Pengertian MACAPAT
Macapat merupakan sebutan metrum puisi jawa pertengahan dan jawa baru, yang hingga kini masih digemari masyarakat, ternyata sulit dilacak sejarah penciptaanya. Purbatjaraka menyatakan bahwa macapat lahir bersamaan dengan syair berbahasa jawa tengahan, bilamana macapat mulai dikenal , belum diketahui secara pasti. Pigeud berpendapat bahwa tembang macapat digunakan pada awal periode Islam. Pernyataan Pigeud yang bersifat informasi perkiraan itu masih perlu diupayakan kecocokan tahunnya yang pasti.
Karseno Saputra memperkirakan atas dasar analisis terhadap beberapa pendapat beberapa pendapat dan pernyataan. Apabila pola metrum yang digunakan pada tembang macapat sama dengan pola metrum tembang tengahan dan tembang macapat tumbuh berkembang sejalan dengan tembang tengahan, maka diperkirakan tembang macapat telah hadir dikalangan masyarakat peminat setidak-tidaknya pada tahun 1541 masehi. Perkiraan itu atas dasar angka tahun yang terdapat pada kidung Subrata, Juga Rasa Dadi Jalma = 1643 J atau 1541 masehi. (Saputra, 1992 : 14 )
Penentuan ini berpangkal pijak dari pola metrum macapat yang paling awal yang terdapat pada kidung Subrata. Sekitar tahun itu hidup berkembang puisi berbahasa jawa kuno, jawa tengahan dan jawa baru yaitu kekawin, kidung dan macapat. Tahun perkiraan itu sesuai pula dengan pendapat Zoetmulder lebih kurang pada abad XVI di jawa hidup bersama tiga bahasa, yaitu jawa kuno, jawa tengahan dan jawa baru.
Dalam Mbombong manah I ( Tejdohadi Sumarto, 1958 : 5 ) disebutkan bahwa tembang macapat ( yang mencakup 11 metrum ) di ciptakan oleh Prabu Dewawasesa atau Prabu Banjaransari di Sigaluh pada tahun Jawa 1191 atau tahun Masehi 1279. Tetapi menurut sumber lain, tampaknya macapat tidak hanya diciptakan oleh satu orang, tetapi oleh beberapa orang wali dan bangsawan. ( Laginem, 1996 : 27 ). Para pencipta itu adalah Sunan Giri Kedaton, Sunan Giri Prapen, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Muryapada, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Geseng, Sunan Majagung, Sultan Pajang, Sultan Adi Eru Cakra dan Adipati Nata Praja.
Namun berdasarkan kajian ilmiah ada dua pendapat yang memiliki sedikit perbedaan tentang timbulnya macapat. Pendapat pertama bertumpu bahwa tembang macapat lebih tua dibanding tembang gede dan pendapat kedua bertumpu pada anggapan sebaliknya. Kecuali pendapat itu ada pendapat lain tentang timbulnya macapat berdasarkan perkembangan bahasa.
A). Tembang macapat lebih tua daripada tembang gede
Pendapat pertama beranggapan bahwa tembang macapat lebih tua dari pada tembang gede tanpa wretta atau tembang gede kawi miring. Tembang macapat timbul pada zaman Majapahit akhir ketika pengaruh kebudayaan Islam mulai surut ( Danusuprapta, 1981 : 153-154 ). Dikemukakan pula oleh Purbatjaraka bahwa timbulnya macapat bersamaan dengan kidung, dengan anggapan bahwa tembang tengahan tidak ada. ( Poerbatjaraka, 1952 : 72 )
B). Tembang macapat lebih muda daripada tembang gede
Pendapat kedua beranggapan bahwa tembang macapat timbul pada waktu pengaruh kebudayaan Hindu semakin menipis dan rasa kebangsaan mulai tumbuh, yaitu pada zaman Majapahit akhir. Lahirnya macapat berurutan dengan kidung muncullah tembang gede berbahasa jawa pertengahan, berikutnya muncul macapat berbahasa jawa baru. Dan pada zaman Surakarta awal timbul tembang gede kawi miring. Bentuk gubahan berbahasa jawa baru banyak digemari adalah kidung dan macapat. Proses pemunculannya bermula dari lahirnya karya-karya berbahasa jawa pertengahan yang biasa disebut dengan kitab-kitab kidung, kemudian muncul karya-karya berbahasa jawa baru berupa kitab-kitab suluk dan kitab-kitab niti. Kitab suluk dan kitab niti itu memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan macapat.
C). Tembang macapat berdasarkan perkembangan bahasa
Dalam hipotesis Zoetmulder ( 1983 : 35 ) disebutkan bahwa secara linguistik bahasa jawa pertengahan bukan merupakan pangkal bahasa jawa baru. Melainkan merupakan dua cabang yang terpisah dan divergen pada bahasa jawa kuno. Bahasa jawa kuno merupakan bahasa umum selama periode Hindu – Jawa sampai runtuhnya Majapahit. Sejak datangnya pengaruh Islam, bahasa jawa kuno berkembang menurut dua arah yang berlainnan yang menimbulkan bahasa jawa pertengahan dan bahasa jawa baru. Kemudian, bahasa jawa pertengahan dengan kidungnya berkembang di Bali dan bahasa jawa baru dengan macapatnya berkembang di Jawa. Bahkan, sampai sekarang tradisi penulisan karya sastra jawa kuno dan pertengahan masih ada di Bali.
Karseno Saputra memperkirakan atas dasar analisis terhadap beberapa pendapat beberapa pendapat dan pernyataan. Apabila pola metrum yang digunakan pada tembang macapat sama dengan pola metrum tembang tengahan dan tembang macapat tumbuh berkembang sejalan dengan tembang tengahan, maka diperkirakan tembang macapat telah hadir dikalangan masyarakat peminat setidak-tidaknya pada tahun 1541 masehi. Perkiraan itu atas dasar angka tahun yang terdapat pada kidung Subrata, Juga Rasa Dadi Jalma = 1643 J atau 1541 masehi. (Saputra, 1992 : 14 )
Penentuan ini berpangkal pijak dari pola metrum macapat yang paling awal yang terdapat pada kidung Subrata. Sekitar tahun itu hidup berkembang puisi berbahasa jawa kuno, jawa tengahan dan jawa baru yaitu kekawin, kidung dan macapat. Tahun perkiraan itu sesuai pula dengan pendapat Zoetmulder lebih kurang pada abad XVI di jawa hidup bersama tiga bahasa, yaitu jawa kuno, jawa tengahan dan jawa baru.
Dalam Mbombong manah I ( Tejdohadi Sumarto, 1958 : 5 ) disebutkan bahwa tembang macapat ( yang mencakup 11 metrum ) di ciptakan oleh Prabu Dewawasesa atau Prabu Banjaransari di Sigaluh pada tahun Jawa 1191 atau tahun Masehi 1279. Tetapi menurut sumber lain, tampaknya macapat tidak hanya diciptakan oleh satu orang, tetapi oleh beberapa orang wali dan bangsawan. ( Laginem, 1996 : 27 ). Para pencipta itu adalah Sunan Giri Kedaton, Sunan Giri Prapen, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Muryapada, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Geseng, Sunan Majagung, Sultan Pajang, Sultan Adi Eru Cakra dan Adipati Nata Praja.
Namun berdasarkan kajian ilmiah ada dua pendapat yang memiliki sedikit perbedaan tentang timbulnya macapat. Pendapat pertama bertumpu bahwa tembang macapat lebih tua dibanding tembang gede dan pendapat kedua bertumpu pada anggapan sebaliknya. Kecuali pendapat itu ada pendapat lain tentang timbulnya macapat berdasarkan perkembangan bahasa.
A). Tembang macapat lebih tua daripada tembang gede
Pendapat pertama beranggapan bahwa tembang macapat lebih tua dari pada tembang gede tanpa wretta atau tembang gede kawi miring. Tembang macapat timbul pada zaman Majapahit akhir ketika pengaruh kebudayaan Islam mulai surut ( Danusuprapta, 1981 : 153-154 ). Dikemukakan pula oleh Purbatjaraka bahwa timbulnya macapat bersamaan dengan kidung, dengan anggapan bahwa tembang tengahan tidak ada. ( Poerbatjaraka, 1952 : 72 )
B). Tembang macapat lebih muda daripada tembang gede
Pendapat kedua beranggapan bahwa tembang macapat timbul pada waktu pengaruh kebudayaan Hindu semakin menipis dan rasa kebangsaan mulai tumbuh, yaitu pada zaman Majapahit akhir. Lahirnya macapat berurutan dengan kidung muncullah tembang gede berbahasa jawa pertengahan, berikutnya muncul macapat berbahasa jawa baru. Dan pada zaman Surakarta awal timbul tembang gede kawi miring. Bentuk gubahan berbahasa jawa baru banyak digemari adalah kidung dan macapat. Proses pemunculannya bermula dari lahirnya karya-karya berbahasa jawa pertengahan yang biasa disebut dengan kitab-kitab kidung, kemudian muncul karya-karya berbahasa jawa baru berupa kitab-kitab suluk dan kitab-kitab niti. Kitab suluk dan kitab niti itu memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan macapat.
C). Tembang macapat berdasarkan perkembangan bahasa
Dalam hipotesis Zoetmulder ( 1983 : 35 ) disebutkan bahwa secara linguistik bahasa jawa pertengahan bukan merupakan pangkal bahasa jawa baru. Melainkan merupakan dua cabang yang terpisah dan divergen pada bahasa jawa kuno. Bahasa jawa kuno merupakan bahasa umum selama periode Hindu – Jawa sampai runtuhnya Majapahit. Sejak datangnya pengaruh Islam, bahasa jawa kuno berkembang menurut dua arah yang berlainnan yang menimbulkan bahasa jawa pertengahan dan bahasa jawa baru. Kemudian, bahasa jawa pertengahan dengan kidungnya berkembang di Bali dan bahasa jawa baru dengan macapatnya berkembang di Jawa. Bahkan, sampai sekarang tradisi penulisan karya sastra jawa kuno dan pertengahan masih ada di Bali.
Di bawah ini beberapa contoh Tembang Macopat :
Dhandhanggula “Panganten Anyar” Wonten malih tuladhan prayogi Satriya gung nagari ngalengka Sang kumbakarna arane Tur iku warna diyu Supran dene nggayuh utami Duk wiwit prang ngalengka Denya darbe atur Mringra kapinrih raharja Dasamuka tan kengguh ing atur yekti Dene mungsuh wanara Kinanthi “Sandhung Mesem” Ngandika kusuma ningrum Anoman seksinen mami Luwara ing duka cita Ilang sagung kang prihatin Matur aring gusti nira Yen ing ngunisun punagi Sinom “Gagatan” Semangsane pasamuan Memangun marta martini Sinambi ing saben mangsa Kala kalaning asepi Lelana tekiteki Nggayuh geyonganning kayun Kayungyun ening ing tyas Sani tyasa pinrihatin Puguh panggah segah dhahar lawan nendra Kinanthi “pangukir” Kadra was wus sira muwus Mangkana putri manthili Mangsah nunguli mustaka Patreme sampun pinusthi Tanpa nonrati dhepira Den nyarsa mbelahi la Dhandhanggula “Panglipur” Upa mardi jeneng ing Narpati Ingkang praja dhukut aneng wana Katon sapari bawane Isine ngalas iku Kaungkul lan marang ing hardi Sagung ing wadyabala Alas paminipun Prabu nyambinamgka singa Kareksaning singa petenging wanardi Yen alase apadhang Sinom “slobog” Wong agung rama wijaya Mangu neng tyas tan pinanggih Tan ana wenganing driya Dene kalangan jaladri Enget pandhita nguni Sutikna yogi turipun Besuk pan kalampahan Angadoni jayeng jurit Mring ngalengka sedhih kalangan samodra Kinanthi “amongjiwa” Dhuh ramawijaya ningsun Pulungen jiweng ngong aglis Mulih mring ngendra bawana Pagene nora ngenteni Apatah asih maring wang Ubayane du king nguni Megatruh Yen wohwohan enak mentah iku timun Enak mateng iku kweni Manggis enak blibaripun Pelem enak mateng ati Salak enak rada bosok Gambuh Sekar gambung ping catur Kang cinatur polah kang kalantur Tanpa tutur katula-tula katali Kadaluarsa katutuh Kapatuhpan dadi awon Pangkur Jinejer ing wedatama Mrih tan kemba kembengan ing pambudi Mangka nadyan tuwa pikun Yen tan mikani rasa Yekti sepi asep alir sepah samun Samangsane pasamuan Goyak gayuk nglelingsemi | Kinanthi “ amonglulut” Riris raras arum arum Rarnya sumawur sumilir Sapraja ngalengka sumyur Lir kinenan riris manis Mangkana sang bayu suta Umatur saha wot sari Sinom Nuladha laku utama Tumrape wong tanah jawi Wong agung ing ngreksi ganda Panembahan senapati Kapati amarsudi Sudaning hawa lan napsu Pinesu tapa brata Tanapi ing siyang ratri Amemangun karyenak tyas ing sasama Kinanthi Mangun setu bandha layu Samodra tinabak keni Sekti ning bala wanara Prabawa sri dasamuka Mokal apesa ing yudha Ramawijaya prajurit Dhandhanggula Jago kluruk rame kapyarsi Lawa kalong luru pandelikan Jrih kawanan ing semune Bang wetan sulakipun Mratandhani yen bangun enjing Rembulan wus gumlewang Neng kulon gunung Ing padesan wiwit obah Lanang wadon pan sarnya Anambut kardi Netepi kewajiban Sinom “grandhel lintring” Wikan wengko ning samodra Kederan wus den ideri Ki nemat kamoting driya Rinegem sagegem dadi Dumadya angratoni Nenggih kanjeng ratu kidul Ndedel nggayuh nggegana Umara marak maripih Sor prabawa lan wong agung ngeksi ganda Pangkur Mingkar mingkuring angkara Angkarana karena mardisiwi Sinawung resmining kidung Sinuba sinukarta Mrih kertarta pakartining ngelmu luhung Kang tumrap neng tanah jawa Agama ageming aji Pocung Bapak pucung Dudu watu dudu gunung Sangkamu ing plembang Ngon-ingone sang bupati Yen lumampah si pocung l embehan grana Pocung Lamun dalu Saben arsa mapan turu Wektu kang prayoga Mulat mring laku kang uwis Dina mau apa kang wus dipun karya Dhandanggula “Buminatan” Sasmitane ngaurip puniki Apan weruh yen ora weruha Tan jumeneng ing uripe Akeh kang ngaku aku Pangrasane sampun udani Tur durung weruh ing rasa Rasa kang satuhu Rasane rasa punika Upayanen darapon sampurna ugi ing kauri panira Maskumambang Dhuh anak mas sira wajib angurmati Mayang rarah rena Aja pisan kumawani Anyenyamah gawe susah /td> |
Download mp3nya di bawah ini :
DANDHANGGULA
DHURMA
GAMBUH
KINANTHI
MASKUMAMBANG
ASMARADHANA
MEGATRUH
MIJIL
PANGKUR
PUCUNG
SINOM
SEMOGA BISA JADI WAWASAN BUDAYA BAGI KITA
4 komentar untuk " Pengertian Tembang Macopat "
situs download ipun kok mboten saged dibikak nggih?? pripun pak?
@Agung:Waduh...kulo piyambak dangu dereng ngecek niki,,suwun laporanipun mangke kulo re-upload malih.
wah baru tau neh saya sob, thanks neh infonya :D
sayang kurang ngerti tuh bahasanya, coba kalo di translate ya :D
hahahaha....
Ok aja deh sob
Posting Komentar