Mrta, juga ditetapkan Anjuk
Ladang sebagai Sima Swatantra.
Arti harafiah ?Sima? menurut Supratikno Raharjo (2002) adalah ?batas?,
yaitu tiang batu yang dipasang sebagai tanda batas suatu daerah yang
memiliki status ?istimewa? yang diberikan oleh penguasa kepada wateg
(desa) tertentu, dalam hal ini adalah pemberian status istimewa dari
Maharaja mPu Sindok kepada Desa Anjuk Ladang berupa status Sima
Swatantra.
Sebelum dilakukan upacara penetapan Sima, selalu didahului dengan
pembukaan lahan sawah baru, dari yang semula lahan tegal, pekarangan
maupun hutan.
Adapun upacara pemberian status istimewa ini didahului dengan suatu
rangkaian susunan acara yang menurut Haryono (1980) adalah sebagai
berikut :
1.Pemberian pasek-pasek atau hadiah kepada para pejabat.
2.Meletakkan saji-sajian untuk upacara
3.Makan dan minum bersama
4.Melakukan aktifitas ritual yang disebut makawitha dan makamwang
5.Duduk bersama di witana (bangsal yang dibangun khusus untuk
keperluan itu), mengelilingi watu sima dan watu kelumpang, dengan
posisi sebagai berikut :
-Sebelah Utara : Para pejabat wakil pemerintah pusat
-Sebelah Timur : Para ibu, sangsang, dan wakil dari tetangga sekitar
-Sebelah Selatan : Sang watuha patih (barangkali pejabat setingkat
Camat sekarang) dan para kepala desa tetangga
-Sebelah Barat : Sang Makudur (pemimpin upacara) dan para pejabat
keagamaan desa
-Posisi Tengah : Tempat watu kelumpang/watu Sima (batu pusaka)
6.Memotong leher ayam dengan landasan Watu Kelumpang dan membanting
telor serta menaburkan abu yang dilakukan oleh Sang Makudur didampingi
Pamget Wadihati.
7.Membakar dupa sambil mengucapkan kutukan terhadap yang melanggar
ketentuan Sima dikemudian hari.
8.Menyembah kepada Sang Hyang Sima Watu Ketumpang
9.Membungkus sisa makanan dengan daun untuk dibawa pulang (dibrekat Jw)
10.Pertunjukan kesenian.
Bunyi kutukan adalah sebagai berikut : ?Jika pergi ke hutan akan
dimakan ular berbisa, jika pergi ke ladang akan disambar petir
meskipun pada musim kemarau, jika pergi ke bendungan akan tenggelam
disambar buaya?.
Sedangkan arti simbolis dari urutan acara ke 6, diharapkan bahwa si
pelanggar akan menemui petaka seperti ayam yang telah dipisahkan
antara badan dan kepalanya, akan hancur lebur seperti telor yang telah
dipecahkan, dan seperti nasib kayu yang menjadi abu karena terbakar,
atau bahkan si pelanggar akan mendapatkan lima kemalangan besar
(pancamaha pataka) selama jangka waktu yang tidak terbatas (Haryono,
1980).
Kepala Sima sebagai wakil resmi Raja di Sima Swatantra Anjuk Ladang,
mempunyai wewenang dan kewajiban sebagai berikut :
1.Mengatur jalannya pemerintahan di wilayah Sima Anjuk Ladang,
terutama yang berkaitan dengan masalah pajak.
2.Kepala Sima bertanggung jawab atas keberhasilan penarikan segala
macam jenis pajak, yaitu pajak bumi, perdagangan dan jenis-jenis usaha
diwilayahnya, serta membagikan kepada pihak-pihak yang berhak
menerima, seperti untuk bangunan-bangunan suci yang ada diwilayahnya.
3.Memelihara, menjaga kebersihan dan kesucian bangunan suci, serta
mengadakan perbaikan dimana perlu.
4.Menyelenggarakan upacara ritual, pemujaan dan persembahan kepada
bathara, sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan.
5.Menetapkan besar kecilnya denda apabila terjadi pelanggaran
diwilayahnya (sukhadhuka dan kalahayu).
6.Menjaga keamanan dan ketertiban didaerahnya.
7.Berhak untuk mengerahkan dan mengatur tenaga kerja bhakti untuk
perbaikan saranan dan prasaranan umum.
C.SISTEM PEMERINTAHAN
Selain sebagai seorang panglima perang yang ahli dalam mengatur siasat
perang, mPu Sindok juga menunjukkan bakatnya sebagai negarawan handal
yang kreatif dan banyak akal, dan senantiasa berfikir demi
kesempurnaan sistim Pemerintahan Kerajaan Medang yang dipimpinnya.
Meskipun dia sendiri bukan putra mahkota atau bahkan bukan keturunan
Raja, namun pengalaman selama pengabdiannya di Kerajaan Mataram
(Hindu), merupakan pengalaman berharga untuk melakukan
pembenahan-pembenahan.
Dalam sebuah prasasti yang diketemukan didaerah Tengaran (Jombang),
disebutkan bahwa mPu Sindok memerintah bersama istrinya, Rakryan Sri
Parameswari Sri Wardhani Pu Kbi (Drs.Santoso, 1971), dan dalam
prasasti Bakalan (934 M) menyebutkan berisi perintah Rakryan Mangibil
(isteri mPu Sindok lainnya) untuk membangun 3 buah Dawuhan di
Kalihunan, Wwatan Wulus dan Wwatan Tamya.
Sedangkan dalam prasasti lainnya yang ditulis pada jaman yang sama,
tanpa menyebut nama istri atau isteri-isterinya. Dengan demikian
kiranya dapat diasumsikan bahwa :
1.mPu Sindok memerintah Medang bersama-sama/didampingi oleh
isteri/isteri-isterinya
2.Isteri/isteri-isterinya adalah keturunan Raja, sehingga sebetulnya
berhak menjadi Raja, namun karena anggapan bahwa derajad laki-laki
lebih tinggi daripada perempuan, kedudukan Raja diberikan kepada suami
3.Isterinya menduduki jabatan tertentu di pemeirntahan seperti Raja
daerah, yang diberi kewenangan untuk mengeluarkan prasasti sendiri
dengan sepengetahuan Raja.
Penyempurnaan struktur tata pemerintahan dari model Jawa Tengah ke
Jawa Timur, sebagaimana dapat diamati dari beberapa prasasti berangka
tahun yang dikeluarkannya, seperti :
1.Prasasti Turyyan (929 M) yang menurut penelitian de Cas paris, 1988
menyebutkan tentang pengelompokan para pejabat berdasarkan strata
tingkatan jabatan dan kepangkatan, serta siapa-siapa yang disebut
Rakai, Rakryan, Samget, mPu, Sang, Dyah, Si dan lain-lain.
Menurut de Casparis, bahwa jabatan Wakai Kanuruhan menduduki jabatan
paling penting sesudah mahamantri (mahamantri Rakai Wka)
Para Rakai mempunyai pegawai sendiri-sendiri yang disebut
parujar-ujar. Begitu pula Rakryan dan Samget juga mempunya
parujar-ujar sendiri.
2.Mulai dikenal sebutan rakryan mapinghe kalih atau mahapatih yang 2
(dua) orang yaitu Rakai 1 Hino dan Rakai Wka. Barangkali dengan
pembagian tugas yang kemudian dikenal dengan sebutan patih njero dan
patih njobo.
3.Mulai ada jabatan kepala Protokol Kerajaan, yaitu Rakai Kanuruhan
dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang lebih luas baik didalam
karaton maupun di luar, seperti kewenangan menetapkan dan memungut
pajak pada para pedagang asing (po hawang /nahkoda kapal asing)
4.Ada kelompok jabatan tanda rakryan ring pakira-kiran, yaitu kelompok
jabatan khusus yang menerima langsung pemerintah Raja tanpa melalui
perantara, kurang lebih semacam Aspri sekarang.
D.AGAMA, SASTRA DAN ILMU PENGETAHUAN
Sri Isanawikramadharmattunggadewa (mPu Sindok) pada saat memerintah
Kerajaan Medang, sangat memperhatikan perkembangan agama, Ilmu
Pengetahuan dan Sastra Jawa. Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau
ketiganya mengalami perkembangan yang signifikan.
Ketiga ilmu tersebut saling kait-mengkait dan berhubungan satu sama
lain. Beberapa padepokan dan mandala-mandala didirikan untuk mendidik
para cantrik dan sisya (siswa) untuk memperdalam berbagai ilmu.
Beberapa siswa dikirim ke Nelanda (India Utara) menyerap ilmu bagi
kepentingan Medang. Karya sastra yang diterbitkan dan cukup populer
sampai saat ini adalah :
1.Kitab Sang Hyang Kamahayanikam
Sebuah kitab aliran Budha Mahayana berbahasa Sanskerta, berisi
tuntunan dharma dan tata cara bersemedi menurut aliran Mahayana, dan
ajaran tentang praktek Yoga yang diharuskan melalui bimbingan Guru.
Selain itu juga berisi tentang bentuk penyucian jiwa raga dan harta
dalam bentuk dana paramitha, yakni kesempurnaan pemberian derma, misal
jenis makanan yang enak-enak, minuman yang manis-manis dan harum,
diberikan kepada orang yang membutuhkan. Emas, pakaian, uang dan tanah
di dermakan untuk fasilitas umum dll.
Melihat bahasa yang dipergunakan dalam kitab tersebut Sanskerta, jelas
menunjukkan bahwa Medang betul-betul telah berhubungan dengan Benggala
India Utara asal bahasa tersebut, yang saat itu sedang diperintah oleh
dinasti Cola yang sangat terkenal dengan perguruan tingginya di
Nelanda. Dengan demikian asumsi yang dapat dikemukakan adalah :
a.Kitab tersebut dikarang oleh pujangga pendatang dari Benggala, atau
b.Ditulis oleh bangsa sendiri lulusan Nelanda dan ingin menunjukkan
kemampuannya berbahasa Sanskerta.
Perlu kami tambahkan bahwa untuk pergi belajar ke luar negeri, calon
siswa harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari Rakai Kanuruhan,
yang berarti para siswa adalah tugas belajar dari negara (Kerajaan).
2.Kitab Brahmandapuruna
Yaitu kitab suci agama Hindu Saiwa, berbahasa Jawa Kuno, terdiri dari
beberapa parwa, berisi tentang Kosmologi, kosmogoni, astronomi dan
cerita-cerita kuno yang dikumpulkan dari cerita-cerita yang hidup
dikalangan rakyat mengenai kehidupan par adewa, penciptaan dunia dan
lain-lain, yang pada intinya memuat 5 hal (pancalaksana), yaitu :
a.Sarga, tentang penciptaan alam semesta
b.Pratisarga, tentang penciptaan kembali dunia setiap kali dunia
lenyap (kiamat).
Menurut kitab ini bahwa berlangsungnya dunia sekarang hanyalah selama
satu hari Brahma.
c.Wamsa, menguraikan tentang asal usul para Dewa dan Rsi (pendeta tertinggi)
d.Manwantarani, berisi tentang pembagian waktu, yaitu satu hari Brahma
terbagi dalam 14 masa. Dalam setiap masa manusia itu dicipta kembali
sebagai keturunan Manu, manusia pertama (Adam)
e.Wamsanucarita, berisi tentang sejarah Raja-raja yang memerintah diatas dunia.
Kosmologi sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang
alam semesta sebagai sistem yang beraturan, dan kosmogoni yang
mempelajari tentang asal mula terjadinya benda-benda langit dan alam
semesta, serta astronomi yang mempelajari tentang matahari, bulan,
bintang dan planet-planet lainnya, sangat penting dipelajari untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, agama dan pertanian.
Tidak hanya bagi wariga (ahli perhitungan musim untuk pertanian)
perhitungan waktu merupakan hal yang sangat penting, tapi Kerajaan
maupun masyarakat luas sangat membutuhkan juga perhitungan-perhitungan
tersebut dalam setiap kali akan melakukan aktifitasnya, termasuk
memulainya peperangan, pindah rumah, perhelatan, kegiatan pertanian,
kelautan dan lain-lain.
Untuk hitungan hari dalam satu pekan (Minggu) terdapat hitungan yang
lima hari (Poncowolo), enam hari (Sadworo) dan tujuh hari dalam satu
pekan/minggu yang disebut dengan saptoworo.
Hitungan lima hari dalam satu pekan (poncowolo) sampai sekarang masih
dikenal oleh masyarakat, walaupun sedikit telah mengalami pergeseran
penulisan dan pengucapan.
-Pahing, biasa disingkat dengan Pa saja
-Pwan, sekarang Pon, disingkat Po
-Wagai, sekarang Wage, disingkat Wa
-Kaliwuan, sekarang Kliwon, disingkat Ka
-Umanis, sekarang Legi, disngkat U/Ma
Hitungan Sadworo atau enam hari dalam satu pekan, sekarang sudak tidak
dikenal, namun demikian selengkapnya adalah :
-Tunglai, disingkat Tu/Tung
-Haryang, disingkat Ha
-Warukung, disingkat Wu
-Paniruan, disingkat Pa
-Was, disingkat Wa
-Mawulu, disingkat Ma
Disamping Poncowolo dan Sadworo, ada hitungan hari yang tujuh, yaitu Saptoworo
-Aditya (A/Ra)
-Soma (So)
-Anggoro (Ang)
-Budho (Bu)
-Wrhaspati (Wr)
-Cukrau (Cu)
-Sainascara (sa)
Nama-nama bulan dikenal dengan istilah antara lain :
-Magha (Januari ? Pebruari)
-Phalguno (Pebruari ? Maret)
-Caitra (Maret ? April)
-Bodro (Agustus ? September)
-Asuji (September ? Oktober)
-Karttiko (Oktober ? Nopember)
Upacara dan persembahan sesaji yang dilakukan secara teratur dan tetap
menurut kebutuhan maupun kesepakatan pranata Agama menurut kalender,
misal :
-Pratidina, yaitu upacara sesaji yang dilakukan setiap hari, untuk
bangunan-bangunan keagamaan tertentu
-Pratimasa, yaitu upacara/sesaji yang dilakukan setiap bulan sekali
-Angken bisuwakala, yaitu upacara keagamaan yang dilakukan dua kali
dalam setiap tahun. Biasanya diselenggarakan pada bulan Caitra dan
Asuji
-Asuji, Badra, Karttika, yaitu upacara yang dilaksanakan setahun
sekali pada bulan Asuji, Badra dan Karttika.
Sebagai persyaratan pokok sesaji, salahs atu perlengkapannnya adalah
potongan-potongan kecil kayu Cendana yang untuk wilayah Anjuk Ladang
tidak terlalu sulit mencarinya, karena sejak dahulu kala telah
tertanam dan merupakan perkebunan yaitu di Desa Ngetos, Kecamatan
Ngetos, yang sampai sekarang masih disakralkan.
Selain bahan sesaji, potongan-potongan kecil (tatal) kayu Cendana
biasa dikunyah oleh para wiku dan Rsi di Padepokan, serta merupakan
kebiasaan sebagai aroma penyegar mulut.
E.UKURAN TAKARAN DAN TIMBANGAN
Pada masa mPu Sindok memerintah Kerajaan Medang tahun 929 ? 947
Masehi, telah dikenal satuan ukuran, takaran dan timbangan yang
dipergunakan untuk berbagai keperluan jual beli dan keperluan lainnya,
misal :
-Ukuran luas : tampah, suku
-Ukuran panjang : dpa
-Takaran : Catu
-Ukuran berat : masa, pikul, bantal, kati, tahil
-Ukuran emas : Suwarna (Su)
-Ukuran perak : dharono
-Manusia atau binatang besar : prono
-Ukuran kain : wdihan, wdihan yu, ken
-Yang bisa dipegang tangan, misal padi : Agem dll
Contoh penggunaan ukuran tersebut sebagaimana terpahat antara lain
pada prasasti Hering atau Prasasti Kujon Manis Tanjunganom (934 M)
yang inti isinya sebagai berikut :
?Pada tahun 859 Saka atau 934 Masehi, pada bulan Phalguno (Pebruari ?
Maret) telah terjadi transaksi pembelian tanah yang sangat luas oleh
pejabat Desa (Samget) Marganung Pu Danghil dari beberapa orang
penduduk desa (+ 26 orang), seluas 6 tampah 1 suku, seharga 5 kati 9
suwarna atau sekitar 3.773,36 gram emas.
Prasasti tersebut juga mencatat besarnya pasek-pasek atau pemberian
hadiah yang harus diberikan kepada para pejabat yang berkompeten mulai
tingkat kerajaan sampai pejabat tingkat bawah, berupa wdihan yu,
dengan ketentuan sebagai berikut :
-Raja mendapatkan 5 wdihan yu
-2 orang mahapatih (I hino pu sahasra dan rakai wka Pu Baliswara)
masing-masing 6 wdihan yu
-Rakai Sirikan pu Balyang 6 yu
-Rakai kanuruhan Pu Pikatan dan pu Sata masing-masing 1 wdihan yu
-Pu Rita 5 wdihan yu
-Dan seterusnya
Keterangan :
-Wdihan adalah sebutan untuk kain yang biasanya dikenakan oleh kaum
pria yang sekarang dikenal dengan bebet
-Wdihan yu,a dalah seperangkat pakaian laki-laki termasuk iket (udeng Jw)
-Satu tampah + 20.250 M2
-Satu suku + 0,25 tampah
-Suwarna (Su) = ukuran satuan emas
-Dharana = ukuran satuan perak
-Kati (Ka) = 20 tahil = + 750 ? 768 gram
-Satu tahil (ta) + 38 gram
-Satu bantal = 20 kati
-Satu pikul = 5 bantal = 100 kati = 75 kg
Selain hitungan ukuran diatas, pada jaman mPu Sindok dikenal hitungan
untuk volume (isi) yang biasanya dipergunakan untuk takaran beras atau
minyak dan rempah-rempah, yaitu satuan Catu. Catu dibuat dari batok
kelapa yang dipotong bagian atasnya (dikrowaki Jw). Ukuran satu catu +
300 ? 450 mililiter.
F.PERTANIAN
Beras merupakan bahan makanan pokok penduduk Medang, diproduksi oleh
sebagian besar masyarakat petani dengan memanfaatkan lembah Sungai
Brantas yang terkenal subur sebagai lahan produksi.
Untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok tersebut, dilakukan berbagai
usaha ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi
yaitu dengan pembukaan sawah secara besar-besaran yang antara lain
melalui pranata penetapan Sima, dimana kegiatannya selalu didahului
dengan pembukaan kebun, padang rumput, tegal ataupun hutan dijadikan
sawah produktif.
Selain melalui ekstensifikasi, dilakukan juga intensifikasi penunjang
pertanian dengan pengaturan sistem pengairan yang memadai untuk
men-suply kebutuhan air bagi pertanian, disamping pemanfaatan yang
lain seperti usaha perikanan dan rekreasi.
Untuk itu dibangun fasilitas infrastruktur, yang dalam skala kecil
dikelola oleh masyarakat sendiri, seperti : talang, weluran,
urung-urung dan tambak. Sedangkan yang beskala besar dikelola oleh
Kerajaan, seperti misal bangunan Dawuhan dan Bendungan, sebagaimana
tertulis pada prasasti Bakalan (934 M) maupun prasasti Sarangan (929
M) yang keduanya mengatur sistem pengairan Kali Kunto.
Dalam prasasti Bakalan tersebut berisi perintah dari Rakryan Mangibil
(isteri Raja Sindok) untuk membuat bangunan 3 buah dawuhan, yakni
Kaliwuhan, Wwtan Wulas dan Wwtan Tamya, yang kemudiannya diketahui
bahwa dulunya dawuhan Tamya tersebut berukuran 175 x 350 m, yang dapat
menampung air sebanyak + 350.000 M3.
Bendungan yang lain adalah di Wwtan Mas (Bajulan Loceret) yang kelak
akan melahirkan sederetan dongeng Panji Semirang/Ande-ande lumut.
Hasil produksi beras Kerajaan Medang melalui pola ekstensifikasi dan
intensifikasi pada akhirnya melimpah ruah, surplus bagi konsumsi
masyarakat Medang sendiri, hingga sangat memungkinkan untuk dijadikan
bahan komoditi perdagangan antar pulau di luar ibukota Medang.
Akibat perdagangan itulah yang kemudian meramaikan dermaga-dermaga
seperti : Bandaralim (Demangan ? Tanjunganom), Dermaga Ujung Ngkaluh
(Jombang) maupun Kembang Putih (Tuban).
Sumber : Putra Wilis
PUTRA WILIS
Berbagi Informasi Tanpa Menyakiti
c
c
Menu
Putra Wilis Cerita Rakyat MENELUSUR MISTERI MEDANG - KAHURIPAN.
MENELUSUR MISTERI MEDANG - KAHURIPAN.
Cerita Rakyat
Oleh : Drs. Harmadi
Pengantar
Meskipun masyarakat Nganjuk dan sekitarnya yakin benar bahwa Sejarah
berdirinya Kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur tidak dapat
dilepaskan dari awal kemenangan Mpu Sindok melawan bala tentara Melayu
(Sriwijaya) di wilayah Nganjuk sekarang pada awal abad ke X, namun
nama Kerajaan yang dirintis oleh pendiri dinasti Isana itu sendiri
masih terdapat kesimpang siuran penyebutan, ada sementara yang
mengatakan Medang, ada sebagian yang mengatakan Medang ? Kamolan, ada
yang Medang ? Kehuripan, dan bahkan ada yang hanya menyebut Kehuripan
saja.
Terlebih lagi dengan sangat minimnya bekas peninggalan dan tidak
konsistennya pernyataan yang termuat dalam tiap prasasti peninggalan,
lebih menyulitkan bagi peneliti sejarah untuk mengadakan kajian
mendalam tentang situs yang diasumsikan sebagai lokasi yang bisa
diyakini sebagai ibukota atau pusat pemerintahan kala itu.
Tulisan ini hanya sebagai sumbangsih penulis melengkapi
tulisan-tulisan terdahulu, sebagai warga Nganjuk yang merasa ikut
peduli terhadap sejarah tanah kelahiran.
Wassalam.
I.MASA MPU SINDOK
A.BABAT ANJUK LADANG
Sebagaimana telah saya tulis pada edisi-edisi terdahulu, bahwa
romantika sejarah perjuangan mPu Sindok dalam mempertahankan
pemerintahan dan kedaulatan Mataran Hindu di Jawa Timur dari
rongrongan Sriwijaya, menguras banyak tenaga dan pikiran serta waktu
yang cukup lama. Strategi demi strategi, kekuatan demi kekuatan telah
dikerahkan semaksimal mungkin, namun kekalahan masih selalu berada
dipihaknya, dan tentara Sriwijaya masih selalu diatas angin
Hal demikian jelas membuat kecil hati dan paniknya mPu Sindok
menghadapi lawan yang memang tangguh dalam segala hal, yang memang
jauh lebih unggul dalam mengatur strategi, persenjataan, pengalaman
perang, maupun kuatnya dukungan logistik yang sangat memadai dan
dipersiapkan untuk sebuah perang besar yang berkepanjangan (perang
gejag).
Dalam situasi terdesak dan terjepit seperti itu, telah menimbulkan
pemikiran untuk mobilisasi umum, yaitu mengerahkan penduduk setempat,
untuk bersama-sama berjuang melawan musuh kerajaan Mataram yang juga
musuh para kawulo bersama. Pemberian motivasi bahwa kalau kerajaan
sampai terjajah musuh, maka nasib para kawulo juga akan menderita
diperbudak oleh penjajah, rupanya sangat mengena dihati rakyat.
Dengan motivasi seperti itu, timbul kesadaran masyarakat setempat
untuk mau berjuang bahu membahu bersama prajurit mPu Sindok melawan
musuh bersama, walaupun mereka tidak pernah mengenal ilmu perang dan
pengalaman berperang, dengan hanya bermodal persenjataan apa adanya,
semuanya cancut tali wondo, holopis kontul baris, saiyek saeko proyo,
dengan modal nekat, semuanya maju bersama melawan mush, menumpas habis
bala tentara Sriwijaya di ladang pembantaian (killing field) di
kalangan peperangan.
Perjuangan besar itu membuahkan hasil gemilang, yaitu kemenangan
gilang gemilang. Kemenangan yang diperoleh berkat sebuah strategi
mobilisasi umum, telah mengangkat mPu Sindok naik ke derajat yang
lebih tinggi dari kedudukan semula Rakai Hino, menjadi pemegang
Singgasana Kerajaan baru yaitu Medang pada tahun 929 Masehi,
mengakhiri dominasi wangsa Sanjaya Kerajaan Mataram Hindu yang
berpusat di Jawa Tengah, dan mendirikan dinasti baru Isana dengan
pusat pemerintahan di Jawa Timur, dengan abiseka nama (gelar
kemaharajaan) Sri Isanawikramadharmatunggadewa.
Sebagai wujud ucapan terima kasih atas bantuan penduduk memenangkan
peperangan melawan tentara Melayu, dilokasi peperangan itu pada tahun
937 Masehi, didirikan sebuah tugu peringatan (prasasti) Jaya Stamba,
dimaksudkan sebagai catatan yang tak akan terlupakan sepanjang
sejarah, bahwa karena bantuan penduduk setempat, maka kedaulatan
Mataram Hindu tetap jaya, tidak jadi terlepas ketangan musuh, dan
karena kemenangan itu pula telah mengantarkan mPu Sindok menjadi
seorang Maharaja di Medang.
Bersamaan dengan peresmian Jaya Stamba, dilokasi yang sama dilakukan
juga peresmian Jaya Mrta dengan ujud sebuah Candi dari bahan batu bata
merah, yang kemudian oleh masyarakat dinamakan dengan Candi Lor sampai
sekarang.
Barangkali didirikan dan diresmikannya Candi Jaya Mrta, dimaksudkan
bahwa kekuasaan telah hidup kembali, terlepas dari ancaman yang nyaris
menamatkan riwayat, dan diharapkan ditempat yang baru, Kerajaan Medang
akan hidup abadi, bahkan akan berkembang mencapai puncak kejayaannya
(air amrta adalah air yang dapat mengekalkan kehidupan dalam kisan
Samudramanthana).
Rangkaian kisah heroik yang diawali dari perlawanan terhadap
kedatangan bala tentara Sriwijaya devisi Jambi di Pelabuhan Bandar
Alim Tanjunganom, kemudian jebolnya pertahanan Marganung dan
terjebaknya tentara Melayu oleh kepiawaian olah strategi yang
dimainkan oleh mPu Sindok di ladang pembantaian, serta ide persatuan
Nusantara yang tercetus di Bumi Anjuk Ladang, kiranya dapat dianggap
bahwa babad Anjuk Ladang, merupakan awal dari berdirinya
kerajaan-kerajaan besar yang berpusat di Jawa Timur seperti Kerajaan
Medang sendiri, Kerajaan Kediri, Singosari maupun Mojopahit.
B.UPACARA PENETAPAN SIMA
Selain peresmian Jaya stamba dan Jaya Mrta, juga ditetapkan Anjuk
Ladang sebagai Sima Swatantra.
Arti harafiah ?Sima? menurut Supratikno Raharjo (2002) adalah ?batas?,
yaitu tiang batu yang dipasang sebagai tanda batas suatu daerah yang
memiliki status ?istimewa? yang diberikan oleh penguasa kepada wateg
(desa) tertentu, dalam hal ini adalah pemberian status istimewa dari
Maharaja mPu Sindok kepada Desa Anjuk Ladang berupa status Sima
Swatantra.
Sebelum dilakukan upacara penetapan Sima, selalu didahului dengan
pembukaan lahan sawah baru, dari yang semula lahan tegal, pekarangan
maupun hutan.
Adapun upacara pemberian status istimewa ini didahului dengan suatu
rangkaian susunan acara yang menurut Haryono (1980) adalah sebagai
berikut :
1.Pemberian pasek-pasek atau hadiah kepada para pejabat.
2.Meletakkan saji-sajian untuk upacara
3.Makan dan minum bersama
4.Melakukan aktifitas ritual yang disebut makawitha dan makamwang
5.Duduk bersama di witana (bangsal yang dibangun khusus untuk
keperluan itu), mengelilingi watu sima dan watu kelumpang, dengan
posisi sebagai berikut :
-Sebelah Utara : Para pejabat wakil pemerintah pusat
-Sebelah Timur : Para ibu, sangsang, dan wakil dari tetangga sekitar
-Sebelah Selatan : Sang watuha patih (barangkali pejabat setingkat
Camat sekarang) dan para kepala desa tetangga
-Sebelah Barat : Sang Makudur (pemimpin upacara) dan para pejabat
keagamaan desa
-Posisi Tengah : Tempat watu kelumpang/watu Sima (batu pusaka)
6.Memotong leher ayam dengan landasan Watu Kelumpang dan membanting
telor serta menaburkan abu yang dilakukan oleh Sang Makudur didampingi
Pamget Wadihati.
7.Membakar dupa sambil mengucapkan kutukan terhadap yang melanggar
ketentuan Sima dikemudian hari.
8.Menyembah kepada Sang Hyang Sima Watu Ketumpang
9.Membungkus sisa makanan dengan daun untuk dibawa pulang (dibrekat Jw)
10.Pertunjukan kesenian.
Bunyi kutukan adalah sebagai berikut : ?Jika pergi ke hutan akan
dimakan ular berbisa, jika pergi ke ladang akan disambar petir
meskipun pada musim kemarau, jika pergi ke bendungan akan tenggelam
disambar buaya?.
Sedangkan arti simbolis dari urutan acara ke 6, diharapkan bahwa si
pelanggar akan menemui petaka seperti ayam yang telah dipisahkan
antara badan dan kepalanya, akan hancur lebur seperti telor yang telah
dipecahkan, dan seperti nasib kayu yang menjadi abu karena terbakar,
atau bahkan si pelanggar akan mendapatkan lima kemalangan besar
(pancamaha pataka) selama jangka waktu yang tidak terbatas (Haryono,
1980).
Kepala Sima sebagai wakil resmi Raja di Sima Swatantra Anjuk Ladang,
mempunyai wewenang dan kewajiban sebagai berikut :
1.Mengatur jalannya pemerintahan di wilayah Sima Anjuk Ladang,
terutama yang berkaitan dengan masalah pajak.
2.Kepala Sima bertanggung jawab atas keberhasilan penarikan segala
macam jenis pajak, yaitu pajak bumi, perdagangan dan jenis-jenis usaha
diwilayahnya, serta membagikan kepada pihak-pihak yang berhak
menerima, seperti untuk bangunan-bangunan suci yang ada diwilayahnya.
3.Memelihara, menjaga kebersihan dan kesucian bangunan suci, serta
mengadakan perbaikan dimana perlu.
4.Menyelenggarakan upacara ritual, pemujaan dan persembahan kepada
bathara, sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan.
5.Menetapkan besar kecilnya denda apabila terjadi pelanggaran
diwilayahnya (sukhadhuka dan kalahayu).
6.Menjaga keamanan dan ketertiban didaerahnya.
7.Berhak untuk mengerahkan dan mengatur tenaga kerja bhakti untuk
perbaikan saranan dan prasaranan umum.
C.SISTEM PEMERINTAHAN
Selain sebagai seorang panglima perang yang ahli dalam mengatur siasat
perang, mPu Sindok juga menunjukkan bakatnya sebagai negarawan handal
yang kreatif dan banyak akal, dan senantiasa berfikir demi
kesempurnaan sistim Pemerintahan Kerajaan Medang yang dipimpinnya.
Meskipun dia sendiri bukan putra mahkota atau bahkan bukan keturunan
Raja, namun pengalaman selama pengabdiannya di Kerajaan Mataram
(Hindu), merupakan pengalaman berharga untuk melakukan
pembenahan-pembenahan.
Dalam sebuah prasasti yang diketemukan didaerah Tengaran (Jombang),
disebutkan bahwa mPu Sindok memerintah bersama istrinya, Rakryan Sri
Parameswari Sri Wardhani Pu Kbi (Drs.Santoso, 1971), dan dalam
prasasti Bakalan (934 M) menyebutkan berisi perintah Rakryan Mangibil
(isteri mPu Sindok lainnya) untuk membangun 3 buah Dawuhan di
Kalihunan, Wwatan Wulus dan Wwatan Tamya.
Sedangkan dalam prasasti lainnya yang ditulis pada jaman yang sama,
tanpa menyebut nama istri atau isteri-isterinya. Dengan demikian
kiranya dapat diasumsikan bahwa :
1.mPu Sindok memerintah Medang bersama-sama/didampingi oleh
isteri/isteri-isterinya
2.Isteri/isteri-isterinya adalah keturunan Raja, sehingga sebetulnya
berhak menjadi Raja, namun karena anggapan bahwa derajad laki-laki
lebih tinggi daripada perempuan, kedudukan Raja diberikan kepada suami
3.Isterinya menduduki jabatan tertentu di pemeirntahan seperti Raja
daerah, yang diberi kewenangan untuk mengeluarkan prasasti sendiri
dengan sepengetahuan Raja.
Penyempurnaan struktur tata pemerintahan dari model Jawa Tengah ke
Jawa Timur, sebagaimana dapat diamati dari beberapa prasasti berangka
tahun yang dikeluarkannya, seperti :
1.Prasasti Turyyan (929 M) yang menurut penelitian de Cas paris, 1988
menyebutkan tentang pengelompokan para pejabat berdasarkan strata
tingkatan jabatan dan kepangkatan, serta siapa-siapa yang disebut
Rakai, Rakryan, Samget, mPu, Sang, Dyah, Si dan lain-lain.
Menurut de Casparis, bahwa jabatan Wakai Kanuruhan menduduki jabatan
paling penting sesudah mahamantri (mahamantri Rakai Wka)
Para Rakai mempunyai pegawai sendiri-sendiri yang disebut
parujar-ujar. Begitu pula Rakryan dan Samget juga mempunya
parujar-ujar sendiri.
2.Mulai dikenal sebutan rakryan mapinghe kalih atau mahapatih yang 2
(dua) orang yaitu Rakai 1 Hino dan Rakai Wka. Barangkali dengan
pembagian tugas yang kemudian dikenal dengan sebutan patih njero dan
patih njobo.
3.Mulai ada jabatan kepala Protokol Kerajaan, yaitu Rakai Kanuruhan
dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang lebih luas baik didalam
karaton maupun di luar, seperti kewenangan menetapkan dan memungut
pajak pada para pedagang asing (po hawang /nahkoda kapal asing)
4.Ada kelompok jabatan tanda rakryan ring pakira-kiran, yaitu kelompok
jabatan khusus yang menerima langsung pemerintah Raja tanpa melalui
perantara, kurang lebih semacam Aspri sekarang.
D.AGAMA, SASTRA DAN ILMU PENGETAHUAN
Sri Isanawikramadharmattunggadewa (mPu Sindok) pada saat memerintah
Kerajaan Medang, sangat memperhatikan perkembangan agama, Ilmu
Pengetahuan dan Sastra Jawa. Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau
ketiganya mengalami perkembangan yang signifikan.
Ketiga ilmu tersebut saling kait-mengkait dan berhubungan satu sama
lain. Beberapa padepokan dan mandala-mandala didirikan untuk mendidik
para cantrik dan sisya (siswa) untuk memperdalam berbagai ilmu.
Beberapa siswa dikirim ke Nelanda (India Utara) menyerap ilmu bagi
kepentingan Medang. Karya sastra yang diterbitkan dan cukup populer
sampai saat ini adalah :
1.Kitab Sang Hyang Kamahayanikam
Sebuah kitab aliran Budha Mahayana berbahasa Sanskerta, berisi
tuntunan dharma dan tata cara bersemedi menurut aliran Mahayana, dan
ajaran tentang praktek Yoga yang diharuskan melalui bimbingan Guru.
Selain itu juga berisi tentang bentuk penyucian jiwa raga dan harta
dalam bentuk dana paramitha, yakni kesempurnaan pemberian derma, misal
jenis makanan yang enak-enak, minuman yang manis-manis dan harum,
diberikan kepada orang yang membutuhkan. Emas, pakaian, uang dan tanah
di dermakan untuk fasilitas umum dll.
Melihat bahasa yang dipergunakan dalam kitab tersebut Sanskerta, jelas
menunjukkan bahwa Medang betul-betul telah berhubungan dengan Benggala
India Utara asal bahasa tersebut, yang saat itu sedang diperintah oleh
dinasti Cola yang sangat terkenal dengan perguruan tingginya di
Nelanda. Dengan demikian asumsi yang dapat dikemukakan adalah :
a.Kitab tersebut dikarang oleh pujangga pendatang dari Benggala, atau
b.Ditulis oleh bangsa sendiri lulusan Nelanda dan ingin menunjukkan
kemampuannya berbahasa Sanskerta.
Perlu kami tambahkan bahwa untuk pergi belajar ke luar negeri, calon
siswa harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari Rakai Kanuruhan,
yang berarti para siswa adalah tugas belajar dari negara (Kerajaan).
2.Kitab Brahmandapuruna
Yaitu kitab suci agama Hindu Saiwa, berbahasa Jawa Kuno, terdiri dari
beberapa parwa, berisi tentang Kosmologi, kosmogoni, astronomi dan
cerita-cerita kuno yang dikumpulkan dari cerita-cerita yang hidup
dikalangan rakyat mengenai kehidupan par adewa, penciptaan dunia dan
lain-lain, yang pada intinya memuat 5 hal (pancalaksana), yaitu :
a.Sarga, tentang penciptaan alam semesta
b.Pratisarga, tentang penciptaan kembali dunia setiap kali dunia
lenyap (kiamat).
Menurut kitab ini bahwa berlangsungnya dunia sekarang hanyalah selama
satu hari Brahma.
c.Wamsa, menguraikan tentang asal usul para Dewa dan Rsi (pendeta tertinggi)
d.Manwantarani, berisi tentang pembagian waktu, yaitu satu hari Brahma
terbagi dalam 14 masa. Dalam setiap masa manusia itu dicipta kembali
sebagai keturunan Manu, manusia pertama (Adam)
e.Wamsanucarita, berisi tentang sejarah Raja-raja yang memerintah diatas dunia.
Kosmologi sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang
alam semesta sebagai sistem yang beraturan, dan kosmogoni yang
mempelajari tentang asal mula terjadinya benda-benda langit dan alam
semesta, serta astronomi yang mempelajari tentang matahari, bulan,
bintang dan planet-planet lainnya, sangat penting dipelajari untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, agama dan pertanian.
Tidak hanya bagi wariga (ahli perhitungan musim untuk pertanian)
perhitungan waktu merupakan hal yang sangat penting, tapi Kerajaan
maupun masyarakat luas sangat membutuhkan juga perhitungan-perhitungan
tersebut dalam setiap kali akan melakukan aktifitasnya, termasuk
memulainya peperangan, pindah rumah, perhelatan, kegiatan pertanian,
kelautan dan lain-lain.
Untuk hitungan hari dalam satu pekan (Minggu) terdapat hitungan yang
lima hari (Poncowolo), enam hari (Sadworo) dan tujuh hari dalam satu
pekan/minggu yang disebut dengan saptoworo.
Hitungan lima hari dalam satu pekan (poncowolo) sampai sekarang masih
dikenal oleh masyarakat, walaupun sedikit telah mengalami pergeseran
penulisan dan pengucapan.
-Pahing, biasa disingkat dengan Pa saja
-Pwan, sekarang Pon, disingkat Po
-Wagai, sekarang Wage, disingkat Wa
-Kaliwuan, sekarang Kliwon, disingkat Ka
-Umanis, sekarang Legi, disngkat U/Ma
Hitungan Sadworo atau enam hari dalam satu pekan, sekarang sudak tidak
dikenal, namun demikian selengkapnya adalah :
-Tunglai, disingkat Tu/Tung
-Haryang, disingkat Ha
-Warukung, disingkat Wu
-Paniruan, disingkat Pa
-Was, disingkat Wa
-Mawulu, disingkat Ma
Disamping Poncowolo dan Sadworo, ada hitungan hari yang tujuh, yaitu Saptoworo
-Aditya (A/Ra)
-Soma (So)
-Anggoro (Ang)
-Budho (Bu)
-Wrhaspati (Wr)
-Cukrau (Cu)
-Sainascara (sa)
Nama-nama bulan dikenal dengan istilah antara lain :
-Magha (Januari ? Pebruari)
-Phalguno (Pebruari ? Maret)
-Caitra (Maret ? April)
-Bodro (Agustus ? September)
-Asuji (September ? Oktober)
-Karttiko (Oktober ? Nopember)
Upacara dan persembahan sesaji yang dilakukan secara teratur dan tetap
menurut kebutuhan maupun kesepakatan pranata Agama menurut kalender,
misal :
-Pratidina, yaitu upacara sesaji yang dilakukan setiap hari, untuk
bangunan-bangunan keagamaan tertentu
-Pratimasa, yaitu upacara/sesaji yang dilakukan setiap bulan sekali
-Angken bisuwakala, yaitu upacara keagamaan yang dilakukan dua kali
dalam setiap tahun. Biasanya diselenggarakan pada bulan Caitra dan
Asuji
-Asuji, Badra, Karttika, yaitu upacara yang dilaksanakan setahun
sekali pada bulan Asuji, Badra dan Karttika.
Sebagai persyaratan pokok sesaji, salahs atu perlengkapannnya adalah
potongan-potongan kecil kayu Cendana yang untuk wilayah Anjuk Ladang
tidak terlalu sulit mencarinya, karena sejak dahulu kala telah
tertanam dan merupakan perkebunan yaitu di Desa Ngetos, Kecamatan
Ngetos, yang sampai sekarang masih disakralkan.
Selain bahan sesaji, potongan-potongan kecil (tatal) kayu Cendana
biasa dikunyah oleh para wiku dan Rsi di Padepokan, serta merupakan
kebiasaan sebagai aroma penyegar mulut.
E.UKURAN TAKARAN DAN TIMBANGAN
Pada masa mPu Sindok memerintah Kerajaan Medang tahun 929 ? 947
Masehi, telah dikenal satuan ukuran, takaran dan timbangan yang
dipergunakan untuk berbagai keperluan jual beli dan keperluan lainnya,
misal :
-Ukuran luas : tampah, suku
-Ukuran panjang : dpa
-Takaran : Catu
-Ukuran berat : masa, pikul, bantal, kati, tahil
-Ukuran emas : Suwarna (Su)
-Ukuran perak : dharono
-Manusia atau binatang besar : prono
-Ukuran kain : wdihan, wdihan yu, ken
-Yang bisa dipegang tangan, misal padi : Agem dll
Contoh penggunaan ukuran tersebut sebagaimana terpahat antara lain
pada prasasti Hering atau Prasasti Kujon Manis Tanjunganom (934 M)
yang inti isinya sebagai berikut :
?Pada tahun 859 Saka atau 934 Masehi, pada bulan Phalguno (Pebruari ?
Maret) telah terjadi transaksi pembelian tanah yang sangat luas oleh
pejabat Desa (Samget) Marganung Pu Danghil dari beberapa orang
penduduk desa (+ 26 orang), seluas 6 tampah 1 suku, seharga 5 kati 9
suwarna atau sekitar 3.773,36 gram emas.
Prasasti tersebut juga mencatat besarnya pasek-pasek atau pemberian
hadiah yang harus diberikan kepada para pejabat yang berkompeten mulai
tingkat kerajaan sampai pejabat tingkat bawah, berupa wdihan yu,
dengan ketentuan sebagai berikut :
-Raja mendapatkan 5 wdihan yu
-2 orang mahapatih (I hino pu sahasra dan rakai wka Pu Baliswara)
masing-masing 6 wdihan yu
-Rakai Sirikan pu Balyang 6 yu
-Rakai kanuruhan Pu Pikatan dan pu Sata masing-masing 1 wdihan yu
-Pu Rita 5 wdihan yu
-Dan seterusnya
Keterangan :
-Wdihan adalah sebutan untuk kain yang biasanya dikenakan oleh kaum
pria yang sekarang dikenal dengan bebet
-Wdihan yu,a dalah seperangkat pakaian laki-laki termasuk iket (udeng Jw)
-Satu tampah + 20.250 M2
-Satu suku + 0,25 tampah
-Suwarna (Su) = ukuran satuan emas
-Dharana = ukuran satuan perak
-Kati (Ka) = 20 tahil = + 750 ? 768 gram
-Satu tahil (ta) + 38 gram
-Satu bantal = 20 kati
-Satu pikul = 5 bantal = 100 kati = 75 kg
Selain hitungan ukuran diatas, pada jaman mPu Sindok dikenal hitungan
untuk volume (isi) yang biasanya dipergunakan untuk takaran beras atau
minyak dan rempah-rempah, yaitu satuan Catu. Catu dibuat dari batok
kelapa yang dipotong bagian atasnya (dikrowaki Jw). Ukuran satu catu +
300 ? 450 mililiter.
F.PERTANIAN
Beras merupakan bahan makanan pokok penduduk Medang, diproduksi oleh
sebagian besar masyarakat petani dengan memanfaatkan lembah Sungai
Brantas yang terkenal subur sebagai lahan produksi.
Untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok tersebut, dilakukan berbagai
usaha ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi
yaitu dengan pembukaan sawah secara besar-besaran yang antara lain
melalui pranata penetapan Sima, dimana kegiatannya selalu didahului
dengan pembukaan kebun, padang rumput, tegal ataupun hutan dijadikan
sawah produktif.
Selain melalui ekstensifikasi, dilakukan juga intensifikasi penunjang
pertanian dengan pengaturan sistem pengairan yang memadai untuk
men-suply kebutuhan air bagi pertanian, disamping pemanfaatan yang
lain seperti usaha perikanan dan rekreasi.
Untuk itu dibangun fasilitas infrastruktur, yang dalam skala kecil
dikelola oleh masyarakat sendiri, seperti : talang, weluran,
urung-urung dan tambak. Sedangkan yang beskala besar dikelola oleh
Kerajaan, seperti misal bangunan Dawuhan dan Bendungan, sebagaimana
tertulis pada prasasti Bakalan (934 M) maupun prasasti Sarangan (929
M) yang keduanya mengatur sistem pengairan Kali Kunto.
Dalam prasasti Bakalan tersebut berisi perintah dari Rakryan Mangibil
(isteri Raja Sindok) untuk membuat bangunan 3 buah dawuhan, yakni
Kaliwuhan, Wwtan Wulas dan Wwtan Tamya, yang kemudiannya diketahui
bahwa dulunya dawuhan Tamya tersebut berukuran 175 x 350 m, yang dapat
menampung air sebanyak + 350.000 M3.
Bendungan yang lain adalah di Wwtan Mas (Bajulan Loceret) yang kelak
akan melahirkan sederetan dongeng Panji Semirang/Ande-ande lumut.
Hasil produksi beras Kerajaan Medang melalui pola ekstensifikasi dan
intensifikasi pada akhirnya melimpah ruah, surplus bagi konsumsi
masyarakat Medang sendiri, hingga sangat memungkinkan untuk dijadikan
bahan komoditi perdagangan antar pulau di luar ibukota Medang.
Akibat perdagangan itulah yang kemudian meramaikan dermaga-dermaga
seperti : Bandaralim (Demangan ? Tanjunganom), Dermaga Ujung Ngkaluh
(Jombang) maupun Kembang Putih (Tuban).
Sumber : Putra Wilis
Langganan:
Postingan
(
Atom
)