KALABENDU - GEJALA MASYARAKAT YANG
KEHILANGAN ARAH
Oleh : Ki Ageng Mangir
Note : Serat Centhini adalah buku dalam bahasa Jawa
(aslinya ditulis memakai huruf Jawa) dalam bentuk
tembang 'macapat' yang disuruh tulis oleh Pangeran
Adipati Anom yang kemudian menjadi raja Surakarta -
Sunan Pakubuwana V (1820 - 1823) pada kira-kira
tahun 1814 yang terdiri dari dua belas jilid yang berisi
kisah pelarian dari kedua putra dan satu putri dari
Sunan Giri ketika kerajaan Giri di Jawa Timur
dijatuhkan oleh Sultan Agung dari Mataram dan kisah
perjalanan ini yang merekam banyak kisah, cerita,
legenda, kepercayaan, tata-cara budaya Jawa dari
ujung ke ujung Pulau Jawa yang meliputi banyak
daerah pedalaman maupun pinggiran yang kadang2
tidak terpengaruh oleh kekuasaan kerajaan Mataram.
(Sumber penulisan artikel ini adalah Serat Centhini
yang sudah diterjemahkan dalam dalam bentuk huruf
latin, tapi masih menggunakan bahasa Jawa madya)
Ramalan Jayabaya.
Banyak ramalan atau prediksi masa depan bangsa
Jawa dan semua ramalan dinamakan ramalan
Jayabaya, penulis sendiri tidak tahu mana yang asli
dan mana yang hanya sekedar dari mulut kemulut.
Satu-satunya sumber yang menjadi referensi penulis
adalah yang tertulis dalam Serat Centhini pada akhir
Jilid III pupuh 256 dan Jilid IV pupuh 257 dan 258.
Pada awal Pupuh 256 dikatakan :
- Kalanira sang Prabu, Jayabaya Kadhiri ngadhatun,
katamuan pandhita saking Rum nagri, nama Molana
Ngalimu, Samsujen tahu kinaot.
Jadi ramalan yang dikemukakan oleh Prabu Jayabaya
berasal dari ajaran Maulana Seh Ngali Samsujen yang
dalam pupuh selanjutnya berdasarkan Kitab Musarar.
Selanjutnya dalam ramalan yang bermula dari tarih
Masehi membagi zaman menjadi masing2 tujuh ratus
tahun yaitu zaman : Kaliswara, Kaliyoga, dan Kalisi-
ngareki.
Masing2 tujuhratus tahun dibagi menjadi tujuh seratus
tahunan sedangkan seratus tahunan dibagi menjadi
tiga 33 tahunan.
Dengan pembagian tahun hanya sampai dengan tiga
kali tujuh ratus tahun, Jayabaya se-olah2 meramalkan
bahwa akhir zaman akan terjadi pada abad ke 21.
Sedangkan ramalan yang terjadi pada empat abad
terakhir tentang tanah Jawa adalah pada pupuh 256,
tembang 44 s/d 47 sebagai berikut (yang merupakan
bagian dari tujuh abad zaman Kalisangireki) :
- Kaping pat arannipun, jaman Kalabendu werdinipun,
estu Bebendu wahananeki, keh jalma saluyeng
rembug, dumadya prang lair batos.
- Ping lima arannipun, jaman Kalasuba tegesipun,
jaman suka wahananira keh jalmi, antuk kabungahan
estu, rena lejar sakehing wong.
- Kaping nem arannipun, jaman Kalasumbaga puniku,
werdi zaman Misuwur wahanineki, keh jalma gawe
misuwur, mrih kasusra ing kalakon.
- Kasapta arannipun, jaman Kalasurata rannipun, werdi
jaman Alus wahananoreki, akeh jalma sabiyantu, ing
budining karahayon.
Jadi setelah bangsa Jawa/Indonesia melewati zaman
Kalabendu akan mengalami tiga abad zaman keemasan
dan kemahsyuran sampai dengan akhir zaman. Cuma
kalau menurut perhitungan Jayabaya zaman Kalabendu
adalah periode tahun 1800-1900, sedangkan sampai
saat ini tanda-tanda zamannya masih seperti zaman
Kalabendu .
Selanjutnya pada pupuh 257, Jayabaya meramalkan
akan ada tujuh kerajaan dimulai dari kerajaan
Pejajaran di tanah Jawa dan setelah itu tanah Jawa
tidak lagi ada kerajaan, yang terjadi pada saat zaman
Kalabendu.
Interpretasi tujuh kerajaan adalah: Pejajaran, Majapahit,
Pajang, Demak, Mataram, Surakarta, Yogyakarta dan
masa kemerdekaan yang tidak ada kerajaan lagi di
Indonesia.
Dalam Pupuh 257 tembang 23 tercermin peralihan
dari zaman kerajaan sebagai berikut :
- Sirnaning kang, kadaton jalaranipun, wawan-wawan
lawan, bangsa sabrang kulit kuning, mawa srana
tatunggul turun narendra.
Yang bisa diterjemahkan bahwa kedatangan bangsa
sebrang kulit kuning (Jepang) sebagai sarana tidak
ada lagi kerajaan di Jawa / Indonesia.
Zaman Kalabendu.
Pada pupuh 257 tembang 24 sampai dengan 44
dijelaskan secara terperinci tanda-tanda zaman
Kalabendu. Penulis sendiri belum pernah membaca
Serat Kalatidha karangan R.Ng. Ranggawarsita, yang
kelihatannya telah disadur dan dimasukkan dalam
bagian dari Serat Centhini pada bagian ini - ini sangat
mungkin terjadi karena penulisan Serat Centhini
terjadi pada satu masa dengan masa kehidupan
R. Ng. Ranggawarsita, bahkan pembukaan Serat
Centhini jilid 5, dibuat oleh beliau.
Kemungkinan lain kenapa masa Kalabendu mendapat
porsi yang lebih banyak dalam Serat Centhini :
1. Interpretasi bahwa Kalabendu adalah zaman periode
tahun 1800-1900 dimana saat penulisan Serat Centhini.
2. Serat Kalatidha yang disadur kedalam Serat
Centhini pupuh 257 adalah sekedar ilustrasi apa yang
sedang terjadi pada zaman itu oleh Ranggawarsita
dan sama sekali bukan ramalan.
Ilustrasi apa yang terjadi pada masa Kalabendu
sangat mirip dengan apa yang sedang terjadi pada
bangsa Indonesia saat ini, Pertanda zaman sama sekali belum terlihat tanda-tanda bahwa
kita memasuki zaman Kalasuba yaitu suatu periode
setelah zaman Kalabendu berakhir (seperti yang di
prediksi oleh Jayabaya).
Barangkali kita bisa mencoba melihat ilustrasi dari
masa zaman Kalabendu yang dimulai dari tembang
28 s/d 44 pupuh 257 Serat Centhini jilid IV :
- Wong agunge padha jail kurang tutur, marma jeng
pamasa, tanpa paramarteng dasih, dene datan ana
wahyu kang sanyata.
Artinya: Para pemimpinnya berhati jail, bicaranya
ngawur, tidak bisa dipercaya dan tidak ada wahyu yang
sejati.
- Keh wahyuning eblislanat kang tamurun, apangling
kang jalma, dumrunuh salin sumalin, wong wadon
kang sirna wiwirangira.
Artinya : Wahyu yang turun adalah wahyu dari iblis
dan sulit bagi kita untuk membedakannya, para
wanitanya banyak yang kehilangan rasa malu.
- Tanpa kangen mring mitra sadulur, tanna warta nyata,
akeh wong mlarat mawarni, daya deye kalamun tyase
nalangsa.
Artinya : Rasa persaudaraan meluntur, tidak saling
memberi berita dan banyak orang miskin ber-aneka
macam yang sangat menyedihkan kehidupannya.
- Krep paprangan, sujana kapontit nurut, durjana susila
dadra andadi, akeh maling malandang marang ing
marga.
Artinya : Banyak peperangan yang melibatkan para
penjahat, kejahatan/perampokan dan pemerkosaan
makin menjadi-jadi dan banyak pencuri malang
melintang di jalan-jalan.
- Bandhol tulus, mendhosol rinamu puguh, krep
grahana surya, kalawan grahana sasi, jawah lindhu
gelap cleret warsa.
Artinya : Alampun ikut terpengaruh dengan banyak
terjadi gerhana matahari dan bulan, hujan abu dan
gempa bumi.
- Prahara gung, salah mangsa dresing surur, agung
prang rusuhan, mungsuhe boya katawis, tangeh lamun
tentreming wardaya.
Artinya: Angin ribut dan salah musim, banyak terjadi
kerusuhan seperti perang yang tidak ketahuan mana
musuhnya yang menyebabkan tidak mungkin ada
rasa tenteram dihati.
- Dalajading praja kawuryan wus suwung, lebur
pangreh tata, karana tanpa palupi, pan wus tilar
silastuti titi tata.
Artinya : Kewibawaan negara tidak ada lagi, semua
tata tertib, keamanan, dan aturan telah ditinggalkan.
- Pra sujana, sarjana satemah kelu, klulun Kalathida,
tidhem tandhaning dumadi, hardayengrat dening
karoban rubeda.
Artinya : Para penjahat maupun para pemimpin tidak
sadar apa yang diperbuat dan selalu menimbulkan
masalah / kesulitan.
- Sitipati, nareprabu utamestu, papatih nindhita, pra
nayaka tyas basuki, panekare becik-becik cakrak
cakrak.
Artinya : Para pemimpin mengatakan se-olah-olah
bahwa semua berjalan dengan baik padahal hanya
sekedar menutupi keadaan yang jelek.
- Nging tan dadya, paliyasing Kalabendu, mandar
sangking dadra, rubeda angrubedi, beda-beda
hardaning wong sanagara.
Artinya : Yang menjadi pertanda zaman Kalabendu,
makin lama makin menjadi kesulitan yang sangat,
dan ber-beda-beda tingkah laku / pendapat orang
se-negara.
- Katatangi tangising mardawa-lagu, kwilet tays
duhkita, kataman ring reh wirangi, dening angupaya
sandi samurana.
Artinya : Disertai dengan tangis dan kedukaan
yang mendalam, walaupun kemungkinan dicemooh,
mencoba untuk melihat tanda2 yang tersembunyi
dalam peristiwa ini.
(kelihatanya ini adalah ungkapan hati pembuat
tembang ini).
- Anaruwung, mangimur saniberike, menceng
pangupaya, ing pamrih melok pakolih, temah suha
ing karsa tanpa wiweka.
Artinya : Berupaya tanpa pamrih.
- Ing Paniti sastra wawarah, sung pemut, ing zaman
musibat, wong ambeg jatmika kontit, kang
mangkono yen niteni lamampahan.
Artinya : Memberikan peringatan pada zaman yang
kalut dengan bijaksana, begitu agar kejadiannya /
yang akan terjadi bisa jadi peringatan (peringatan dari
R.Ng. Ranggawarsita).
- Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya
jaman edan, ewuh aya kang pambudi, yen meluwa
edan yekti nora tahan.
Artinya : Untuk dibuktikan, akan mengalami jaman
gila, yaitu zaman edan, sulit untuk mengambil sikap,
apabila ikut gila/edan tidak tahan.
- Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya
keduman, melik kalling donya iki, satemahe kaliren
wekasane.
Artinya : Apabila tidak ikut menjalani, tidak kebagian
untuk memiliki harta benda, yang akhirnya bisa
kelaparan.
- Wus dilalah, karsane kang Among tuwuh, kang lali
kabegjan, ananging sayektineki, luwih begja kang
eling lawan waspada.
Artinya : Sudah kepastian, atas kehendak Allah SWT,
yang lupa untuk mengejar keberuntungan, tapi yang
sebetulnya, lebih beruntung yang tetap ingat dan
waspada (dalam perbuatan berbudi baik dan luhur).
-Wektu iku, wus parek wekasanipun, jaman Kaladuka,
sirnaning ratu amargi, wawan-wawan kalawan
memaronira.
Artinya : Pada saat itu sudah dekat berakhirnya
zaman Kaladuka.
Kalau kita perhatikan ilustrasi zaman Kalbendu adalah
sangat mirip dengan 'bebendu' atau 'kekalutan' yang
sedang terjadi saat ini yang kelihatannya tidaksatupun
pemimpin yang mampu mengatasi (baik yang formal
yang sedang mejalankan roda pemerintahan maupun
pimpinan informal diluar pemerintahan - bahkan
pimpinan ABRI yang punya senjatapun tidak mampu
mengatasi masalah - bahkan cenderung seperti orang
bingung / linglung - yang se-mata-mata terpengaruh
oleh perbawa zaman Kalabendu yang tidak mungkin
bisa dihindari)
Zaman Kalasuba.
Pada pupuh 258, dimulai suatu perubahan dari zaman
Kaladuka ke zaman Kalasuba yang lebih baik seperti
pada tembang 1 s/d 6 sebagai berikut :
- Saka marmaning Hayang Sukma, jaman Kalabendu
sirna, sinalinan jamanira, mulyaning jenengan nata,
ing kono raharjanira, karaton ing tanah Jawa,
mamalaning bumi sirna, sirep dur angkaramurka.
Artinya : Atas izin Allah SWT, zaman Kalabendu
hilang, berganti zaman dimana tanah Jawa/Indonesia
menjadi makmur, hilang kutukan bumi dan angkara
murkapun mereda.
- Marga sinapih rawuhnya, nata ginaib sanyata, wiji
wijiling utama, ingaranan naranata, kang kapisan
karanya, adenge tanpa sarana, nagdam makduming
srinata, sonya rutikedatonnya.
Artinya : Kedatangan pemimpin baru tidak terduga,
seperti muncul secara gaib, yang mempunyai sifat2
utama. (note : yang diterjemahkan banyak pihak
sebagai 'satria piningit')
- Lire sepi tanpa srana, ora ana kara-kara, duk masih
keneker Sukma, kasampar kasandhung rata, keh wong
katambehan ika, karsaning Sukma kinarya, salin
alamnya, jumeneng sri pandhita.
Artnya: Datangnya tanpa sarana apa-apa, tidak pernah
menonjol sebelumnya, pada saat masih muda, banyak
mengalami halangan dalam hidupnya, yang oleh izin
Allah SWT, akan menjadi pemimpin yang berbudi
luhur.
.
- Luwih adil paraarta, lumuh maring brana-arta, nama
Sultan Erucakra, tanpa sangakan rawuhira, tan ngadu
bala manungsa, mung sirollah prajuritnya, tungguling
dhikir kewala, mungsuh rerep sirep sirna.
Artinya : Mempunyai sifat adil, tidak tertarik dengan
harta benda, bernama Sultan Erucakra (note : penulis
tidak tahu apa maksudnya, perlu interpretasi tentang
nama ini), tidak ketahuan asal kedatangannya, tidak
mengandalkan bala bantuan manusia, hanya
kepercayaan/keimanan terhadap Allah SWT prajuritnya
dan senjatanya adalah se-mata2 zikir, musuh semua
bisa dikalahkan (note: suatu indikasi bahwa pemimpin
yang akan muncul adalah seorang Muslim yang sangat
taat beragama, yang semata-mata iman yang sangat
tebal kepada Allah SWT yang membimbingnya dan
menjadi kekuatannya)
- Tumpes tapis tan na mangga, krana panjenengan
nata, amrih kartaning nagara, harjaning jagat sadaya,
dhahare jroning sawarsa, denwangeni katahhira, pitung
reyal ika, tan karsa lamun luwiha.
Artinya : Semua musuhnya dimusnahkan oleh sang
pemimpin demi kesejahteraan negara,dan kemakmuran
semuanya, hidupnya sederhana, tidak mau melebihi,
penghasilan yang diterima. (note : suatu indikasi
bahwa kejujuran, kesederhanaan, dan tidak mau
melebihi apa yang menjadi penghasilannya - tidak
kurang tidak lebih - menjadi ciri utama dari pemimpin
yang baru. Dalam tembang ini sangat jelas dilukiskan
kelemahan pemimipin adalah sikap berlebih-lebih-an
yang pada posisi sebagai pimpinan cenderung tidak
menerima apa yang secara murni diberikan oleh negara
sebagai penghasilannya sehingga menimbulkan banyak
'kreativitas' untuk mendapatkan 'tambahan' penghasilan
yang sulit dikontrol batas-batas-nya yang merugikan
rakyat banyak yang contoh nyatanya adalah situasi
kehidupan para pimpinan/pejabat pemerintahan selama
32 tahun rezim Soeharto berkuasa dan juga sampai
dengan saat ini).
- Bumi sakjung pajegira, amung sadinar sawarsa,
sawah sewu pametunya, suwang ing dalem sadina,
wus resik nir apa-apa, marmaning wong cilik samya,
ayem enake tysira, dene murah sandhang teda.
Artinya : Pajak orang kecil sangat rendah nilainya,
orang kecil hidup tentram, murah sandang dan pangan.
- Tan na dursila durjana, padha martobat nalangas,
wedi willating nata, adil asing paramarta, bumi pethik
akukutha, parek lan kali Katangga, ing sajroning bubak
wana, penjenenganin sang nata.
Artinya: Tidak ada penjahat, semuanya sudah bertobat,
takut dengan kewibawaan sang pemimpin yang sangat
adil dan bijaksana.
Kesimpulan.
Ilustrasi zaman Kalabendu adalah mirip dengan kondisi
bangsa Indonesia pada saat ini sebagai pertanda
zaman dimana masyarakat kehilangan arah yang
merupakan tahap akhir sebelum bangsa Indonesia
bisa mengatasi dengan kedatangan pemimpin yang
adil dan bijaksana.
Bisa saja hal ini adalah sekedar suatu 'angan-angan'
atau suatu harapan apabila suatu bangsa atau
masyarakat mengalami tekanan kesulitan yang sangat
sulit diatasi seperti pada saat ini sehinga harapan akan
munculnya Ratu Adil (Satria Piningit) adalah sekedar
suatu pelampiasan sumbat sosial agar masyarakat
masih menaruh harapan akan datangnya suatu
perbaikan.
Waktulah yang akan membuktikan bahwa apa yang
menjadi ilustrasi dari budaya Jawa baik oleh Prabu
Jayabaya dari Kediri maupun R. Ng. Ranggawarsita
adalah sekedar ilustrasi pada masanya yang kebetulan
berulang pada saat ini dan bisa saja berulang lagi
dimasa yang akan datang atau merupakan prediksi
yang mungkin bisa terjadi yang kita mengalami masa
Kalabendu tahap akhir yang akan menuju masa
Kalasuba yang penuh harapan.
Tujuan tulian ini adalah :
- Mengemukakan suatu ilustrasi zaman sesuai dengan
referensi budaya Jawa.
- Mengingatkan kembali bahwa dalam menghadapi
kesulitan, kebingungan, kekakhawatiran yang amat
sangat pada saat ini, peringatan R. Ng. Ranggawarsita
adalah sangat relevan untuk kita cermati kembali 'luwih
begja kang eling lan waspada' yaitu kunci keselamatan
agar kita tetap mampu mengontrol tingkah laku kita
untuk tidak ikut-ikutan gila / edan walaupun dalam
kesulitan seberapapun besarnya untuk menjaga
perbuatan kita agar tetap menjaga sifat budi luhur -
tidak ikut2-an korupsi, tidak ikut2-an menjarah, tidak
ikut2-an merampok dijalanan, tidak ikut2-an merusak,
menyerahkan semuanya dengan ikhlas kepada Allah
SWT yang hanya atas izinnya semata semua kejadian
akan bisa berlaku apakah seseorang mendapat suatu
kesulitan / musibah ataupun dipermudah jalannya.
(Walaupun tidak mudah bersikap seperti ini pada
zaman ini - dan ini nyata2 cobaan buat diri kita semua -
dan tidak semua orang mampu lulus ujian melewati
zaman Kalabendu dengan selamat kecuali 'yang eling
lan waspada').
- Memberikan harapan bahwa keadaan akan lebih baik
bila zaman Kalabendu berakhir dan perbawa
(kewibawaan) pemimpin bisa kembali dengan
datangnya zaman Kalasuba.
Note: Terjemahan dari tembang Jawa kedalam Bahasa
Indonesia adalah bedasarkan interpretasi pribadi penulis
dengan banyak keterbatasan pemahaman bahasa Jawa
madya. Penulis menyilahkan kalau ada pembaca yang
ingin memberikan koreksi untuk terjemahan/interpretasi
yang lebih akurat.
Source:http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998
Demikian cuplikan serat centini yang saya dapat dari Mbah Google.
Mohon isikan komentar dalam kotak di bawah,demi kelangsungan Blog ini.makasih....
KEHILANGAN ARAH
Oleh : Ki Ageng Mangir
Note : Serat Centhini adalah buku dalam bahasa Jawa
(aslinya ditulis memakai huruf Jawa) dalam bentuk
tembang 'macapat' yang disuruh tulis oleh Pangeran
Adipati Anom yang kemudian menjadi raja Surakarta -
Sunan Pakubuwana V (1820 - 1823) pada kira-kira
tahun 1814 yang terdiri dari dua belas jilid yang berisi
kisah pelarian dari kedua putra dan satu putri dari
Sunan Giri ketika kerajaan Giri di Jawa Timur
dijatuhkan oleh Sultan Agung dari Mataram dan kisah
perjalanan ini yang merekam banyak kisah, cerita,
legenda, kepercayaan, tata-cara budaya Jawa dari
ujung ke ujung Pulau Jawa yang meliputi banyak
daerah pedalaman maupun pinggiran yang kadang2
tidak terpengaruh oleh kekuasaan kerajaan Mataram.
(Sumber penulisan artikel ini adalah Serat Centhini
yang sudah diterjemahkan dalam dalam bentuk huruf
latin, tapi masih menggunakan bahasa Jawa madya)
Ramalan Jayabaya.
Banyak ramalan atau prediksi masa depan bangsa
Jawa dan semua ramalan dinamakan ramalan
Jayabaya, penulis sendiri tidak tahu mana yang asli
dan mana yang hanya sekedar dari mulut kemulut.
Satu-satunya sumber yang menjadi referensi penulis
adalah yang tertulis dalam Serat Centhini pada akhir
Jilid III pupuh 256 dan Jilid IV pupuh 257 dan 258.
Pada awal Pupuh 256 dikatakan :
- Kalanira sang Prabu, Jayabaya Kadhiri ngadhatun,
katamuan pandhita saking Rum nagri, nama Molana
Ngalimu, Samsujen tahu kinaot.
Jadi ramalan yang dikemukakan oleh Prabu Jayabaya
berasal dari ajaran Maulana Seh Ngali Samsujen yang
dalam pupuh selanjutnya berdasarkan Kitab Musarar.
Selanjutnya dalam ramalan yang bermula dari tarih
Masehi membagi zaman menjadi masing2 tujuh ratus
tahun yaitu zaman : Kaliswara, Kaliyoga, dan Kalisi-
ngareki.
Masing2 tujuhratus tahun dibagi menjadi tujuh seratus
tahunan sedangkan seratus tahunan dibagi menjadi
tiga 33 tahunan.
Dengan pembagian tahun hanya sampai dengan tiga
kali tujuh ratus tahun, Jayabaya se-olah2 meramalkan
bahwa akhir zaman akan terjadi pada abad ke 21.
Sedangkan ramalan yang terjadi pada empat abad
terakhir tentang tanah Jawa adalah pada pupuh 256,
tembang 44 s/d 47 sebagai berikut (yang merupakan
bagian dari tujuh abad zaman Kalisangireki) :
- Kaping pat arannipun, jaman Kalabendu werdinipun,
estu Bebendu wahananeki, keh jalma saluyeng
rembug, dumadya prang lair batos.
- Ping lima arannipun, jaman Kalasuba tegesipun,
jaman suka wahananira keh jalmi, antuk kabungahan
estu, rena lejar sakehing wong.
- Kaping nem arannipun, jaman Kalasumbaga puniku,
werdi zaman Misuwur wahanineki, keh jalma gawe
misuwur, mrih kasusra ing kalakon.
- Kasapta arannipun, jaman Kalasurata rannipun, werdi
jaman Alus wahananoreki, akeh jalma sabiyantu, ing
budining karahayon.
Jadi setelah bangsa Jawa/Indonesia melewati zaman
Kalabendu akan mengalami tiga abad zaman keemasan
dan kemahsyuran sampai dengan akhir zaman. Cuma
kalau menurut perhitungan Jayabaya zaman Kalabendu
adalah periode tahun 1800-1900, sedangkan sampai
saat ini tanda-tanda zamannya masih seperti zaman
Kalabendu .
Selanjutnya pada pupuh 257, Jayabaya meramalkan
akan ada tujuh kerajaan dimulai dari kerajaan
Pejajaran di tanah Jawa dan setelah itu tanah Jawa
tidak lagi ada kerajaan, yang terjadi pada saat zaman
Kalabendu.
Interpretasi tujuh kerajaan adalah: Pejajaran, Majapahit,
Pajang, Demak, Mataram, Surakarta, Yogyakarta dan
masa kemerdekaan yang tidak ada kerajaan lagi di
Indonesia.
Dalam Pupuh 257 tembang 23 tercermin peralihan
dari zaman kerajaan sebagai berikut :
- Sirnaning kang, kadaton jalaranipun, wawan-wawan
lawan, bangsa sabrang kulit kuning, mawa srana
tatunggul turun narendra.
Yang bisa diterjemahkan bahwa kedatangan bangsa
sebrang kulit kuning (Jepang) sebagai sarana tidak
ada lagi kerajaan di Jawa / Indonesia.
Zaman Kalabendu.
Pada pupuh 257 tembang 24 sampai dengan 44
dijelaskan secara terperinci tanda-tanda zaman
Kalabendu. Penulis sendiri belum pernah membaca
Serat Kalatidha karangan R.Ng. Ranggawarsita, yang
kelihatannya telah disadur dan dimasukkan dalam
bagian dari Serat Centhini pada bagian ini - ini sangat
mungkin terjadi karena penulisan Serat Centhini
terjadi pada satu masa dengan masa kehidupan
R. Ng. Ranggawarsita, bahkan pembukaan Serat
Centhini jilid 5, dibuat oleh beliau.
Kemungkinan lain kenapa masa Kalabendu mendapat
porsi yang lebih banyak dalam Serat Centhini :
1. Interpretasi bahwa Kalabendu adalah zaman periode
tahun 1800-1900 dimana saat penulisan Serat Centhini.
2. Serat Kalatidha yang disadur kedalam Serat
Centhini pupuh 257 adalah sekedar ilustrasi apa yang
sedang terjadi pada zaman itu oleh Ranggawarsita
dan sama sekali bukan ramalan.
Ilustrasi apa yang terjadi pada masa Kalabendu
sangat mirip dengan apa yang sedang terjadi pada
bangsa Indonesia saat ini, Pertanda zaman sama sekali belum terlihat tanda-tanda bahwa
kita memasuki zaman Kalasuba yaitu suatu periode
setelah zaman Kalabendu berakhir (seperti yang di
prediksi oleh Jayabaya).
Barangkali kita bisa mencoba melihat ilustrasi dari
masa zaman Kalabendu yang dimulai dari tembang
28 s/d 44 pupuh 257 Serat Centhini jilid IV :
- Wong agunge padha jail kurang tutur, marma jeng
pamasa, tanpa paramarteng dasih, dene datan ana
wahyu kang sanyata.
Artinya: Para pemimpinnya berhati jail, bicaranya
ngawur, tidak bisa dipercaya dan tidak ada wahyu yang
sejati.
- Keh wahyuning eblislanat kang tamurun, apangling
kang jalma, dumrunuh salin sumalin, wong wadon
kang sirna wiwirangira.
Artinya : Wahyu yang turun adalah wahyu dari iblis
dan sulit bagi kita untuk membedakannya, para
wanitanya banyak yang kehilangan rasa malu.
- Tanpa kangen mring mitra sadulur, tanna warta nyata,
akeh wong mlarat mawarni, daya deye kalamun tyase
nalangsa.
Artinya : Rasa persaudaraan meluntur, tidak saling
memberi berita dan banyak orang miskin ber-aneka
macam yang sangat menyedihkan kehidupannya.
- Krep paprangan, sujana kapontit nurut, durjana susila
dadra andadi, akeh maling malandang marang ing
marga.
Artinya : Banyak peperangan yang melibatkan para
penjahat, kejahatan/perampokan dan pemerkosaan
makin menjadi-jadi dan banyak pencuri malang
melintang di jalan-jalan.
- Bandhol tulus, mendhosol rinamu puguh, krep
grahana surya, kalawan grahana sasi, jawah lindhu
gelap cleret warsa.
Artinya : Alampun ikut terpengaruh dengan banyak
terjadi gerhana matahari dan bulan, hujan abu dan
gempa bumi.
- Prahara gung, salah mangsa dresing surur, agung
prang rusuhan, mungsuhe boya katawis, tangeh lamun
tentreming wardaya.
Artinya: Angin ribut dan salah musim, banyak terjadi
kerusuhan seperti perang yang tidak ketahuan mana
musuhnya yang menyebabkan tidak mungkin ada
rasa tenteram dihati.
- Dalajading praja kawuryan wus suwung, lebur
pangreh tata, karana tanpa palupi, pan wus tilar
silastuti titi tata.
Artinya : Kewibawaan negara tidak ada lagi, semua
tata tertib, keamanan, dan aturan telah ditinggalkan.
- Pra sujana, sarjana satemah kelu, klulun Kalathida,
tidhem tandhaning dumadi, hardayengrat dening
karoban rubeda.
Artinya : Para penjahat maupun para pemimpin tidak
sadar apa yang diperbuat dan selalu menimbulkan
masalah / kesulitan.
- Sitipati, nareprabu utamestu, papatih nindhita, pra
nayaka tyas basuki, panekare becik-becik cakrak
cakrak.
Artinya : Para pemimpin mengatakan se-olah-olah
bahwa semua berjalan dengan baik padahal hanya
sekedar menutupi keadaan yang jelek.
- Nging tan dadya, paliyasing Kalabendu, mandar
sangking dadra, rubeda angrubedi, beda-beda
hardaning wong sanagara.
Artinya : Yang menjadi pertanda zaman Kalabendu,
makin lama makin menjadi kesulitan yang sangat,
dan ber-beda-beda tingkah laku / pendapat orang
se-negara.
- Katatangi tangising mardawa-lagu, kwilet tays
duhkita, kataman ring reh wirangi, dening angupaya
sandi samurana.
Artinya : Disertai dengan tangis dan kedukaan
yang mendalam, walaupun kemungkinan dicemooh,
mencoba untuk melihat tanda2 yang tersembunyi
dalam peristiwa ini.
(kelihatanya ini adalah ungkapan hati pembuat
tembang ini).
- Anaruwung, mangimur saniberike, menceng
pangupaya, ing pamrih melok pakolih, temah suha
ing karsa tanpa wiweka.
Artinya : Berupaya tanpa pamrih.
- Ing Paniti sastra wawarah, sung pemut, ing zaman
musibat, wong ambeg jatmika kontit, kang
mangkono yen niteni lamampahan.
Artinya : Memberikan peringatan pada zaman yang
kalut dengan bijaksana, begitu agar kejadiannya /
yang akan terjadi bisa jadi peringatan (peringatan dari
R.Ng. Ranggawarsita).
- Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya
jaman edan, ewuh aya kang pambudi, yen meluwa
edan yekti nora tahan.
Artinya : Untuk dibuktikan, akan mengalami jaman
gila, yaitu zaman edan, sulit untuk mengambil sikap,
apabila ikut gila/edan tidak tahan.
- Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya
keduman, melik kalling donya iki, satemahe kaliren
wekasane.
Artinya : Apabila tidak ikut menjalani, tidak kebagian
untuk memiliki harta benda, yang akhirnya bisa
kelaparan.
- Wus dilalah, karsane kang Among tuwuh, kang lali
kabegjan, ananging sayektineki, luwih begja kang
eling lawan waspada.
Artinya : Sudah kepastian, atas kehendak Allah SWT,
yang lupa untuk mengejar keberuntungan, tapi yang
sebetulnya, lebih beruntung yang tetap ingat dan
waspada (dalam perbuatan berbudi baik dan luhur).
-Wektu iku, wus parek wekasanipun, jaman Kaladuka,
sirnaning ratu amargi, wawan-wawan kalawan
memaronira.
Artinya : Pada saat itu sudah dekat berakhirnya
zaman Kaladuka.
Kalau kita perhatikan ilustrasi zaman Kalbendu adalah
sangat mirip dengan 'bebendu' atau 'kekalutan' yang
sedang terjadi saat ini yang kelihatannya tidaksatupun
pemimpin yang mampu mengatasi (baik yang formal
yang sedang mejalankan roda pemerintahan maupun
pimpinan informal diluar pemerintahan - bahkan
pimpinan ABRI yang punya senjatapun tidak mampu
mengatasi masalah - bahkan cenderung seperti orang
bingung / linglung - yang se-mata-mata terpengaruh
oleh perbawa zaman Kalabendu yang tidak mungkin
bisa dihindari)
Zaman Kalasuba.
Pada pupuh 258, dimulai suatu perubahan dari zaman
Kaladuka ke zaman Kalasuba yang lebih baik seperti
pada tembang 1 s/d 6 sebagai berikut :
- Saka marmaning Hayang Sukma, jaman Kalabendu
sirna, sinalinan jamanira, mulyaning jenengan nata,
ing kono raharjanira, karaton ing tanah Jawa,
mamalaning bumi sirna, sirep dur angkaramurka.
Artinya : Atas izin Allah SWT, zaman Kalabendu
hilang, berganti zaman dimana tanah Jawa/Indonesia
menjadi makmur, hilang kutukan bumi dan angkara
murkapun mereda.
- Marga sinapih rawuhnya, nata ginaib sanyata, wiji
wijiling utama, ingaranan naranata, kang kapisan
karanya, adenge tanpa sarana, nagdam makduming
srinata, sonya rutikedatonnya.
Artinya : Kedatangan pemimpin baru tidak terduga,
seperti muncul secara gaib, yang mempunyai sifat2
utama. (note : yang diterjemahkan banyak pihak
sebagai 'satria piningit')
- Lire sepi tanpa srana, ora ana kara-kara, duk masih
keneker Sukma, kasampar kasandhung rata, keh wong
katambehan ika, karsaning Sukma kinarya, salin
alamnya, jumeneng sri pandhita.
Artnya: Datangnya tanpa sarana apa-apa, tidak pernah
menonjol sebelumnya, pada saat masih muda, banyak
mengalami halangan dalam hidupnya, yang oleh izin
Allah SWT, akan menjadi pemimpin yang berbudi
luhur.
.
- Luwih adil paraarta, lumuh maring brana-arta, nama
Sultan Erucakra, tanpa sangakan rawuhira, tan ngadu
bala manungsa, mung sirollah prajuritnya, tungguling
dhikir kewala, mungsuh rerep sirep sirna.
Artinya : Mempunyai sifat adil, tidak tertarik dengan
harta benda, bernama Sultan Erucakra (note : penulis
tidak tahu apa maksudnya, perlu interpretasi tentang
nama ini), tidak ketahuan asal kedatangannya, tidak
mengandalkan bala bantuan manusia, hanya
kepercayaan/keimanan terhadap Allah SWT prajuritnya
dan senjatanya adalah se-mata2 zikir, musuh semua
bisa dikalahkan (note: suatu indikasi bahwa pemimpin
yang akan muncul adalah seorang Muslim yang sangat
taat beragama, yang semata-mata iman yang sangat
tebal kepada Allah SWT yang membimbingnya dan
menjadi kekuatannya)
- Tumpes tapis tan na mangga, krana panjenengan
nata, amrih kartaning nagara, harjaning jagat sadaya,
dhahare jroning sawarsa, denwangeni katahhira, pitung
reyal ika, tan karsa lamun luwiha.
Artinya : Semua musuhnya dimusnahkan oleh sang
pemimpin demi kesejahteraan negara,dan kemakmuran
semuanya, hidupnya sederhana, tidak mau melebihi,
penghasilan yang diterima. (note : suatu indikasi
bahwa kejujuran, kesederhanaan, dan tidak mau
melebihi apa yang menjadi penghasilannya - tidak
kurang tidak lebih - menjadi ciri utama dari pemimpin
yang baru. Dalam tembang ini sangat jelas dilukiskan
kelemahan pemimipin adalah sikap berlebih-lebih-an
yang pada posisi sebagai pimpinan cenderung tidak
menerima apa yang secara murni diberikan oleh negara
sebagai penghasilannya sehingga menimbulkan banyak
'kreativitas' untuk mendapatkan 'tambahan' penghasilan
yang sulit dikontrol batas-batas-nya yang merugikan
rakyat banyak yang contoh nyatanya adalah situasi
kehidupan para pimpinan/pejabat pemerintahan selama
32 tahun rezim Soeharto berkuasa dan juga sampai
dengan saat ini).
- Bumi sakjung pajegira, amung sadinar sawarsa,
sawah sewu pametunya, suwang ing dalem sadina,
wus resik nir apa-apa, marmaning wong cilik samya,
ayem enake tysira, dene murah sandhang teda.
Artinya : Pajak orang kecil sangat rendah nilainya,
orang kecil hidup tentram, murah sandang dan pangan.
- Tan na dursila durjana, padha martobat nalangas,
wedi willating nata, adil asing paramarta, bumi pethik
akukutha, parek lan kali Katangga, ing sajroning bubak
wana, penjenenganin sang nata.
Artinya: Tidak ada penjahat, semuanya sudah bertobat,
takut dengan kewibawaan sang pemimpin yang sangat
adil dan bijaksana.
Kesimpulan.
Ilustrasi zaman Kalabendu adalah mirip dengan kondisi
bangsa Indonesia pada saat ini sebagai pertanda
zaman dimana masyarakat kehilangan arah yang
merupakan tahap akhir sebelum bangsa Indonesia
bisa mengatasi dengan kedatangan pemimpin yang
adil dan bijaksana.
Bisa saja hal ini adalah sekedar suatu 'angan-angan'
atau suatu harapan apabila suatu bangsa atau
masyarakat mengalami tekanan kesulitan yang sangat
sulit diatasi seperti pada saat ini sehinga harapan akan
munculnya Ratu Adil (Satria Piningit) adalah sekedar
suatu pelampiasan sumbat sosial agar masyarakat
masih menaruh harapan akan datangnya suatu
perbaikan.
Waktulah yang akan membuktikan bahwa apa yang
menjadi ilustrasi dari budaya Jawa baik oleh Prabu
Jayabaya dari Kediri maupun R. Ng. Ranggawarsita
adalah sekedar ilustrasi pada masanya yang kebetulan
berulang pada saat ini dan bisa saja berulang lagi
dimasa yang akan datang atau merupakan prediksi
yang mungkin bisa terjadi yang kita mengalami masa
Kalabendu tahap akhir yang akan menuju masa
Kalasuba yang penuh harapan.
Tujuan tulian ini adalah :
- Mengemukakan suatu ilustrasi zaman sesuai dengan
referensi budaya Jawa.
- Mengingatkan kembali bahwa dalam menghadapi
kesulitan, kebingungan, kekakhawatiran yang amat
sangat pada saat ini, peringatan R. Ng. Ranggawarsita
adalah sangat relevan untuk kita cermati kembali 'luwih
begja kang eling lan waspada' yaitu kunci keselamatan
agar kita tetap mampu mengontrol tingkah laku kita
untuk tidak ikut-ikutan gila / edan walaupun dalam
kesulitan seberapapun besarnya untuk menjaga
perbuatan kita agar tetap menjaga sifat budi luhur -
tidak ikut2-an korupsi, tidak ikut2-an menjarah, tidak
ikut2-an merampok dijalanan, tidak ikut2-an merusak,
menyerahkan semuanya dengan ikhlas kepada Allah
SWT yang hanya atas izinnya semata semua kejadian
akan bisa berlaku apakah seseorang mendapat suatu
kesulitan / musibah ataupun dipermudah jalannya.
(Walaupun tidak mudah bersikap seperti ini pada
zaman ini - dan ini nyata2 cobaan buat diri kita semua -
dan tidak semua orang mampu lulus ujian melewati
zaman Kalabendu dengan selamat kecuali 'yang eling
lan waspada').
- Memberikan harapan bahwa keadaan akan lebih baik
bila zaman Kalabendu berakhir dan perbawa
(kewibawaan) pemimpin bisa kembali dengan
datangnya zaman Kalasuba.
Note: Terjemahan dari tembang Jawa kedalam Bahasa
Indonesia adalah bedasarkan interpretasi pribadi penulis
dengan banyak keterbatasan pemahaman bahasa Jawa
madya. Penulis menyilahkan kalau ada pembaca yang
ingin memberikan koreksi untuk terjemahan/interpretasi
yang lebih akurat.
Source:http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998
Demikian cuplikan serat centini yang saya dapat dari Mbah Google.
Mohon isikan komentar dalam kotak di bawah,demi kelangsungan Blog ini.makasih....
postingan ini berkategori
CERITA
/
NASKAH
/
SASTRA
dengan judul
Serat Centini
. Jangan lupa menyertakan URL
http://joyodrono-cahmabung.blogspot.com/2011/08/serat-centini.html
. Jika ingin memposting ulang . Terima kasih!
Belum ada komentar untuk " Serat Centini "
Posting Komentar