Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke Negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat
sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno.
Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada
kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat
dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya
kabinet yang terkenal sebagai "kabinet semumur jagung" membuat Presiden Soekarno
kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit
kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh
militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober
1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Dengan Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Konstituante yang bertugas
merancang UUD baru bagi Indonesia, serta memulai periode yang dalam sejarah politik
kita disebut sebagai "Demokrasi Terpimpin". Peristiwa ini sangat penting, bukan saja
karena menandai berakhirnya eksperimen bangsa Indonesia dengan sistem demokrasi
yang liberal, tetapi juga tindakan Soekarno tersebut memberikan landasan awal bagi
sistem politik yang justru kemudian dibangun dan dikembangkan pada masa Orde Baru.
Tapi bukankah Soekarno amat berbeda dari Soeharto, pendiri Orde Baru yang
menggantikannya lewat serangkaian manuver politik sejak tahun 1965 yang hingga kini
masih banyak diselimuti misteri?Tentu banyak perbedaan antara Soekarno dan Soeharto
yang amat gamblang. Presiden pertama RI dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat
berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialisme dan
imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.
Hal tersebut nampak daam ungkapannya "AKU ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat.
Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat."
Pengakuan ini meluncur dari Soekarno, Presiden RI pertama, dalam karyanya Menggali
Api Pancasila.
Dengan mengubur partai politik, Soekarno menganggap bahwa bangsa Indonesia dapat
kembali kepada "rel" revolusi yang sejati dengan semangat persatuan, simpati Soekarno
pada gerakan-gerakan anti-imperialisme dan mungkin sebagai salah satu konsekuensi,
penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah.
Adalah penting juga untuk dicatat bahwa salah satu kekuatan pendukung utama upaya
Soekarno untuk memberlakukan Demokrasi Terpimpin adalah Angkatan Darat. Mengapa
Angkatan Darat mendukung upaya Soekarno? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana.
Ada persamaan nasib antara Soekarno dan tentara di dalam sistem demokrasi liberal yang
mementingkan peranan partai dan parlemen, yakni keduanya tidak mempunyai akses
yang langsung terhadap jalannya roda pemerintahan.
Dengan kata lain, di luar jatuh bangunnya kabinet dalam sistem liberal tahun 1950-an
serta pemberontakan-pemberontakan di daerah, baik Soekarno dan Angkatan Darat
mempunyai kepentingan nyata untuk membangun suatu sistem politik baru yang
memberikan mereka kekuasaan yang lebih langsung. Bisa dikatakan Soekarno tidak puas
sebagai presiden yang hanya bersifat figure-head, sedangkan Angkatan Darat telah
berkembang menjadi kekuatan yang juga tidak puas dalam peranan hanya sebagai
penjaga pertahanan dan keamanan belaka. Pembahasan terhadap kepentingan-
kepentingan konkret seperti ini tidak lazim ditemukan dalam pelajaran sejarah di sekolah
pada tahun 1950-an.
Perlu diingat pula bahwa, untuk sebagian, penaklukan terhadap pemberontakan daerah
telah menghasilkan suatu pimpinan Angkatan Darat yang jauh lebih bersatu dibandingkan
sebelumnya. Jenderal Abdul Haris Nasution telah tampil sebagai pimpinan yang mampu
untuk meredam tantangan yang diajukan oleh komandan-komandan lokal yang
memberontak karena tidak senang dengan dominasi Jakarta/Jawa. Di samping itu, kondisi
darurat yang dicanangkan untuk menghadapi pemberontakan daerah telah menempatkan
banyak perwira militer sebagai administrator roda pemerintahan. Lebih jauh lagi,
nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di tahun 1957-yang sebenarnya dipelopori
oleh serikat buruh-telah menempatkan banyak perwira militer di pucuk pimpinan
perusahaan-perusahaan negara yang terbesar. Diantaranya adalah Ibnu Sutowo yang
kemudian mengembangkan Pertamina.
Dengan posisi politik dan ekonomi yang kuat seperti ini, tampaknya militer tergiur untuk
mempunyai peranan yang langsung di dalam system politik. "Demokrasi Terpimpin"-nya
Soekarno memberikan peluang. Di antara golongan "fungsional" atau "karya" yang boleh
duduk dalam parlemen adalah tentara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional.
Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum
mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno,
pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di
Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika.
Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat
yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan
kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan
badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya.
Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir),
Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia
mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat
jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya.
Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai
saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-
negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia
Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional,
Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-
pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald
Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRT).
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden Moh.
Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan
Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh
pelosok Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam
masa jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan
sejahtera.
Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah
mengalami pengucilan oleh suksesornya yang "durhaka" Jenderal Suharto. Jenazahnya
dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena
setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru
dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno
demikian sekilas perjalanan Soekarno yan di ambil dari berbagai Sumber buku.
Baca Juga mengenai :
Soekarno-penggali-pancasila
Soekarno-dan-latar-belakangnya
Soekarno-dan-penjajahan-jepang
Soekarno-dan-perang-revolusi
Gambar Pahlawan Download Disini
sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno.
Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada
kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat
dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya
kabinet yang terkenal sebagai "kabinet semumur jagung" membuat Presiden Soekarno
kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit
kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh
militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober
1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Dengan Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Konstituante yang bertugas
merancang UUD baru bagi Indonesia, serta memulai periode yang dalam sejarah politik
kita disebut sebagai "Demokrasi Terpimpin". Peristiwa ini sangat penting, bukan saja
karena menandai berakhirnya eksperimen bangsa Indonesia dengan sistem demokrasi
yang liberal, tetapi juga tindakan Soekarno tersebut memberikan landasan awal bagi
sistem politik yang justru kemudian dibangun dan dikembangkan pada masa Orde Baru.
Tapi bukankah Soekarno amat berbeda dari Soeharto, pendiri Orde Baru yang
menggantikannya lewat serangkaian manuver politik sejak tahun 1965 yang hingga kini
masih banyak diselimuti misteri?Tentu banyak perbedaan antara Soekarno dan Soeharto
yang amat gamblang. Presiden pertama RI dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat
berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialisme dan
imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.
Hal tersebut nampak daam ungkapannya "AKU ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat.
Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat."
Pengakuan ini meluncur dari Soekarno, Presiden RI pertama, dalam karyanya Menggali
Api Pancasila.
Dengan mengubur partai politik, Soekarno menganggap bahwa bangsa Indonesia dapat
kembali kepada "rel" revolusi yang sejati dengan semangat persatuan, simpati Soekarno
pada gerakan-gerakan anti-imperialisme dan mungkin sebagai salah satu konsekuensi,
penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah.
Adalah penting juga untuk dicatat bahwa salah satu kekuatan pendukung utama upaya
Soekarno untuk memberlakukan Demokrasi Terpimpin adalah Angkatan Darat. Mengapa
Angkatan Darat mendukung upaya Soekarno? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana.
Ada persamaan nasib antara Soekarno dan tentara di dalam sistem demokrasi liberal yang
mementingkan peranan partai dan parlemen, yakni keduanya tidak mempunyai akses
yang langsung terhadap jalannya roda pemerintahan.
Dengan kata lain, di luar jatuh bangunnya kabinet dalam sistem liberal tahun 1950-an
serta pemberontakan-pemberontakan di daerah, baik Soekarno dan Angkatan Darat
mempunyai kepentingan nyata untuk membangun suatu sistem politik baru yang
memberikan mereka kekuasaan yang lebih langsung. Bisa dikatakan Soekarno tidak puas
sebagai presiden yang hanya bersifat figure-head, sedangkan Angkatan Darat telah
berkembang menjadi kekuatan yang juga tidak puas dalam peranan hanya sebagai
penjaga pertahanan dan keamanan belaka. Pembahasan terhadap kepentingan-
kepentingan konkret seperti ini tidak lazim ditemukan dalam pelajaran sejarah di sekolah
pada tahun 1950-an.
Perlu diingat pula bahwa, untuk sebagian, penaklukan terhadap pemberontakan daerah
telah menghasilkan suatu pimpinan Angkatan Darat yang jauh lebih bersatu dibandingkan
sebelumnya. Jenderal Abdul Haris Nasution telah tampil sebagai pimpinan yang mampu
untuk meredam tantangan yang diajukan oleh komandan-komandan lokal yang
memberontak karena tidak senang dengan dominasi Jakarta/Jawa. Di samping itu, kondisi
darurat yang dicanangkan untuk menghadapi pemberontakan daerah telah menempatkan
banyak perwira militer sebagai administrator roda pemerintahan. Lebih jauh lagi,
nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di tahun 1957-yang sebenarnya dipelopori
oleh serikat buruh-telah menempatkan banyak perwira militer di pucuk pimpinan
perusahaan-perusahaan negara yang terbesar. Diantaranya adalah Ibnu Sutowo yang
kemudian mengembangkan Pertamina.
Dengan posisi politik dan ekonomi yang kuat seperti ini, tampaknya militer tergiur untuk
mempunyai peranan yang langsung di dalam system politik. "Demokrasi Terpimpin"-nya
Soekarno memberikan peluang. Di antara golongan "fungsional" atau "karya" yang boleh
duduk dalam parlemen adalah tentara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional.
Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum
mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno,
pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di
Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika.
Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat
yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan
kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan
badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya.
Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir),
Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia
mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat
jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya.
Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai
saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-
negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia
Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional,
Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-
pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald
Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRT).
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden Moh.
Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan
Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh
pelosok Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam
masa jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan
sejahtera.
Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah
mengalami pengucilan oleh suksesornya yang "durhaka" Jenderal Suharto. Jenazahnya
dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena
setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru
dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno
demikian sekilas perjalanan Soekarno yan di ambil dari berbagai Sumber buku.
Baca Juga mengenai :
Soekarno-penggali-pancasila
Soekarno-dan-latar-belakangnya
Soekarno-dan-penjajahan-jepang
Soekarno-dan-perang-revolusi
Gambar Pahlawan Download Disini
postingan ini berkategori
PAHLAWAN
dengan judul
Soekarno dan Kemerdekaan
. Jangan lupa menyertakan URL
https://joyodrono-cahmabung.blogspot.com/2012/10/soekarno-dan-kemerdekaan.html
. Jika ingin memposting ulang . Terima kasih!
Belum ada komentar untuk " Soekarno dan Kemerdekaan "
Posting Komentar