• Puisi
  • TV Online
  • Radio online
  • Live score Bola
  • Film
  • Games
  • Tukar Link
  •  joyodrono
    Diberdayakan oleh Blogger.

    Lakone urip

    iki jamane wes tuo akeh musibah sing teko iku tondo gusti ngelingno tapi menungso tetep ra kroso ........

    Asmoro

    Terminal wonorejo - kangprie

    Inilah Islam Indonesia

    Mungkin ini jawaban foto
    Islam Kejawaan (Taddaburan/maiyahan) di Indonesia.
    Alhamdulillah, akhir-akhir ini orang merasakan manfaatnya Nahdlatul
    Ulama (NU). Dulu, orang yang paling bahagia, paling sering merasakan
    berkahnya NU adalah keluarga orang yang sudah meninggal : setiap hari
    dikirimi doa dan tumpeng.
    Hari ini begitu dunia dilanda kekacauan, ketika Dunia Islam galau: di
    Afganistan perang sesama Islam, di Suriah perang sesama Islam, di
    Irak, perang sesama Islam. Semua ingin tahu, ketika semua sudah jebol,
    kok ada yang masih utuh: Islam di Indonesia.
    Akhirnya semua ingin kesini, seperti apa Islam di Indonesia kok masih
    utuh. Akhirnya semua sepakat: utuhnya Islam di Indonesia itu karena
    memiliki jamiyyah NU. Akhirnya semua pingin tahu NU itu seperti apa.
    Ternyata, jaman dulu ada orang Belanda yang sudah menceritakan santri
    NU, namanya Christia Snouck Hurgronje. Dia ini hafal Alquran, Sahih
    Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu'in , tapi tidak
    islam, sebab tugasnya menghancurkan Islam Indonesia.
    Mengapa? Karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan
    Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri.
    Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok
    melawan Belanda.
    Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari
    rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk. Snouck Hurgronje
    masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Dia
    belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya
    paham betul Islam.
    Hanya saja begitu ke Indonesia, Snouck Hurgronje bingung: mencari
    Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu. Ternyata Islam yang
    dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje itu tidak ada.
    Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya Pangeran. Ketemunya
    Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada Gusti
    namanya Gusti Kanjeng. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya
    sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak ketemu, ketemunya kiai.
    Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla tidak
    ketemu, ketemunya langgar.
    Maka, ketika Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu Van Der Plas. Ia
    menyamar dengan nama Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar
    bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa
    Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.
    Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees. Orang disini
    makanannya nasi (sego). Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahu bahasa
    beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz .
    Yang disebut ruz, ketika di sawah, namanya pari, padi. Disana masih
    ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana
    masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah mulai kucluk , korslet.
    Begitu ditutu, ditumbuk, digiling, mereka masih mahami ruz, rice ,
    padahal disini sudah dinamai gabah. Begitu dibuka, disini namanya
    beras, disana masih ruz, rice . Begitu bukanya cuil, disini namanya
    menir, disana masih ruz, rice. Begitu dimasak, disini sudah dinamai
    sego , nasi, disana masih ruz, rice.
    Begitu diambil cicak satu, disini namanya
    upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang,
    disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur
    kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan
    hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.
    Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing.
    Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam
    Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge nglinting
    (berkopiah miring dan bersarung ngelinting). Kedua, mambu rokok (bau
    rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).
    Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje
    di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang
    lain sudah biasa. Maka, jangankan Snouck Hurgronje, orang Indonesia
    saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di
    tanah Arab.
    Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang bid'ah . Melihat
    tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid'ah. Padahal
    itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi tidak
    paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan
    sebutan "Muhammad" saja. Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil
    "Mas". Padahal orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi.
    Lha , akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia.
    Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia,
    Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati
    (essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia.
    Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab.
    Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga
    makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke
    Indonesia.
    Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu
    peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum
    terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp
    20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang
    berpendidikan, sulit, dikasih uang Rp 10 juta belum tentu mau.
    Islam datang ke Eropa juga dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang
    kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa di Nusantara ini sedang
    kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian ini bukan bangsa kecoak. Ini karena
    ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai
    2/3 dunia, namanya Majapahit.
    Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia
    ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang
    menjadi rujukan adanya di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya
    bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya
    Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar
    dan kaya-raya.
    Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam penggambaran
    Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya mengalir), seperti kali.
    Kata orang disini: "mencari air kok sampai surga segala? Disini itu,
    sawah semua airnya mengalir." Artinya, pasti bukan itu yang
    diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya
    banyak juga tidak, karena disini juga banyak buah. Artinya dakwah
    disini tidak mudah.
    Diceritain pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang Widhi.
    Diceritain Ka'bah orang jawa juga sudah punya stupa: sama-sama batunya
    dan tengahnya sama berlubangnya. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal
    Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni.
    Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari
    raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang
    Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama
    hindu. Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang
    Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.
    Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur
    atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin
    dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai
    negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama.
    Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra .
    Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam
    dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu
    pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh
    bicara soal agama.
    Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya,
    bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta paria,
    yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet,
    namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta
    Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.
    Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan
    Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu
    bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.
    Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini mau memakan
    manusia. Namanya aliran Bhirawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti
    Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa
    melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa
    atau murco.
    Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak
    minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil
    dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak
    bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha
    ini terus menjadi jenglot atau batara karang.
    Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk
    gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah,
    namanya ilmu ngrogoh sukmo . Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari
    ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan
    Pancamakara.
    Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan dikenyangi, laki-laki
    perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging
    manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks
    bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.
    Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak
    banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan
    tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul
    orang-orang macam Sumanto.
    Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak
    mencuri namanya
    ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika
    sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka
    kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.
    Ada 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh
    orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi,
    maka Khalifah Turki Utsmani mengirim kembali tentara ulama dari Iran,
    yang tidak bisa dimakan orang Jawa.
    Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang
    Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh
    Subakir. Di Jawa ini di duduki bala tentara Syekh Subakir, kemudian
    mereka diusir.
    Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap,
    Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa
    Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu,
    Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka
    dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro.
    Karena Syekh Subakir sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya
    namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim
    Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah,
    anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak,
    melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik.
    Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok
    Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah,
    melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air
    biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti
    kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan.
    Kalau ada orang banyak komentar mem-bid'ah -kan, ceritakanlah ini.
    Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena
    NU termasuk yang masih mengurusi beginian.
    Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid
    Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap di
    daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh
    Jumadil Kubro.
    Disana dia punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat,
    membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk
    Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif
    Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan
    Padjajaran. Maka kemudian ada Rara Santang, Kian Santang dan
    Walangsungsang.
    Nah , Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama Maulana Ishak
    dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan
    Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas
    mengislamkan Majapahit.
    Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya
    pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat
    sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu,
    pohon pisang anda bisa ditebang.
    Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat
    petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan : "....
    masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar'in ahraja sat'ahu
    fa azarahu fastagladza fastawa 'ala sukıhi yu'jibuz zurraa, li yagidza
    bihimul kuffar………"
    Artinya: "…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
    sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
    mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu
    menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu
    menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan
    hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………"
    Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, kemudian hamil,
    kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti
    orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya
    hamil? Jawabannya adalah padi.
    Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi.
    Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau
    diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.
    Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau menanam
    shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam syaikhun,
    ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun , disini
    sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu,
    menanamnya tidak kelihatan.
    Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat syahadat, jadi
    kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi langgar. Sampai
    itu jadi bahasa masyarakat. Yang paling sulit mememberi pengertian
    orang Jawa tentang mati.
    Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati
    (tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan.
    Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena
    ini prinsip. Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan
    dengan reinkarnasi. Bagaimana caranya?
    Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian
    di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.
    Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka
    tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan:
    mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang
    begitu, mudah hafal dengan tembang.
    Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi:
    ndang baliyo, Sri, ndang baliyo . Lihat lintang, nyanyi: yen ing
    tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali
    nyucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok, menthok, tak kandhani,
    mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran.
    Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok silit, gudighen.
    Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu ditembangkan.
    Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang
    bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa
    membaca perkara Empat.
    Keempat perkara itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika
    turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia.
    Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah
    padatnya keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu
    depan.
    Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini
    penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur
    dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat
    bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia.
    Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. "Dul, turun ya,". "Iya,
    Ya Allah". "Alastu birabbikum?" (apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?).
    "Qalu balaa sahidnya," (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang
    nyawa,. "fanfuhur ruuh" (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka
    daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging
    ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A'raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu'min:
    67, ed. )
    Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya,
    yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang
    tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya
    ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya
    ganteng dan cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.
    Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat.
    Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, ada di
    dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas
    menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin
    qarin dan hafadzah.
    Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer. Ini metode
    mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur
    tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok
    ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya
    Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.
    Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji
    Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa,
    kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa
    billahil 'aliyyil 'adzim . Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri,
    yang dibaca aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa.
    Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya
    Fattaahu Ya Razzaaqu , kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan
    kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.
    Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat.
    Kiai yang 'alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama
    tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang.
    Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah
    terbakar.
    Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya
    utuh; sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering
    yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu
    bedanya nur dengan nar.
    Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang yang awalan,
    Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo , sabut ngapati,
    mitoni , ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk
    imunisasi.
    Maka menurut NU ada ngapati, mitoni,
    karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami
    tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau
    lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya
    kambing satu.
    Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu, bekalilah
    dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ,
    ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah
    main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing,
    potong saja kailnya.
    Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama,
    akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi
    anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.
    Apalagi, setelah Sinom, tembangnya asmorodono , mulai jatuh cinta. Tai
    kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati. Setelah itu manusia
    disusul tembang Gambuh , laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah
    tangga, rabi, menikah.
    Setelah Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan manis dan
    pahitnya kehidupan. Setelah Dhandanggula , menurut Mbah Sunan Ampel,
    manusia mengalami tembang Dhurma.
    Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga setelah
    berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk
    makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana?
    Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain?
    Khairunnas anfa'uhum linnas , sebaik-baik manusia adalah yang
    bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi
    tidak darma bakti, kesusul tembang Pangkur.
    Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki
    sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk
    masjid kesusul tembang Megatruh : megat, memutus raga beserta
    sukmanya. Mati.
    Terakhir sekali, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi,
    kalau Islam Pucung . Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan
    pintu kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya :
    siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).
    Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?
    Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir.
    Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: "Man
    rabbuka?" , dijawab: "Awwloh,". Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir
    apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.
    Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib buru-buru menghentikan: "Jangan
    disiksa, ini lidah Jawa". Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na,
    ca, ra, ka . "Apa sudah mau ngaji?"kata Mungkar – Nakir. "Sudah, ini
    ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal".
    "Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal
    yang dimaafkan oleh Allah."
    Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, "Man
    rabbuka?" , menjawab, "Ha……..???". langsung dipukul kepalanya:
    "Plaakkk!!". Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng
    , takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh malaikat,
    di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti
    tarangan bodhol , ajur mumur seperti gedhebok bosok.
    Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah –
    mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan
    bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti
    ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!
    Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada
    musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok :
    nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang,
    gung . Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya
    disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu.
    Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini ini: kelihatannya
    disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!. Sudah
    hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju
    putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.
    Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin
    akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke
    Sanghyang Agung. Fafirru illallaah , kembalilah kepada Allah.
    Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan
    Bonang.
    Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar
    bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga:
    mawar, kenanga dan kanthil.
    Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu
    kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti
    ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho , ini
    piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga,
    yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh
    Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.
    Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu:
    tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir
    Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo
    royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu
    sanopo lambang shalat.
    Disini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol: kolo-kolo teko ,
    janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung. Blimbing itu
    bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak cah angon
    ayo memanjat mangga.
    Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak
    shalat, kita beda. Disana, shalat 'imaadudin, lha shalat disini,
    tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun.
    Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil
    jam segitu masih disawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri kayu.
    Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang
    adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang.
    Padahal tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai
    pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana , – sambil
    tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna
    lanakunanna minal khasirin.
    Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk.
    Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro….. . Sampai
    pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok
    tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di
    urugi anjang-anjang……. , langsung deh, para ma'mum buruan masuk. Itu
    tumbuhnya dari situ.
    Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat
    disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allahu Akbar
    , matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor,
    ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya
    membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah
    shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.
    Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek,
    geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho,
    sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang
    sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan
    dengan keras, agar ma'mum tahu apa yang sedang dibaca imam.
    Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi
    ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan
    nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair:
    kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud
    tahun gajah.
    Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam, agar masyarakat
    disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak
    (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil
    'aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk
    menjadi rahmat bagi alam semesta.
    Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang
    sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran
    kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya
    dimiliki orang Jawa.
    Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur
    melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal
    baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan
    pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang
    mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.
    Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari' terbaik dari Gresik.
    Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang
    mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang
    seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai
    paham Islam.
    Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam
    dengan hukum, tidak dengan budaya. "Urusanmu kan bukan urusan agama,
    tetapi urusan negara," kata Sunan Kalijaga. "Untuk urusan agama,
    mengaji, biarlah saya yang mengajari," imbuhnya.
    Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai
    dan tidak menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga
    memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:
    Gundul-gundul pacul, gembelengan.
    Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
    Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
    Gundul itu kepala. Kepala itu ra'sun. Ra'sun itu pemimpin. Pemimpin
    itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal
    itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.
    Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah
    tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat.
    Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah
    tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.
    Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan
    wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika
    nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul
    pacul. Inilah cara orang dulu, landai.
    Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam
    ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada
    Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung
    Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.
    Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi. Khatib Dayan
    belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali
    ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.
    Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan,
    menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.
    Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang
    dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.
    Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik
    Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya
    tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa
    kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun
    wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.
    Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama
    wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum
    raa'in wa kullukum mas uulun 'an ra'iyatih ; bahwa Rasulullah
    mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada sesuatu yaitu
    pertanggungjawaban.
    Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggung jawabkan disebut ra'iyyah.
    Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra'iyyah atau
    rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.
    Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama
    Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran
    wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan
    nama Jam'iyyah Nahdlatul Ulama.
    Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan
    Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama.
    Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama,
    orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya
    muridnya ulama.
    Meski, nama ini tidak gagah. KH Ahmad Dahlan menamai organisasinya
    Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi,
    namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran,
    gagah namanya. Lha ini "hanya" Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di
    desa juga ada yang hutang rokok.
    Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari
    ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid
    Nabi namanya Sahabat. Murid sahabat namanya tabi'in . Tabi'in bukan
    ashhabus-shahabat , tetapi tabi'in , maknanya pengikut.
    Murid Tabi'in namanya tabi'it-tabi'in , pengikutnya pengikut. Muridnya
    tabi'it-tabi'in namanya tabi'it-tabi'it-tabi'in , pengikutnya
    pengikutnya pengikut. Lha kalau kita semua ini namanya apa? Kita
    muridnya KH Hasyim Asy'ari.
    Lha KH Hasyim Asy'ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai Asyari
    mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya
    namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai
    Abdul Halim, Boyolali.
    Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul Wahid itu murid
    Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar murid
    Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid
    Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng.
    Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid
    Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil
    Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid
    Abdul Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib
    Mirbath.
    Kemudian murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid
    Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir,
    murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid
    Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja'far Shodiq, murid
    Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir
    hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain,
    murid Sayiidina Ali karramallahu wajhah . Nah, ini yang baru muridnya
    Rasulullah saw.
    Kalau begini nama kita apa? Namanya ya
    tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka
    cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.
    Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis
    Alquran. Maka tidak ada mushaf
    Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat
    ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.
    Untuk siapa? Untuk para tabi'in yang tidak bertemu Alquran. Maka
    ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman.
    Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi'in harus mengajari dibawahnya.
    Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit
    tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda "titik"
    oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.
    Tabiin wafat, tabi'it tabi'in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak
    cukup, kemudian diberi "harakat" oleh Syekh Kholil bin Ahmad
    al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah.
    Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Alquran
    semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang
    Andalusia diajari " Waddluha" keluarnya " Waddluhe".
    Orang Turki diajari " Mustaqiim" keluarnya " Mustaqiin". Orang Padang,
    Sumatera Barat, diajari " Lakanuud " keluarnya " Lekenuuik ". Orang
    Sunda diajari " Alladziina " keluarnya " Alat Zina ".
    Di Jawa diajari " Alhamdu" jadinya " Alkamdu ", karena punyanya ha na
    ca ra ka . Diajari " Ya Hayyu Ya Qayyum " keluarnya " Yo Kayuku Yo
    Kayumu ". Diajari " Rabbil 'Aalamin " keluarnya " Robbil Ngaalamin"
    karena punyanya ma ga ba tha nga.
    Orang Jawa tidak punya huruf " Dlot " punyanya " La ", maka " Ramadlan
    " jadi " Ramelan ". Orang Bali disuruh membunyikan " Shiraathal…"
    bunyinya " Sirotholladzina an'amtha 'alaihim ghairil magedu bi'alaihim
    waladthoilliin ". Di Sulawesi, "' Alaihim" keluarnya "' Alaihing ".
    Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 hijriyyah,
    seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran ,
    namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak
    paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.
    Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika
    dzikir dan diam, hatinya "online" langsung kepada Allah SWT. Kalau
    kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur.
    Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.
    Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka'bah. Muridnya ulama
    dibangunkan Ka'bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus,
    namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang
    se-kampung.
    Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang mengantar pulangnya belok
    ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid ulama.
    Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia,
    Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum
    pelajarannya ulama.
    Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir, karena
    muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini
    makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir.
    Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi,
    pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di
    akhirat ketika "wa tasyhadu arjuluhum ," ada saksinya. Orang disini,
    ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca Alquran.
    Maka diadakan semaan Alquran.
    Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa
    mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya
    kosong, di telinga ada Alqurannya.
    Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia.
    Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak
    serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah sahadat jadi
    kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu.
    Ini terkesan ulama dahulu tidak 'alim. Ibarat pedagang, seperti
    pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam
    Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat
    terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari
    Indonesia.
    Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: islam
    kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi. Dilihat dari sini, saya
    meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan
    sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris.
    Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul
    Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok
    ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban,
    tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang.
    Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka,
    anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga
    jamiyyah Nahdlatul Ulama. Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi
    organisasi terbesar di dunia.
    Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran
    120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai
    saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali
    matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah
    bagaimana. Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad,
    urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam
    mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad saw.


    sumber : Agus Sunyoto Lesbumi

    Menyusuri sejarah Mbah Ngaliman ( Sedudo ) - Naganjuk

    #Telisik Makam Mbah Ngaliman
    -----------------------------------------
    Berdirinya sebuah negara atau daerah termasuk Nganjuk yang dikenal
    sebagai Bumi Anjuk Ladang, tentu tidak terlepas dari sejarah
    perjuangan masa lampau, para leluhur, atau nenek moyang yang telah
    babad alas, hingga tumbuh dan berkembang seperti sekarang ini.
    Pada saat para wisatawan yang akan menikmati indahnya air terjun
    Sedudo, di dekat pintu gerbang obyek wisata akan menjumpai lokasi
    makam yang disebut makam Ki Ageng Ngaliman. Bagaimana sejarahnya ?
    *
    Berdasarkan data dan informasi yang direkam oleh Tim Penelusuran
    Sejarah Ngaliman yang melibatkan berbagai nara sumber baik yang berada
    di daerah Ngliman antara lain :
    Mbah Iro Karto (sesepuh masyarakat), Drs. Sumarsono (Kades Ngliman)
    Parmo (Mantan Kades Ngliman) , Suprapto (mantan Kades Sidorejo),
    Imam Syafi'i (Juru Kunci Makam), Sumarno (Kamituwo),
    Sarni (Jogoboyo) maupun nara sumber yang berada diluar daerah Ngliman
    antara lain:
    Kyai Ahmad Suyuti (Ngetos),
    KH. Qolyubi (Keringan),
    KH. Moh. Huseini Ilyas (Karang Kedawang , Trowulan Mojokerto).
    *
    KH. Moh. Huseini Ilyas ini merupakan salah satu keturanan Ki Ageng
    Ngaliman Gedong Kulon, maka tersusunlah tulisan seperti di bawah
    ini.Di Desa Ngliman terdapat dua makam yang sama-sama disebut Ki Ageng
    Ngaliman. Akan tetapi guna membedakan kedua makam tersebut maka
    digunakan sebutan :
    .
    a. Makam Gedong Kulon ;
    b. Makam Gedong Wetan.
    Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon
    Ki Ageng Ngaliman dimakamkan di Desa Ngliman Kecamatan Sawahan + 50
    Meter sebelah selatan Balai Desa Ngliman. Beliau dimakamkan
    bersama-sama dengan para sahabat dan pengikutnya. Dalam satu kompleks
    bangunan makam tersebut terdapat enam makam antara lain :

    a. Ki Ageng Ngaliman ;
    b. Pengeran Pati ;
    c. Pangeran Kembang Sore ;
    d. Pangeran Tejo Kusumo ;
    e. Pangeran Blumbang Segoro ;
    f. Pangeran Sumendhi.
    *
    Menurut nara sumber dari Ngliman bahwa di pintu depan Makam Ki Ageng
    Ngaliman terdapat gambar bintang, kinjeng, ketonggeng, burung dan
    bunga teratai. Gambar-gambar tersebut kemungkinan menunjukkan makna
    tersendiri, namun sampai saat ini penulis belum bisa mengungkapkannya.
    *
    Ki Ageng Ngaliman berasal dari Solo Jawa Tengah. Ketika Surakarta
    digempur oleh Belanda, maka oleh Nur Ngaliman yang pada waktu itu
    menjabat sebagai Senopati Keraton Surakarta dengan sebutan Senopati
    Suroyudo, Keraton Surakarta dikocor secara melingkar dengan air kendi.
    Akibat dari tindakan tersebut kendaraan pasukan Belanda luluh, waktu
    masuk keraton seperti masuk sarang angkrang, akhirnya beliau ditemui
    oleh Nabi Khidir agar menemui sanak saudaranya yang ada di Karang
    Kedawang Trowulan Mojokerto.
    *
    Ki Ageng Ngaliman masih keturunan Arab dan mempunyai anak sebanyak 21
    orang. Keterangan ini diperoleh dari salah satu keturunan Ki Ageng
    Ngaliman yang bernama KH. Huseini Ilyas. Perang di Solo tersebut
    melibatkan kaum Cina yang dikenal dengan sebutan Perang Gianti pada
    sekitar tahun + 1720 M. (sumber : KH. Qolyubi).
    *
    SILSILAH KI AGENG NGALIMAN menurut KH. Huseini Ilyas adalah : RONGGOWARSITO
    NUR FATAH
    NUR IBRAHIM
    SYEH YASIN SURAKARTA
    NUR NGALIMAN/ SENOPATI SUROYUDO ---MUSYIAH
    I L Y A S
    KH. HUSEINI ILYAS (TROWULAN MOJOKERTO)
    *
    Perjalanan Hidupnya KH. Qolyubi tokoh ulama asal Kelurahan
    Mangundikaran itu berpendapat bahwa aktifitas yang dilakukan Ki Ageng
    Ngaliman adalah untuk mempersiapkan perjuangan melawan Belanda dengan
    diadakan pelatihan fisik dan mental yang bertempat di Padepokan yang
    sampai saat ini disebut Sedepok, dan di Sedudo yang letaknya di Puncak
    Gunung Wilis. Perjuangan tersebut ditujukan guna memerangi Pemerintah
    Belanda yang sedang ikut mengendalikan pemerintahan di Kasultanan
    Surakarta.
    Dasar pemikiran yang melatarbelakangi hijrahnya Ki Ageng Ngaliman dari
    Solo ke Nganjuk adalah karena Nganjuk merupakan wilayah Kasultanan
    Mataram sehingga juga berguna untuk menghindari kecurigaan maka Ki
    Ageng Ngaliman melatih prajuritnya menetap di daerah Nganjuk yang
    merupakan wilayah kasultanan Mataram. Sehingga terjadilah kepercayaan
    bahwa siapa saja yang menyebut nama Kyai Ageng Ngaliman akan mati
    dimakan binatang buas sebab memang beliau dirahasiakan namanya agar
    supaya tidak diketahui oleh Kasultanan Solo.
    *
    Dalam perjalanan waktu menurut cerita bahwa desa Kuncir asal usulnya
    dari murid Ki Ageng Ngaliman yang meninggal dalam perjalanan di tempat
    tersebut, dia adalah seorang cina yang waktu itu cina memakai rambut
    yang dikuncir/dikepang sehingga tempat meninggalnya murid Ki Ageng
    Ngaliman tersebut di sebut Desa Kuncir.
    Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ki Ageng
    Ngaliman merupakan seorang Kyai yang mempunyai keahlian nggembleng
    ulah kanuragan keprajuritan. Bagi masyarakat Ngliman, karomah yang
    dirasakan sampai saat ini adanya ketentraman dan kedamaian dalam
    kehidupannya.
    *
    Mengingat Ki Ageng Ngaliman yang mempunyai keahlian neggembleng ulah
    kanuragan keprajuritan maka banyak pusaka yang ditinggalkannya. Ki
    Ageng Ngaliman masih mempunyai peninggalan berupa tanah di depan
    Masjid Ngaliman sehingga oleh perangkat dusun waktu itu tanah tersebut
    dibangun sebuah tempat yang disebut dengan Gedong Pusaka dan
    peninggalan pusakanya Ki Ageng Ngaliman di tempatkan di Gedong pusaka
    tersebut. Sebenarnya pusaka Ki Ageng Ngaliman cukup banyak tetapi ada
    yang dicuri orang sehingga yang ada di Gedong Pusaka saat ini hanya
    ada beberapa pusaka.
    *
    Berdasarkan nara sumber dari Ngliman bahwa yang berada dan disimpan
    digedong pusoko antara lain :
    a. Kyai Srabat ; (Hilang tahun 1976)
    b. Nyai Endel ; (Hilang tahun 1976)
    c. Kyai Berjonggopati; (Hilang tahun 1949 saat klas Belanda kedua)
    d. Kyai Trisula ; (Hilang tahun 1949 saat klas Belanda kedua)
    e. Kyai Kembar
    f. Dalam bentuk Wayang antara lain : Eyang Bondan, Eyang Bethik, Eyang
    Jokotruno, Kyai Panji, dan Nyai Dukun
    g. Kamar 1 buah
    h. Kotak Wayang Kayu 1 buah
    i. Terbang
    j. Almari tempat pusaka 2 buah
    k. Tempat Plandean Tumbak
    Pada bulan Suro diadakan jamasan pusaka Ki Ageng Ngaliman dan dikirap
    mengelilingi Desa Ngliman.
    *
    Air terjun yang ada di Ngliman sebenarnya banyak sekali antara lain :
    Sedudo, Segenting, Banyu Iber, Banyu Cagak, Banyu Selawe, Toyo Merto,
    Tirto Binayat, Banyu Pahit, Selanjar dan Singokromo.Sedangkan yang
    mudah dan bisa dikunjungi adalah Sedudo dan Singokromo. Sedangkan yang
    lainnya seperti Banyu Cagak, Banyu Selawe, Banyu Iber hanya bisa
    dikunjungi dengan jalan setapak. Adapun air yang paling besar adalah
    Air terjun Banyu Cagak. Menurut pendapat dari Bapak Sarni (Jogoboyo
    Ngliman) bahwa untuk pengembangan Wisata perlu dibangun kolam renang
    di Ganter dan dibuatkan perkemahan.
    *
    Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan
    Makam Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan terletak di Desa Ngliman + 100 M
    ke arah timur dari Kantor Desa Ngliman.
    Mbah Iro Karto maupun KH. Qolyubi berpendapat bahwa Ki Ageng Ngaliman
    Gedong Wetan adalah keturunan dari Gresik. Menurut sejarah telah
    disepakati bahwa setiap pengangkatan Sultan yang dinobatkan terutama
    dari keturunan Demak harus mendapat restu dari keturunan Giri Gresik.
    Hal ini disebabkan karena sewaktu kerajaan Majapahit runtuh, oleh wali
    9 yang diangkat menjadi Sultan adalah Kanjeng Sunan Giri. Setelah 100
    hari setengah riwayatnya 40 hari, kesultanan dihadiahkan kepada Raden
    Patah.
    *
    Hal ini untuk menghindari citra bahwa Raden Patah merebut kekuasaan
    dari ayahnya sendiri. Dengan demikian setiap pergantian Sultan Demak
    yang menobatkan adalah keturunan Kanjeng Sunan Giri. Setelah
    kasultanan Pajang runtuh, Sultan Hadiwijoyo pindah ke Mataram. Dengan
    kejadian ini terjadi silang pendapat didalam keluarga Giri. Diantara
    keluarga yang tidak setuju dan kalah suara menyingkir ke Ngliman dan
    menyebarkan agama Islam di Ngliman yang kemudian dimakamkan di Ngliman
    Gedong Wetan, Karena beliau lebih cenderung pada keturunan Demak Asli.
    Kemudian kepergian beliau ditelusuri oleh orang Demak asli bernama
    Dewi Kalimah yang kemudian meninggal dan dimakamkan di Kebon Agung.
    Rentang waktu antara Ngaliman Gedong Wetan dengan Ngaliman Gedong
    Kulon terpaut waktu antara + 200 tahunan. Lebih tua Gedong Wetan.
    Setelah Ngaliman Gedong Wetan meninggal, keluarganya diboyong ke
    Kudus.
    *
    Demikian hasil penelusuran sumber sejarah mengenai riwayat Ki Ageng
    Ngaliman yang dihimpun dari berbagai nara sumber mudah-mudahan dapat
    bermanfaat bagi pengembangan obyek wisata religius. Dasar pemikiran
    yang sangat sederhana ini mudah-mudahan ada gayung bersambut dari
    pihak-pihak terkait guna pengkajian yang lebih mendalam.
    *
    Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
    1. Beliau yang dimakamkan di Ngaliman Gedong Kuolon berasal dari Solo
    Jawa Tengah dan masih keturunan Arab dan merupakan Senopati Perang
    Keraton Solo yang bernama Senopati Suroyudo. Perpindahan tersebut
    terjadi pada saat pergolakan Perang Gianti sekitar abad 17.
    .
    2. Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon adalah Kyai yang ahli dalam hal
    penggemblengan ilmu kanuragan. Ini bisa di buktikan bahwa di Desa
    Ngaliman tidak ada Pondok Pesantren namun yang ada tempat peninggalan
    untuk latih keprajuritan dan beberapa pusaka.
    .
    3. Beliau yang dimakamkan di Gedong Wetan berasal dari Gresik Jawa
    Timur sekitar abad 15 saat terjadi silang pendapat tentang penentuan
    orang yang menjabat sebagai raja di kerajaan Demak
    *
    Kirab Pusoko
    ------------------
    Tempat atraksi wisata budaya berupa Kirab Pusoko dipusatkan di Gedung
    Pusoko Desa Ngliman Kecamatan Sawahan. Acara Kirab Pusoko digelar
    setiap bulan Maulud (dikaitkan dengan Bulan Kelahiran Nabi Muhamad,
    SAW), pada acara Kirab Pusoko ini selain acara yang sudah bersifat
    pakem, diisi pula pemeran produk unggulan penunjang dunia
    kepariwisataan. Dengan demikian nampak lebih semarak.
    *
    Kirab pusaka biasanya dimulai sekitar pukul 09.00 itu berawal dari
    Dukuhan Bruno berjalan berarak-arakan menuju Gedung Pusoko berjarak
    sekitar 2,5 km. Saat itu pula warga di masing-masing pedukuhan
    mengadakan selamatan, dengan suguhan jajanan pala kependem. Yaitu
    seperti ketela, ubi, garut, kacang tanah dan lain-lainnya.
    Pusoko yang dikirab berjumlah enam buah, sebagian banyak berupa wayang
    kayu. Kecuali Kyai Kembar yang berbentuk Cundrik Lar Bangao. Keenam
    pusaka itu ialah Kyai Bondan, Kyai Djoko Truno, Kyai Bethik, Kyai
    Kembar, dan Eyang Dukun serta Eyang Pandji.
    *
    Masyarakat sekitar mempercayai bahwa pusaka-pusaka itu banyak membawa
    tuah diantaranya untuk keberhasilan dunia pertanian dan juga berkah
    kesehatan. Sebab, seperti dituturkan oleh Sang Juru Kunci Gedung
    Pusoko Ngalimin (65), konon ceritanya dulu kala ketika Desa Ngliman
    diserang wabah penyakit termasuk tanaman pertaniannya, Kyai Bondan dan
    Kyai Djoko Truno keliling desa dengan ditandai bunyi klintingan. "
    Karenanya, di daerah Ngliman dan sekitarnya, walaupun bayi dilarang
    mengenakan klinting" tambah mBah Ngalimin.
    *
    Acara ini tidak ada kaitannya dengan agama., Bahkan, acara seperti itu
    bisa saling melengkapi kasanah budaya khususnya budaya jawa. Oleh
    karenanya, kedepan acara serupa bisa dikemas sebagai sebuah atraksi
    wisata budaya yang layak jual.....

    *Sumber : Putra Wilis

    #MbahNgaliman
    #sedudo
    #sawahan
    #Nganjuk

    Menelusuri sejarah Medang Kahuripan

    OMENU
    PUTRA WILIS
    Berbagi Informasi Tanpa Menyakiti
    c


    c
    Menu

    Putra Wilis Cerita Rakyat MENELUSUR MISTERI MEDANG - KAHURIPAN.
    MENELUSUR MISTERI MEDANG - KAHURIPAN.

    Cerita Rakyat

    Oleh : Drs. Harmadi

    Pengantar
    Meskipun masyarakat Nganjuk dan sekitarnya yakin benar bahwa Sejarah
    berdirinya Kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur tidak dapat
    dilepaskan dari awal kemenangan Mpu Sindok melawan bala tentara Melayu
    (Sriwijaya) di wilayah Nganjuk sekarang pada awal abad ke X, namun
    nama Kerajaan yang dirintis oleh pendiri dinasti Isana itu sendiri
    masih terdapat kesimpang siuran penyebutan, ada sementara yang
    mengatakan Medang, ada sebagian yang mengatakan Medang ? Kamolan, ada
    yang Medang ? Kehuripan, dan bahkan ada yang hanya menyebut Kehuripan
    saja.
    Terlebih lagi dengan sangat minimnya bekas peninggalan dan tidak
    konsistennya pernyataan yang termuat dalam tiap prasasti peninggalan,
    lebih menyulitkan bagi peneliti sejarah untuk mengadakan kajian
    mendalam tentang situs yang diasumsikan sebagai lokasi yang bisa
    diyakini sebagai ibukota atau pusat pemerintahan kala itu.
    Tulisan ini hanya sebagai sumbangsih penulis melengkapi
    tulisan-tulisan terdahulu, sebagai warga Nganjuk yang merasa ikut
    peduli terhadap sejarah tanah kelahiran.
    Wassalam.

    I.MASA MPU SINDOK
    A.BABAT ANJUK LADANG
    Sebagaimana telah saya tulis pada edisi-edisi terdahulu, bahwa
    romantika sejarah perjuangan mPu Sindok dalam mempertahankan
    pemerintahan dan kedaulatan Mataran Hindu di Jawa Timur dari
    rongrongan Sriwijaya, menguras banyak tenaga dan pikiran serta waktu
    yang cukup lama. Strategi demi strategi, kekuatan demi kekuatan telah
    dikerahkan semaksimal mungkin, namun kekalahan masih selalu berada
    dipihaknya, dan tentara Sriwijaya masih selalu diatas angin
    Hal demikian jelas membuat kecil hati dan paniknya mPu Sindok
    menghadapi lawan yang memang tangguh dalam segala hal, yang memang
    jauh lebih unggul dalam mengatur strategi, persenjataan, pengalaman
    perang, maupun kuatnya dukungan logistik yang sangat memadai dan
    dipersiapkan untuk sebuah perang besar yang berkepanjangan (perang
    gejag).
    Dalam situasi terdesak dan terjepit seperti itu, telah menimbulkan
    pemikiran untuk mobilisasi umum, yaitu mengerahkan penduduk setempat,
    untuk bersama-sama berjuang melawan musuh kerajaan Mataram yang juga
    musuh para kawulo bersama. Pemberian motivasi bahwa kalau kerajaan
    sampai terjajah musuh, maka nasib para kawulo juga akan menderita
    diperbudak oleh penjajah, rupanya sangat mengena dihati rakyat.
    Dengan motivasi seperti itu, timbul kesadaran masyarakat setempat
    untuk mau berjuang bahu membahu bersama prajurit mPu Sindok melawan
    musuh bersama, walaupun mereka tidak pernah mengenal ilmu perang dan
    pengalaman berperang, dengan hanya bermodal persenjataan apa adanya,
    semuanya cancut tali wondo, holopis kontul baris, saiyek saeko proyo,
    dengan modal nekat, semuanya maju bersama melawan mush, menumpas habis
    bala tentara Sriwijaya di ladang pembantaian (killing field) di
    kalangan peperangan.
    Perjuangan besar itu membuahkan hasil gemilang, yaitu kemenangan
    gilang gemilang. Kemenangan yang diperoleh berkat sebuah strategi
    mobilisasi umum, telah mengangkat mPu Sindok naik ke derajat yang
    lebih tinggi dari kedudukan semula Rakai Hino, menjadi pemegang
    Singgasana Kerajaan baru yaitu Medang pada tahun 929 Masehi,
    mengakhiri dominasi wangsa Sanjaya Kerajaan Mataram Hindu yang
    berpusat di Jawa Tengah, dan mendirikan dinasti baru Isana dengan
    pusat pemerintahan di Jawa Timur, dengan abiseka nama (gelar
    kemaharajaan) Sri Isanawikramadharmatunggadewa.
    Sebagai wujud ucapan terima kasih atas bantuan penduduk memenangkan
    peperangan melawan tentara Melayu, dilokasi peperangan itu pada tahun
    937 Masehi, didirikan sebuah tugu peringatan (prasasti) Jaya Stamba,
    dimaksudkan sebagai catatan yang tak akan terlupakan sepanjang
    sejarah, bahwa karena bantuan penduduk setempat, maka kedaulatan
    Mataram Hindu tetap jaya, tidak jadi terlepas ketangan musuh, dan
    karena kemenangan itu pula telah mengantarkan mPu Sindok menjadi
    seorang Maharaja di Medang.
    Bersamaan dengan peresmian Jaya Stamba, dilokasi yang sama dilakukan
    juga peresmian Jaya Mrta dengan ujud sebuah Candi dari bahan batu bata
    merah, yang kemudian oleh masyarakat dinamakan dengan Candi Lor sampai
    sekarang.
    Barangkali didirikan dan diresmikannya Candi Jaya Mrta, dimaksudkan
    bahwa kekuasaan telah hidup kembali, terlepas dari ancaman yang nyaris
    menamatkan riwayat, dan diharapkan ditempat yang baru, Kerajaan Medang
    akan hidup abadi, bahkan akan berkembang mencapai puncak kejayaannya
    (air amrta adalah air yang dapat mengekalkan kehidupan dalam kisan
    Samudramanthana).
    Rangkaian kisah heroik yang diawali dari perlawanan terhadap
    kedatangan bala tentara Sriwijaya devisi Jambi di Pelabuhan Bandar
    Alim Tanjunganom, kemudian jebolnya pertahanan Marganung dan
    terjebaknya tentara Melayu oleh kepiawaian olah strategi yang
    dimainkan oleh mPu Sindok di ladang pembantaian, serta ide persatuan
    Nusantara yang tercetus di Bumi Anjuk Ladang, kiranya dapat dianggap
    bahwa babad Anjuk Ladang, merupakan awal dari berdirinya
    kerajaan-kerajaan besar yang berpusat di Jawa Timur seperti Kerajaan
    Medang sendiri, Kerajaan Kediri, Singosari maupun Mojopahit.

    B.UPACARA PENETAPAN SIMA
    Selain peresmian Jaya stamba dan Jaya Mrta, juga ditetapkan Anjuk
    Ladang sebagai Sima Swatantra.
    Arti harafiah ?Sima? menurut Supratikno Raharjo (2002) adalah ?batas?,
    yaitu tiang batu yang dipasang sebagai tanda batas suatu daerah yang
    memiliki status ?istimewa? yang diberikan oleh penguasa kepada wateg
    (desa) tertentu, dalam hal ini adalah pemberian status istimewa dari
    Maharaja mPu Sindok kepada Desa Anjuk Ladang berupa status Sima
    Swatantra.
    Sebelum dilakukan upacara penetapan Sima, selalu didahului dengan
    pembukaan lahan sawah baru, dari yang semula lahan tegal, pekarangan
    maupun hutan.
    Adapun upacara pemberian status istimewa ini didahului dengan suatu
    rangkaian susunan acara yang menurut Haryono (1980) adalah sebagai
    berikut :
    1.Pemberian pasek-pasek atau hadiah kepada para pejabat.
    2.Meletakkan saji-sajian untuk upacara
    3.Makan dan minum bersama
    4.Melakukan aktifitas ritual yang disebut makawitha dan makamwang
    5.Duduk bersama di witana (bangsal yang dibangun khusus untuk
    keperluan itu), mengelilingi watu sima dan watu kelumpang, dengan
    posisi sebagai berikut :
    -Sebelah Utara : Para pejabat wakil pemerintah pusat
    -Sebelah Timur : Para ibu, sangsang, dan wakil dari tetangga sekitar
    -Sebelah Selatan : Sang watuha patih (barangkali pejabat setingkat
    Camat sekarang) dan para kepala desa tetangga
    -Sebelah Barat : Sang Makudur (pemimpin upacara) dan para pejabat
    keagamaan desa
    -Posisi Tengah : Tempat watu kelumpang/watu Sima (batu pusaka)
    6.Memotong leher ayam dengan landasan Watu Kelumpang dan membanting
    telor serta menaburkan abu yang dilakukan oleh Sang Makudur didampingi
    Pamget Wadihati.
    7.Membakar dupa sambil mengucapkan kutukan terhadap yang melanggar
    ketentuan Sima dikemudian hari.
    8.Menyembah kepada Sang Hyang Sima Watu Ketumpang
    9.Membungkus sisa makanan dengan daun untuk dibawa pulang (dibrekat Jw)
    10.Pertunjukan kesenian.
    Bunyi kutukan adalah sebagai berikut : ?Jika pergi ke hutan akan
    dimakan ular berbisa, jika pergi ke ladang akan disambar petir
    meskipun pada musim kemarau, jika pergi ke bendungan akan tenggelam
    disambar buaya?.
    Sedangkan arti simbolis dari urutan acara ke 6, diharapkan bahwa si
    pelanggar akan menemui petaka seperti ayam yang telah dipisahkan
    antara badan dan kepalanya, akan hancur lebur seperti telor yang telah
    dipecahkan, dan seperti nasib kayu yang menjadi abu karena terbakar,
    atau bahkan si pelanggar akan mendapatkan lima kemalangan besar
    (pancamaha pataka) selama jangka waktu yang tidak terbatas (Haryono,
    1980).
    Kepala Sima sebagai wakil resmi Raja di Sima Swatantra Anjuk Ladang,
    mempunyai wewenang dan kewajiban sebagai berikut :
    1.Mengatur jalannya pemerintahan di wilayah Sima Anjuk Ladang,
    terutama yang berkaitan dengan masalah pajak.
    2.Kepala Sima bertanggung jawab atas keberhasilan penarikan segala
    macam jenis pajak, yaitu pajak bumi, perdagangan dan jenis-jenis usaha
    diwilayahnya, serta membagikan kepada pihak-pihak yang berhak
    menerima, seperti untuk bangunan-bangunan suci yang ada diwilayahnya.
    3.Memelihara, menjaga kebersihan dan kesucian bangunan suci, serta
    mengadakan perbaikan dimana perlu.
    4.Menyelenggarakan upacara ritual, pemujaan dan persembahan kepada
    bathara, sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan.
    5.Menetapkan besar kecilnya denda apabila terjadi pelanggaran
    diwilayahnya (sukhadhuka dan kalahayu).
    6.Menjaga keamanan dan ketertiban didaerahnya.
    7.Berhak untuk mengerahkan dan mengatur tenaga kerja bhakti untuk
    perbaikan saranan dan prasaranan umum.

    C.SISTEM PEMERINTAHAN
    Selain sebagai seorang panglima perang yang ahli dalam mengatur siasat
    perang, mPu Sindok juga menunjukkan bakatnya sebagai negarawan handal
    yang kreatif dan banyak akal, dan senantiasa berfikir demi
    kesempurnaan sistim Pemerintahan Kerajaan Medang yang dipimpinnya.
    Meskipun dia sendiri bukan putra mahkota atau bahkan bukan keturunan
    Raja, namun pengalaman selama pengabdiannya di Kerajaan Mataram
    (Hindu), merupakan pengalaman berharga untuk melakukan
    pembenahan-pembenahan.
    Dalam sebuah prasasti yang diketemukan didaerah Tengaran (Jombang),
    disebutkan bahwa mPu Sindok memerintah bersama istrinya, Rakryan Sri
    Parameswari Sri Wardhani Pu Kbi (Drs.Santoso, 1971), dan dalam
    prasasti Bakalan (934 M) menyebutkan berisi perintah Rakryan Mangibil
    (isteri mPu Sindok lainnya) untuk membangun 3 buah Dawuhan di
    Kalihunan, Wwatan Wulus dan Wwatan Tamya.
    Sedangkan dalam prasasti lainnya yang ditulis pada jaman yang sama,
    tanpa menyebut nama istri atau isteri-isterinya. Dengan demikian
    kiranya dapat diasumsikan bahwa :
    1.mPu Sindok memerintah Medang bersama-sama/didampingi oleh
    isteri/isteri-isterinya
    2.Isteri/isteri-isterinya adalah keturunan Raja, sehingga sebetulnya
    berhak menjadi Raja, namun karena anggapan bahwa derajad laki-laki
    lebih tinggi daripada perempuan, kedudukan Raja diberikan kepada suami
    3.Isterinya menduduki jabatan tertentu di pemeirntahan seperti Raja
    daerah, yang diberi kewenangan untuk mengeluarkan prasasti sendiri
    dengan sepengetahuan Raja.
    Penyempurnaan struktur tata pemerintahan dari model Jawa Tengah ke
    Jawa Timur, sebagaimana dapat diamati dari beberapa prasasti berangka
    tahun yang dikeluarkannya, seperti :
    1.Prasasti Turyyan (929 M) yang menurut penelitian de Cas paris, 1988
    menyebutkan tentang pengelompokan para pejabat berdasarkan strata
    tingkatan jabatan dan kepangkatan, serta siapa-siapa yang disebut
    Rakai, Rakryan, Samget, mPu, Sang, Dyah, Si dan lain-lain.
    Menurut de Casparis, bahwa jabatan Wakai Kanuruhan menduduki jabatan
    paling penting sesudah mahamantri (mahamantri Rakai Wka)
    Para Rakai mempunyai pegawai sendiri-sendiri yang disebut
    parujar-ujar. Begitu pula Rakryan dan Samget juga mempunya
    parujar-ujar sendiri.
    2.Mulai dikenal sebutan rakryan mapinghe kalih atau mahapatih yang 2
    (dua) orang yaitu Rakai 1 Hino dan Rakai Wka. Barangkali dengan
    pembagian tugas yang kemudian dikenal dengan sebutan patih njero dan
    patih njobo.
    3.Mulai ada jabatan kepala Protokol Kerajaan, yaitu Rakai Kanuruhan
    dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang lebih luas baik didalam
    karaton maupun di luar, seperti kewenangan menetapkan dan memungut
    pajak pada para pedagang asing (po hawang /nahkoda kapal asing)
    4.Ada kelompok jabatan tanda rakryan ring pakira-kiran, yaitu kelompok
    jabatan khusus yang menerima langsung pemerintah Raja tanpa melalui
    perantara, kurang lebih semacam Aspri sekarang.

    D.AGAMA, SASTRA DAN ILMU PENGETAHUAN
    Sri Isanawikramadharmattunggadewa (mPu Sindok) pada saat memerintah
    Kerajaan Medang, sangat memperhatikan perkembangan agama, Ilmu
    Pengetahuan dan Sastra Jawa. Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau
    ketiganya mengalami perkembangan yang signifikan.
    Ketiga ilmu tersebut saling kait-mengkait dan berhubungan satu sama
    lain. Beberapa padepokan dan mandala-mandala didirikan untuk mendidik
    para cantrik dan sisya (siswa) untuk memperdalam berbagai ilmu.
    Beberapa siswa dikirim ke Nelanda (India Utara) menyerap ilmu bagi
    kepentingan Medang. Karya sastra yang diterbitkan dan cukup populer
    sampai saat ini adalah :
    1.Kitab Sang Hyang Kamahayanikam
    Sebuah kitab aliran Budha Mahayana berbahasa Sanskerta, berisi
    tuntunan dharma dan tata cara bersemedi menurut aliran Mahayana, dan
    ajaran tentang praktek Yoga yang diharuskan melalui bimbingan Guru.
    Selain itu juga berisi tentang bentuk penyucian jiwa raga dan harta
    dalam bentuk dana paramitha, yakni kesempurnaan pemberian derma, misal
    jenis makanan yang enak-enak, minuman yang manis-manis dan harum,
    diberikan kepada orang yang membutuhkan. Emas, pakaian, uang dan tanah
    di dermakan untuk fasilitas umum dll.
    Melihat bahasa yang dipergunakan dalam kitab tersebut Sanskerta, jelas
    menunjukkan bahwa Medang betul-betul telah berhubungan dengan Benggala
    India Utara asal bahasa tersebut, yang saat itu sedang diperintah oleh
    dinasti Cola yang sangat terkenal dengan perguruan tingginya di
    Nelanda. Dengan demikian asumsi yang dapat dikemukakan adalah :
    a.Kitab tersebut dikarang oleh pujangga pendatang dari Benggala, atau
    b.Ditulis oleh bangsa sendiri lulusan Nelanda dan ingin menunjukkan
    kemampuannya berbahasa Sanskerta.
    Perlu kami tambahkan bahwa untuk pergi belajar ke luar negeri, calon
    siswa harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari Rakai Kanuruhan,
    yang berarti para siswa adalah tugas belajar dari negara (Kerajaan).
    2.Kitab Brahmandapuruna
    Yaitu kitab suci agama Hindu Saiwa, berbahasa Jawa Kuno, terdiri dari
    beberapa parwa, berisi tentang Kosmologi, kosmogoni, astronomi dan
    cerita-cerita kuno yang dikumpulkan dari cerita-cerita yang hidup
    dikalangan rakyat mengenai kehidupan par adewa, penciptaan dunia dan
    lain-lain, yang pada intinya memuat 5 hal (pancalaksana), yaitu :
    a.Sarga, tentang penciptaan alam semesta
    b.Pratisarga, tentang penciptaan kembali dunia setiap kali dunia
    lenyap (kiamat).
    Menurut kitab ini bahwa berlangsungnya dunia sekarang hanyalah selama
    satu hari Brahma.
    c.Wamsa, menguraikan tentang asal usul para Dewa dan Rsi (pendeta tertinggi)
    d.Manwantarani, berisi tentang pembagian waktu, yaitu satu hari Brahma
    terbagi dalam 14 masa. Dalam setiap masa manusia itu dicipta kembali
    sebagai keturunan Manu, manusia pertama (Adam)
    e.Wamsanucarita, berisi tentang sejarah Raja-raja yang memerintah diatas dunia.
    Kosmologi sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang
    alam semesta sebagai sistem yang beraturan, dan kosmogoni yang
    mempelajari tentang asal mula terjadinya benda-benda langit dan alam
    semesta, serta astronomi yang mempelajari tentang matahari, bulan,
    bintang dan planet-planet lainnya, sangat penting dipelajari untuk
    pengembangan ilmu pengetahuan, agama dan pertanian.
    Tidak hanya bagi wariga (ahli perhitungan musim untuk pertanian)
    perhitungan waktu merupakan hal yang sangat penting, tapi Kerajaan
    maupun masyarakat luas sangat membutuhkan juga perhitungan-perhitungan
    tersebut dalam setiap kali akan melakukan aktifitasnya, termasuk
    memulainya peperangan, pindah rumah, perhelatan, kegiatan pertanian,
    kelautan dan lain-lain.
    Untuk hitungan hari dalam satu pekan (Minggu) terdapat hitungan yang
    lima hari (Poncowolo), enam hari (Sadworo) dan tujuh hari dalam satu
    pekan/minggu yang disebut dengan saptoworo.
    Hitungan lima hari dalam satu pekan (poncowolo) sampai sekarang masih
    dikenal oleh masyarakat, walaupun sedikit telah mengalami pergeseran
    penulisan dan pengucapan.
    -Pahing, biasa disingkat dengan Pa saja
    -Pwan, sekarang Pon, disingkat Po
    -Wagai, sekarang Wage, disingkat Wa
    -Kaliwuan, sekarang Kliwon, disingkat Ka
    -Umanis, sekarang Legi, disngkat U/Ma
    Hitungan Sadworo atau enam hari dalam satu pekan, sekarang sudak tidak
    dikenal, namun demikian selengkapnya adalah :
    -Tunglai, disingkat Tu/Tung
    -Haryang, disingkat Ha
    -Warukung, disingkat Wu
    -Paniruan, disingkat Pa
    -Was, disingkat Wa
    -Mawulu, disingkat Ma
    Disamping Poncowolo dan Sadworo, ada hitungan hari yang tujuh, yaitu Saptoworo
    -Aditya (A/Ra)
    -Soma (So)
    -Anggoro (Ang)
    -Budho (Bu)
    -Wrhaspati (Wr)
    -Cukrau (Cu)
    -Sainascara (sa)
    Nama-nama bulan dikenal dengan istilah antara lain :
    -Magha (Januari ? Pebruari)
    -Phalguno (Pebruari ? Maret)
    -Caitra (Maret ? April)
    -Bodro (Agustus ? September)
    -Asuji (September ? Oktober)
    -Karttiko (Oktober ? Nopember)
    Upacara dan persembahan sesaji yang dilakukan secara teratur dan tetap
    menurut kebutuhan maupun kesepakatan pranata Agama menurut kalender,
    misal :
    -Pratidina, yaitu upacara sesaji yang dilakukan setiap hari, untuk
    bangunan-bangunan keagamaan tertentu
    -Pratimasa, yaitu upacara/sesaji yang dilakukan setiap bulan sekali
    -Angken bisuwakala, yaitu upacara keagamaan yang dilakukan dua kali
    dalam setiap tahun. Biasanya diselenggarakan pada bulan Caitra dan
    Asuji
    -Asuji, Badra, Karttika, yaitu upacara yang dilaksanakan setahun
    sekali pada bulan Asuji, Badra dan Karttika.
    Sebagai persyaratan pokok sesaji, salahs atu perlengkapannnya adalah
    potongan-potongan kecil kayu Cendana yang untuk wilayah Anjuk Ladang
    tidak terlalu sulit mencarinya, karena sejak dahulu kala telah
    tertanam dan merupakan perkebunan yaitu di Desa Ngetos, Kecamatan
    Ngetos, yang sampai sekarang masih disakralkan.
    Selain bahan sesaji, potongan-potongan kecil (tatal) kayu Cendana
    biasa dikunyah oleh para wiku dan Rsi di Padepokan, serta merupakan
    kebiasaan sebagai aroma penyegar mulut.

    E.UKURAN TAKARAN DAN TIMBANGAN
    Pada masa mPu Sindok memerintah Kerajaan Medang tahun 929 ? 947
    Masehi, telah dikenal satuan ukuran, takaran dan timbangan yang
    dipergunakan untuk berbagai keperluan jual beli dan keperluan lainnya,
    misal :
    -Ukuran luas : tampah, suku
    -Ukuran panjang : dpa
    -Takaran : Catu
    -Ukuran berat : masa, pikul, bantal, kati, tahil
    -Ukuran emas : Suwarna (Su)
    -Ukuran perak : dharono
    -Manusia atau binatang besar : prono
    -Ukuran kain : wdihan, wdihan yu, ken
    -Yang bisa dipegang tangan, misal padi : Agem dll
    Contoh penggunaan ukuran tersebut sebagaimana terpahat antara lain
    pada prasasti Hering atau Prasasti Kujon Manis Tanjunganom (934 M)
    yang inti isinya sebagai berikut :
    ?Pada tahun 859 Saka atau 934 Masehi, pada bulan Phalguno (Pebruari ?
    Maret) telah terjadi transaksi pembelian tanah yang sangat luas oleh
    pejabat Desa (Samget) Marganung Pu Danghil dari beberapa orang
    penduduk desa (+ 26 orang), seluas 6 tampah 1 suku, seharga 5 kati 9
    suwarna atau sekitar 3.773,36 gram emas.
    Prasasti tersebut juga mencatat besarnya pasek-pasek atau pemberian
    hadiah yang harus diberikan kepada para pejabat yang berkompeten mulai
    tingkat kerajaan sampai pejabat tingkat bawah, berupa wdihan yu,
    dengan ketentuan sebagai berikut :
    -Raja mendapatkan 5 wdihan yu
    -2 orang mahapatih (I hino pu sahasra dan rakai wka Pu Baliswara)
    masing-masing 6 wdihan yu
    -Rakai Sirikan pu Balyang 6 yu
    -Rakai kanuruhan Pu Pikatan dan pu Sata masing-masing 1 wdihan yu
    -Pu Rita 5 wdihan yu
    -Dan seterusnya
    Keterangan :
    -Wdihan adalah sebutan untuk kain yang biasanya dikenakan oleh kaum
    pria yang sekarang dikenal dengan bebet
    -Wdihan yu,a dalah seperangkat pakaian laki-laki termasuk iket (udeng Jw)
    -Satu tampah + 20.250 M2
    -Satu suku + 0,25 tampah
    -Suwarna (Su) = ukuran satuan emas
    -Dharana = ukuran satuan perak
    -Kati (Ka) = 20 tahil = + 750 ? 768 gram
    -Satu tahil (ta) + 38 gram
    -Satu bantal = 20 kati
    -Satu pikul = 5 bantal = 100 kati = 75 kg
    Selain hitungan ukuran diatas, pada jaman mPu Sindok dikenal hitungan
    untuk volume (isi) yang biasanya dipergunakan untuk takaran beras atau
    minyak dan rempah-rempah, yaitu satuan Catu. Catu dibuat dari batok
    kelapa yang dipotong bagian atasnya (dikrowaki Jw). Ukuran satu catu +
    300 ? 450 mililiter.

    F.PERTANIAN
    Beras merupakan bahan makanan pokok penduduk Medang, diproduksi oleh
    sebagian besar masyarakat petani dengan memanfaatkan lembah Sungai
    Brantas yang terkenal subur sebagai lahan produksi.
    Untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok tersebut, dilakukan berbagai
    usaha ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi
    yaitu dengan pembukaan sawah secara besar-besaran yang antara lain
    melalui pranata penetapan Sima, dimana kegiatannya selalu didahului
    dengan pembukaan kebun, padang rumput, tegal ataupun hutan dijadikan
    sawah produktif.
    Selain melalui ekstensifikasi, dilakukan juga intensifikasi penunjang
    pertanian dengan pengaturan sistem pengairan yang memadai untuk
    men-suply kebutuhan air bagi pertanian, disamping pemanfaatan yang
    lain seperti usaha perikanan dan rekreasi.
    Untuk itu dibangun fasilitas infrastruktur, yang dalam skala kecil
    dikelola oleh masyarakat sendiri, seperti : talang, weluran,
    urung-urung dan tambak. Sedangkan yang beskala besar dikelola oleh
    Kerajaan, seperti misal bangunan Dawuhan dan Bendungan, sebagaimana
    tertulis pada prasasti Bakalan (934 M) maupun prasasti Sarangan (929
    M) yang keduanya mengatur sistem pengairan Kali Kunto.
    Dalam prasasti Bakalan tersebut berisi perintah dari Rakryan Mangibil
    (isteri Raja Sindok) untuk membuat bangunan 3 buah dawuhan, yakni
    Kaliwuhan, Wwtan Wulas dan Wwtan Tamya, yang kemudiannya diketahui
    bahwa dulunya dawuhan Tamya tersebut berukuran 175 x 350 m, yang dapat
    menampung air sebanyak + 350.000 M3.
    Bendungan yang lain adalah di Wwtan Mas (Bajulan Loceret) yang kelak
    akan melahirkan sederetan dongeng Panji Semirang/Ande-ande lumut.
    Hasil produksi beras Kerajaan Medang melalui pola ekstensifikasi dan
    intensifikasi pada akhirnya melimpah ruah, surplus bagi konsumsi
    masyarakat Medang sendiri, hingga sangat memungkinkan untuk dijadikan
    bahan komoditi perdagangan antar pulau di luar ibukota Medang.
    Akibat perdagangan itulah yang kemudian meramaikan dermaga-dermaga
    seperti : Bandaralim (Demangan ? Tanjunganom), Dermaga Ujung Ngkaluh
    (Jombang) maupun Kembang Putih (Tuban).

    Sumber : Putra Wilis

    On Facebook

    Pengikut

    On Twitter

    News Google