"Gelegar musik pembuka yang mencanangkan pertandingan melenyap dari pendengaran dengan geraman malas segera saat berlaga harus dimulai,para pemain berhenti memperhitungkan dirinya dengan serius, dan lakon pun ambruk sama sekali, seperti gelembung-gelembung tercoblos … Revolusi itu sendiri melumpuhkan para pengusungnya dan memberkahi musuh-musuhnya saja dengan kekuatan bergelora".
(Karl Marx, e Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte 1852)Pengakuan akibat siksaan, kesaksian berselubung, kisah media yang direkayasa para tentara ahli perang urat syaraf – di tengah-tengah limpahan informasi tentang G-30-S, teramat sedikit yang dapat ditimbang sebagai bukti teruji. Para peneliti tidak dapat mengajukan sesuatu lebih dari dugaan cerdas tentang identitas pemimpin-pemimpin
yang sebenarnya dan motivasi mereka. Apakah Sjam dan Aidit bertang-
gung jawab, seperti diakui Sjam sendiri di persidangannya? Atau Untung
dan para perwira militer lainnya bertanggung jawab, seperti yang mereka
akui di persidangan mereka? Atau apakah mereka bekerja bersama sebagai
satu tim tanpa kejelasan siapa yang bertanggung jawab? Atau apakah
Suharto dengan satu atau lain cara berdiri di belakang mereka sebagai
dalang dari seluruh drama yang memilukan itu? Dengan tidak adanya
bukti yang tidak dapat disangsikan, pertanyaan-pertanyaan di atas tidak
bisa dijawab dengan kepastian sedikit pun.
Mengingat bahwa bukti-bukti tentang G-30-S sudah dikacaukan
dan dipertanyakan, tidak mengherankan ketika ditemukan bahwa suatu
bukti yang sangat penting telah diabaikan. Salah seorang konspirator
G-30-S yang ada di pangkalan udara Halim pada 1 Oktober, yaitu
Brigadir Jenderal Supardjo, menulis sebuah analisis postmortem tentang
kegagalan mereka. Tulisan ini diberinya judul “Beberapa Pendapat jang
Mempengaruhi Gagalnja ‘G-30-S’ Dipandang dari Sudut Militer” (lihat
lampiran 1). Hingga sekarang para peneliti tidak mengakui dokumen
ini sebagaimana adanya: sumber utama terpenting tentang G-30-S. Ini
satu-satunya dokumen yang tersedia sampai sekarang yang ditulis oleh
pelaku G-30-S sebelum ia tertangkap. Dengan demikian, informasi yang
terkandung di dalamnya mempunyai bobot keterandalan dan kejujuran
yang khas. Supardjo menulis demi kepentingan kawan-kawannya, bukan
bagi para interogator dan penuntut umum yang memusuhinya. Jika kita
hendak menganalisis G-30-S lagi, seyogianya kita mulai dengan dokumen
ini, melihat kesimpulan apa yang dapat ditarik dari sana, dan kemudian
memeriksa kembali bukti-bukti yang ada dengan mempertimbangkan
dokumen ini.
Sudah barang tentu dokumen Supardjo tidak dapat menjawab
semua persoalan tentang G-30-S. Penulis adalah seorang pribadi dengan
sudut pandang sendiri yang khusus. Supardjo juga bukan salah seorang
pimpinan inti G-30-S. Hanya lima orang yang memimpin G-30-S dan,
kemungkinan, mengerti semua atau sebagian besar seluk-beluk dan
kiat-kiatnya: Sjam, Pono, Letnan Kolonel Untung, Kolonel Latief, dan
Mayor Soejono. Pada hari G-30-S dimulai Supardjo bersama lima tokoh
itu berada di pangkalan udara AURI di Halim, dan ia berperan selaku
wakil mereka untuk berhubungan dengan Presiden Sukarno. Tetapi
ia sama sekali tidak menghadiri rapat-rapat perencanaan mereka pada
pekan-pekan sebelumnya. Ia tiba di Jakarta hanya tiga hari sebelum aksi
dimulai. Sementara Supardjo bisa memenuhi janji judul dokumennya
– “faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan” G-30-S – ia tidak mengerti
semua alasan kegagalan itu. Ketika ia melihat aksi digelar, ia kebingungan
menghadapi penalaran yang mendasari keputusan-keputusan tertentu.
Di sinilah ketidaktahuannya tentang diskusi-diskusi dan rapat-rapat pe-
rencanaan sepanjang pekan-pekan sebelumnya menjadi penyebab dari
keterbatasan analisisnya. Selain itu, ia tidak banyak mengetahui tentang
status G-30-S di Jawa Tengah, provinsi tempat gerakan ini paling kuat.
Supardjo berusaha sangat rasional di dalam menuliskan analisisnya: pada
bagian pertama naskah ia laporkan peristiwa-peristiwa yang disaksikan-
nya, kemudian pada bagian kedua ia tuliskan pemahamannya tentang
peristiwa-peristiwa itu. Tentu saja, bisa jadi ia salah menangkap peristiwa-
peristiwa tertentu atau salah menafsirkan apa yang ia tangkap.
Dalam bagian ini saya sajikan informasi tentang latar belakang
Supardjo dan kemudian menguraikan pernyataan-pernyataan penting
dalam dokumen mengenai kepemimpinan G-30-S, rencana aksi G-30-S,
pelaksanaan rencana itu, dan strategi G-30-S sehubungan dengan Presiden
Sukarno dan Mayor Jenderal Suharto.
LATAR BELAKANG SUPARDJO DAN ANALISISNYA
Ketika saya pertama-tama mulai meneliti peristiwa-peristiwa pertengahan
1960-an, saya terkesima oleh keganjilan keterlibatan Supardjo dalam
G-30-S. Namanya disebut dalam pengumuman radio yang kedua (Dekrit
no. 1) pada 1 Oktober 1965 sebagai orang nomor dua dalam hierarki
G-30-S; ia sebagai wakil komandan, yang berada langsung sesudah nama
komandannya, Letnan Kolonel Untung. Mengapa seorang perwira yang
berpangkat lebih tinggi mau menempatkan dirinya di bawah perwira
yang berpangkat lebih rendah? Pengumuman keempat (Keputusan no.
2), dibacakan melalui radio di ujung siang, membatalkan semua pangkat
di atas letnan kolonel. Mengapa seorang perwira militer karier dengan
tanda jasa, yang telah bekerja keras untuk meraih posisi tinggi selama
dua puluh tahun, ikut ambil bagian dalam suatu aksi yang akan berke-
sudahan dengan penurunan pangkatnya? Akan berarti apa pembatalan
pangkat yang lebih tinggi itu ketika, di sekitar saat pengumuman itu
dikumandangkan, Supardjo sedang duduk di depan presiden berseragam
lengkap dengan lencana brigadir jenderalnya?
Kehadiran Supardjo di Jakarta pada saat aksi itu sendiri sudah
menimbulkan tanda tanya karena ia semestinya ditempatkan jauh di
Kalimantan Barat, sebagai komandan pasukan di sepanjang perbatasan
dengan Malaysia. Jabatan resmi Supardjo adalah sebagai Panglima
Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga.Perwira-perwira lain
yang terlibat dalam G-30-S, seperti Letnan Kolonel Untung, Kolonel
Latief, dan Mayor Soejono, memimpin pasukan-pasukan mereka di
Jakarta. Tapi Supardjo agaknya tidak dapat menyediakan pasukan apa
pun untuk aksi itu. Lalu, apa tujuan pelibatan dirinya jika ia tampil
sebagai pemain perseorangan belaka dan tidak mempunyai pasukan untuk
disumbangkan? Ia tidak mungkin terlibat secara berarti dalam perenca-
naan aksi 1 Oktober karena selama bulan-bulan sebelumnya ia berada di
sepanjang perbatasan dengan Malaysia. Lalu, jika ia tidak terlibat dalam
perencanaan, mengapa ia mau ikut di dalamnya? Ia bukanlah teman
lama yang akrab dan terpercaya bagi para perwira yang lain. Ia berasal
dari komando militer Jawa Barat (Siliwangi), sedangkan Untung dan
Latief dari komando Jawa Tengah (Diponegoro), dan Soejono seorang
perwira AURI yang berpangkalan di Jakarta. Bagaimana bisa Supardjo
tergelung dalam kelompok ini pada awalnya?
Kedudukan Supardjo yang istimewa sebagai orang luar dan orang
dalam itu menyebabkan dokumen ini menjadi sangat berharga. Ia
dapat mengamati peristiwa-peristiwa dari sudut seorang pengamat yang
berjarak. Ia memulai tulisannya dengan menyatakan bahwa ia terlibat
dalam G-30-S hanya selama tiga hari – artinya pada 30 September, 1
Oktober, dan 2 Oktober – dan ini merupakan waktu yang sangat pendek
jika “dibandingkan dengan seluruh persiapan.” Di sisi lain, Supardjo
adalah orang dalam. Ia ada bersama para pimpinan inti di tempat per-
sembunyian mereka di pangkalan udara Halim, berbicara dengan mereka
dari menit ke menit tentang bagaimana aksi harus berlangsung. Mereka
memercayainya untuk bicara dengan Presiden Sukarno atas nama mereka.
Pada saat aksi dimulai tidak ada orang lain yang dekat dengan penggerak
inti seperti Supardjo.baca kembali Pertemuan supardjo dengan Soekarno
Paling sedikit dokumen ini dapat membantu menjelaskan beberapa
keliru gagas tentang peran Supardjo. Karena dialah perwira berpangkat
tertinggi dalam G-30-S, banyak pengulas yang salah menduga bahwa
dia seorang pemimpin kunci gerakan ini, jika bukan pimpinan yang
paling kunci. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia waktu itu
dalam memoarnya menggambarkan Supardjo sebagai “komandan taktis
kup yang sebenarnya.”Otobiografi Suharto menyatakan bahwa dalam
percakapan pribadi Sukarno pernah mengatakan bahwa seluruh gerakan
ada di bawah pimpinan Supardjo.Yang lain lagi mendesakkan bahwa ia
komandan pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka.Pada 1966
pengacara Untung, dalam usaha sia-sia untuk melindungi kliennya,
menyatakan di depan mahkamah bahwa Supardjo adalah dalang dari
seluruh komplotan dan bahwa Untung hanya mengikuti perintah perwira
atasan belaka. Dokumen Supardjo sendiri mengungkapkan bahwa ia
bukan pimpinan gerakan dan juga tidak memimpin pasukan apa pun
dalam G-30-S.
Penjelasan Supardjo pribadi tentang bagaimana ia tiba di Jakarta
mungkin saja benar. Di depan mahkamah ia mengatakan bahwa ia
meninggalkan Kalimantan karena anak bungsunya sakit keras dan di-
perkirakan akan meninggal. Istrinya mengirim radiogram, memintanya
segera kembali ke Jakarta.7 Begitu tiba di ibu kota, ia memanfaatkan
kunjungannya untuk mendengarkan berita terakhir tentang rencana per-
lawanan terhadap Dewan Jenderal. Ia mengakui bertemu dengan teman
lamanya, Sjam, yang menceritakan kepadanya tentang aksi yang akan
datang. Supardjo mengatakan, rencananya ia akan kembali ke posnya
di Kalimantan sebelum 1 Oktober andaikata atasannya, Omar Dani,
tidak memintanya agar tinggal sampai 3 Oktober untuk suatu rapat
dengan presiden. Mereka berdua, Dani dan Supardjo, ingin berbicara
dengan Sukarno tentang apa yang akan dilakukan untuk mencegah kup
Dewan Jenderal. Supardjo mengikuti adanya dua usaha terpisah untuk
melawan jenderal-jenderal sayap kanan: rencana Dani di satu pihak dan
rencana G-30-S di pihak lain. Gerakan 30 September bergerak lebih
dulu dan mendahului rencana Dani.8 Barangkali Supardjo tidak berterus
terang dalam memberikan kesaksiannya di depan mahkamah; bisa jadi
ia memang sengaja datang ke Jakarta agar dapat bekerja sama dengan
Sjam. Barangkali ia sudah sepakat dengan G-30-S sejak awal. Apa pun
kemungkinannya, peranan Supardjo dalam G-30-S terbatas; aksi itu bisa
berjalan tanpa partisipasinya.
Supardjo lebih berfungsi sebagai penasihat atau asisten ketimbang
sebagai panglima. Pada pagi hari 1 Oktober ia dibawa ke istana oleh
dua komandan batalyon, yang sebenarnya dengan mudah bisa bertugas
sebagai penghubung gerakan dengan presiden. Dalam segala kemung-
kinan rencana awal G-30-S untuk bertemu presiden bertumpu pada
dua perwira ini saja, yaitu Kapten Sukirno dan Mayor Supeno. Keikut-
sertaan Supardjo tidak dapat diperhitungkan karena ia berada jauh di
Kalimantan dan tidak ada perintah baginya untuk kembali ke Jakarta.
Komandan-komandan batalyon itulah yang diperintahkan masuk Jakarta
dengan membawa pasukan mereka untuk parade Hari ABRI 5 Oktober.
Tiba di Jakarta tiga hari saja sebelum aksi, Supardjo bisa jadi mendadak
ditambahkan dalam rencana.
Analisis postmortem Supardjo memberi kesan bahwa ia tidak ber-
tanggung jawab dalam pengorganisasian G-30-S. Ia menulis sebagai
seorang perwira militer yang dibingungkan oleh semua penyimpangan
gerakan dari praktik baku kemiliteran. Seandainya ia yang bertanggung
jawab, orang dapat berharap bahwa aksi G-30-S akan menjadi operasi
yang lebih profesional. Supardjo menjadi brigadir jenderal pada umur
empat puluh empat justru karena keberhasilannya yang gemilang dalam
pertempuran. Sampai 1965 ia sudah mengabdi dalam ketentaraan selama
dua puluh tahun, dari saat perang kemerdekaan, ketika ia menjadi terkenal
dalam pertempuran di Jawa Barat melawan pasukan Belanda. Melawan
perkubuan Belanda yang seakan tak tertembus itu, ia menggunakan
variasi industrial modern dari taktik kuda Troya. Ia mencegat kereta
api, diam-diam menaikkan tiga ratus prajurit ke gerbong-gerbongnya,
dan selanjutnya mengejutkan pasukan Belanda yang jauh lebih besar
ketika kereta api itu lewat dekat kubu pertahanan mereka.9 Belakangan,
sebagai komandan distrik militer di Jawa Barat pada akhir 1950-an dan
awal 1960-an, ia memainkan peranan sangat penting dalam perang
pengikisan pemberontakan gerakan Darul Islam. Ia juga belajar teori
peperangan, setelah menghabiskan satu tahun di sekolah staf tentara
Pakistan di Quetta, tempat ia menulis naskah tentang perang gerilya.10
Berbicara tentang masalah-masalah kemiliteran, jenderal bertubuh
ramping berkumis tipis inilah ahlinya.
Supardjo menulis analisis tentang Gerakan 30 September ketika
ia dalam pengejaran. Hidupnya di ambang kehancuran: G-30-S telah
ambruk; pangkatnya dilucuti dan ia dipecat dari ketentaraan; ia dipisah-
kan dari istri dan sembilan anak-anaknya (yang terus-menerus berada
di bawah pengawasan); kawan-kawannya sesama konspirator, seperti
Untung, telah disidang dan dijatuhi hukuman mati. Angkatan Darat
memburu Supardjo ke seluruh penjuru negeri. Namun terlepas dari
hal-hal yang tentu sangat mengecewakannya, ia telah menuliskan tentang
G-30-S tanpa rasa dengki atau dendam.
Karena dokumen ini tidak bertanggal, kita hanya dapat menduga-
duga kapan waktu penyusunannya. Supardjo menulis analisis ini setidak-
tidaknya satu bulan sesudah peristiwa; dia menyebutkan bahwa sepucuk
surat yang ditulisnya untuk Sukarno pada awal Oktober 1965 baru dikirim
satu bulan kemudian. Kita dapat menduga bahwa ia menulis analisisnya
untuk kepentingan Sudisman, yang, sebagai anggota senior inti Politbiro
PKI yang masih hidup, mengambil tanggung jawab pada 1966 dengan
menulis kritik terhadap kebijakan PKI sebelumnya. Supardjo mencatat
pada alinea pertama bahwa analisisnya dimaksudkan untuk membantu
“kawan pimpinan” dalam mengembangkan “analisa secara menyeluruh”
tentang G-30-S. Kritik Politbiro diumumkan pada September 1966,
sehingga analisis Supardjo kemungkinan ditulis sebelumnya.11
Selama tanya jawab di persidangannya di Mahmilub, Supardjo
mengakui telah menyampaikan kritiknya tentang G-30-S secara lisan
kepada pimpinan partai yang lain, yaitu Soejono Pradigdo, dalam
September 1966 dan bertemu Sudisman satu bulan sesudah itu melalui
perantaraan Pradigdo. Hakim Ketua menanyai Supardjo dua kali pada
hari terakhir tanya jawab apakah ia pernah menulis “analisa tentang
kegagalan G-30-S” dan apakah Sudisman meminta kepadanya agar
menulis “semacam otokritik.” Supardjo menjawab singkat tidak. Tidak
ada alasan untuk memercayai baik kronologi Supardjo bertemu Sudisman
maupun pengingkaran Supardjo bahwa ia telah menulis dokumen
semacam itu. Sepanjang tanya jawab dalam persidangan jawaban-jawaban
Supardjo, wajar saja, selalu singkat dan terkadang mengelak. Jawaban-
jawaban Supardjo terutama menjadi berbelit-belit saat ia ditanya tentang
hubungannya dengan PKI.
Penyangkalan Supardjo terhadap dokumen itu dapat dipahami
karena pada alinea-alinea tertentu bersifat sangat memberatkan. Soal
yang belum terjawab adalah mengapa para hakim dan penuntut umum
Mahmilub memutuskan untuk tidak mengajukan dokumen itu sebagai
bukti dan dengan demikian membuat keberadaannya diketahui umum,
terutama karena dokumen itu memperlihatkan bahwa Supardjo menaruh
simpati kepada PKI dan Sjam memegang peranan memimpin dalam
G-30-S. Para hakim tidak meneruskan bertanya kepada Supardjo tentang
dokumen itu dan tidak mengungkapkan kepada publik bahwa majelis
hakim mempunyainya.13 Barangkali mereka berpendapat hal itu akan
membikin ruwet alur kisah mereka sehingga akan membuka serang-
kaian pertanyaan yang sama sekali baru. Barangkali mereka mewaspadai
dampak yang akan timbul dari dokumen tersebut bagi para aktivis PKI
yang masih berjuang melawan tentara Suharto. Supardjo menulis anali-
sisnya untuk membantu mereka belajar dari kesalahan-kesalahan mereka.
Karena sidang-sidang Mahmilub dimaksudkan sebagai pertunjukan dan
bukan untuk mencari kebenaran peristiwa, maka kita tidak perlu terlalu
heran jika penuntut umum tidak menggunakan dokumen itu untuk
mengajukan perkara mereka. Putusan sudah ditetapkan sebelumnya;
mereka hanya perlu bergerak mengikuti arus. Lebih dari itu, mahkamah
militer tidak mengikuti aturan-aturan pembuktian yang ketat; para hakim
mungkin sudah membaca dokumen ini secara pribadi dan tidak harus
memasukkannya ke dalam berkas pengadilan agar ia menjadi bagian dari
pertimbangan mereka – jika memang ada pertimbangan yang dibuat.
Para penuntut umum dan hakim memutuskan bukti-bukti apa yang
akan muncul di persidangan berdasarkan pertimbangan tentang kegu-
naannya bagi pendapat umum. Rezim Suharto tidak pernah menghen-
daki masyarakat Indonesia mengkaji peristiwa-peristiwa awal Oktober
1965 dengan kepala dingin dan rasional. Tentara Suharto mengobar-
kan kampanye pengejaran secara histeris terhadap PKI dan kemudian
menciptakan undang-undang antikomunis yang ganjil, yang berlaku
begitu jauh sehingga mendiskriminasi anak cucu orang-orang yang dicap
PKI oleh pemerintah. Baru pada 1994 rezim ini mengeluarkan buku
putih tentang G-30-S, untuk meyakinkan masyarakat Indonesia melalui
argumentasi yang rasional bahwa PKI telah memimpin G-30-S, dan,
meskipun begitu, yang diterbitkan adalah campur aduk yang absurd
dari pernyataan-pernyataan yang belum dibuktikan kebenarannya dan
tidak ada rujukannya.
Sedikit sekali keraguan terhadap otentisitas dokumen Supardjo,
walaupun ia sendiri menyangkalnya. Naskah ini terlalu rumit untuk
dipalsukan. Usaha militer untuk memalsu – pengakuan Aidit dan Njono
– sungguh-sungguh kasar. Selain itu, agen-agen intelijen militer tidak
akan berusaha begitu keras menyusun dokumen yang demikian ruwet lalu
tidak menggunakannya sama sekali. Baik Letnan Kolonel Heru Atmodjo,
yang dipenjarakan bersama Supardjo, maupun putra Supardjo, Sugiarto,
telah memastikan bahwa Supardjo memang menulis dokumen itu.
Ditulis oleh :
JOHN ROOSA
ARSIP/CATATAN
1. Kolaga, komando multitugas, mempunyai dua front tempur terhadap Malaysia: yangsatu berpangkalan di Medan (dipimpin Kemal Idris) dan yang lain di Kalimantan Barat(dipimpin Supardjo). Menurut banyak sumber, kedua front komando ini masing-masingdinamai Komando Tempur Dua dan Komando Tempur Empat. Namun, agaknya ada semacam kekacauan saat itu apakah komando-komando ini dinamai dengan sebutan yang
lebih masuk akal, yaitu Komando Tempur Pertama dan Kedua. Penuntut Umum Mahmilub mengenal Supardjo sebagai Panglima Komando Tempur Kedua. Sumber kekacauan lain ialah peranan Kostrad di dalam Kolaga. Panglima Kolaga, sedari awal pada Mei 1964 (yang ketika itu dinamai Koga), ialah Laksamana Madya Omar Dani. Wakil Panglima sejak
1 Januari 1965 dan seterusnya ialah Suharto, yang pada saat bersamaan juga Panglima Kostrad. Suharto, yang mengepalai penempatan pasukan Kolaga, bersikeras meminta agar semua pasukan yang dipinjam dari komando-komando daerah untuk Kolaga pertama-tama harus diserahterimakan ke Kostrad (Crouch, Army and Politics in Indonesia, 70-71).
Namun, Supardjo tidak lalu menjadi bawahan Suharto atau perwira Kostrad. Dalam hal keputusan-keputusan operasi militer, bahkan saat Supardjo sedang memimpin pasukan Kostrad, ia tetap langsung di bawah Omar Dani. Tidak tepat menggambarkan Supardjo,seperti yang dilakukan John Hughes, sebagai Panglima Komando Tempur Keempat Kostrad
(Hughes, End of Sukarno, 31). Mantan Wakil Perdana Menteri Pertama Subandrio semakin mengacaukan keadaan dengan pernyataannya bahwa Supardjo “ditarik Suharto ke Kostrad menjabat Pangkopur II” (Soebandrio, Kesaksianku Tentang G-30-S, 27). Supardjo tidak
dibawa ke Kostrad, dan Suharto tidak bertanggung jawab atas penugasan Supardjo ke Kalimantan. Penugasan Supardjo ke Kolaga terjadi akhir 1964, sebelum Suharto diangkat sebagai wakil panglima. Penulis lain menerima pernyataan keliru Soebandrio dan bahkan mengangkatnya ke taraf kekeliruan yang lebih jauh, menggambarkan Supardjo sebagai anak
buah Suharto (Harsutejo, G-30-S, 167).
2. Green, Indonesia, 53. Green salah menyebut Supardjo sebagai mantan ajudan militer Sukarno.
3. Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 110.
4. Rey, “Dossier of the Indonesian Drama,” 30; Anderson and McVey, Preliminary Analysis,11.
5. “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Untung, 229-230.
6. Sementara orang ada yang menduga-duga bahwa Supardjo barangkali bersekongkol dengan
Suharto dalam merancang G-30-S karena Supardjo bertemu Suharto di Kalimantan Barat
dalam pekan-pekan menjelang aksi terjadi. Sebagai wakil panglima pasukan untuk konfron-tasi, Suharto memeriksa pasukan di Kalimantan Barat sekitar pertengahan Agustus 1965.
Sebuah foto bersama dari dua tokoh ini dalam kesempatan termaksud tertera di dalam brosur Nurdin A.S., Supardjo Direnggut Kalong, 16. Wertheim menyebut “perjalanan bersama”ini sebagai fakta yang patut diperhatikan, walaupun ia mengakui bahwa “berdiri sendiri,
fakta itu tidak memberikan alasan kuat untuk kecurigaan yang lebih konkret.” (Wertheim,“Suharto and Untung Coup,” 54-55). Supardjo juga bertemu Yani, korban G-30-S, dalam pekan-pekan sebelum aksi sehingga sekadar fakta tentang adanya pertemuan yang lebih awal saja tidak membuktikan apa pun.
7. Para penuntut umum Mahmilub menyatakan bahwa Supardjo dan G-30-S sebelumnya sudah sepakat bahwa isyarat baginya untuk kembali ke Jakarta berupa pesan tentang anaknya
yang sakit. Janda Supardjo, dalam percakapannya dengan saya, membantah pernyataan tentang pesan sandi itu. Ia menegaskan bahwa anaknya memang sakit keras (wawancara dengan Ibu Supardjo).
8. Transkrip Mahmilub, sidang Supardjo, Februari-Maret 1967, pleidooi dari tertuduh, 5.
9. Supardjo menceritakan kembali kisahnya ini di depan mahkamah (transkrip Mahmilub,sidang Supardjo, pleidooi dari tertuduh, 42.
10. Wawancara dengan Sugiarto (anak laki-laki Supardjo).
11.Selagi bergerak di bawah tanah di Jakarta, Sudisman adalah penulis utama otokritik yang diterbitkan atas nama Politbiro pada September 1966. Supardjo mungkin menulis analisisnya sesudah membaca dokumen Politbiro itu. Fic berpendapat bahwa Supardjo
menulis analisisnya pada pertengahan Oktober 1966, tapi sumber Fic, yaitu penuntut umum pada sidang Mahmilub untuk Supardjo, tidak dapat diandalkan untuk informasi ini karena ia tidak mungkin mengetahui sendiri (Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, 330n1).
Fic menyebut dokumen ini sebagai otokritik Supardjo – sepatah kata yang entah mengapa ditulis dalam huruf-huruf kapital tebal di seluruh bukunya. Istilah otokritik tidak pernah muncul di dalam dokumen itu sendiri. Fic tidak mengatakan bahwa istilah itu penamaan dia sendiri untuk dokumen Supardjo tersebut.
12. Transkrip Mahmilub, proses peradilan Supardjo, sidang keempat, 25 Februari 1967, 49, 55. Dalam pledoinya Supardjo lagi-lagi menyangkal dirinya sebagai penulis dokumen termaksud (pleidooi dari tertuduh, 23).
13. Transkrip Mahmilub, proses peradilan Supardjo, sidang kelima, 26 Februari 1967, 2.
14. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September.
15. Transkrip Mahmilub, persidangan Sudisman, kesaksian Sjam, 7 Juli 1967. Bagian yang memuat kesaksian Sjam ini tidak diberi nomor halaman.
16. Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, 48-50.
17. Tidak jelas siapa perwira yang dimaksud Supardjo. Setidaknya memang ada dua perwira yang menarik diri dari rapat perencanaan sesaat sebelum aksi dimulai: Mayor Agus Sigit dan Kapten Wahyudi, keduanya dari garnisun Angkatan Darat Jakarta. Menurut Atmodjo, Sigit
menarik diri karena ia berpendapat rencana itu tidak akan berhasil. Atmodjo bertemu Sigit di penjara pada akhir 1960-an. Walaupun Sigit tidak ikut serta dalam G-30-S, di mata militer kehadirannya pada rapat perencanaan cukup untuk alasan pemenjaraan baginya (wawancara
dengan Heru Atmodjo, 19 Desember 2004). Manai Sophiaan, berdasarkan informasi tangan kedua dan ketiga, menyatakan bahwa beberapa perwira menarik diri dari komplotan karena meragukan keberhasilannya (Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang Berhak, 89).
18. Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang keempat, 25 Februari 1967, 18.
19. Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002.
20. Wawancara dengan Rewang.
21. Transkrip Mahmilub, sidang pengadilan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, 2.
22. Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang Berhak, 171-177; Saelan, Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66, 305-306; G. Kahin, Southeast Asia, 156-57.
23. Walaupun jamak dipercaya di Indonesia bahwa Green ikut campur tangan dalam kup Jenderal Park, kemungkinan ia tidak terlibat. Setelah memeriksa kembali dokumen-dokumen yang sudah dideklasifi kasi, Bruce Cumings percaya bahwa Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat tidak mengetahui sebelumnya tentang kup tersebut (Cumings, Korea’s Place in the Sun, 348).
24. Subekti, mantan sekretaris Politbiro CC-PKI, menulis dalam analisisnya tentang G-30-S pada 1986 bahwa Pono, yang dipenjara bersamanya di Cipinang, Jakarta, menggambarkan Sjam sebagai orang yang menakut-nakuti dan mengancam mereka yang dalam rapat-rapat perencanaan G-30-S tidak sependapaat dengannya. (Subekti, “G-30-S Bukan Buatan PKI,” 11).
25. Kesaksian Sjam, transkrip Mahmilub, peradilan Sudisman, 8 Juli 1967.
26. Wawancara dengan Bungkus. Juga lihat komentarnya dalam Anderson, “World of Sergeant-Major Bungkus,” 24-25.
27. “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 55-56.
28. Kapten Soeradi, perwira bawahan Latief, dalam kesaksiannya di Mahmilub juga mengatakan bahwa jumlah sektor ada enam. Dikatakannya, ia pernah diberi keterangan singkat tentang rencana G-30-S oleh Mayor Soejono pada 23 September. Pada hari berikutnya ia diperkenalkan oleh Soejono dengan para komandan enam sektor itu. Ia yakin mereka semua orang-orang PKI. Pada 25 September ia pergi ke Lubang Buaya untuk merencanakan
pekerjaan sektor-sektor dan mendefi nisikan subsektor-subsektor. (“Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Untung, 82-83). Masalah sektor ini merupakan kasus lain dan saya mengandalkan kesaksian-kesaksian di Mahmilub. Dari bukti yang lebih andal dokumen Supardjo dan wawancara Juwono, yang akan saya uraikan belakangan – jelas
bahwa G-30-S mempunyai sektor-sektor untuk sukarelawan. Karena baik Njono maupun Suradi, pada kesempatan terpisah, menyatakan ada enam sektor, lebih tepat bertumpu pada angka mereka ketimbang pada angka Supardjo.
29 Kesaksian Njono, “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 87-98.
30 Wawancara dengan Juwono. Juwono nama samaran.
31 Seorang loyalis Sukarno, Manai Sophiaan, mengetahui tentang rencana penyelenggaraan dapur umum ini ketika ia berbicara dengan mantan anggota-anggota PKI bertahun-tahun kemudian, lihat Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang berhak, 92.
32 Wieringa, Sexual Politics in Indonesia, 292.
33 Ibid., 294. Emblem itu dimaksud untuk membedakan antara pasukan yang ikut aksidengan yang tidak.
34 Wawancara dengan Oey Hay Djoen, 24 Januari 2002, Jakarta.
35 Kesaksian Peris Pardede, “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 134. Karena informasi yang diberikan Pardede kepada tentara sesudah ia tertangkap,Sudisman menganggapnya sebagai pengkhianat PKI (wawancara dengan Tan Swie Ling).Swie Ling menyembunyikan Sudisman di rumahnya di Jakarta pada 1966.
36 Kesaksian Njono, “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 87-88.
37 Transkrip Mahmilub, sidang Sudisman, 7 Juli 1967. Menurut analisis Supardjo, Sjam tidak secara sepihak memutuskan untuk mundur. Pimpinan G-30-S tidak pernah membuat keputusan setegas itu. Manai Sophiaan menyatakan Sjam mengira massa PKI akan melancarkan demonstrasi begitu G-30-S dimulai (Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang Berhak,81, 89).
38 CIA, Indonesia – 1965, i.
39 Sekretariat Negara, Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia:Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, 121.
40 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, pleidooi dari tertuduh, 6, 11. Seperti saya
kemukakan dalam bab 1, dokumen asli Dekrit no. 1 tidak ada, sehingga tidak mungkin memastikan siapa yang telah menandatanganinya.
41 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, 37.
42 Crouch, Army and Politics in Indonesia, 134. Demokrasi Terpimpin ialah istilah Presiden Sukarno untuk bentuk pemerintahan yang dimulainya pada 1959. Ia membubarkan Konstituante yang sedang menyusun UUD baru; memulihkan konstitusi pertama negara, yang telah ditulis dengan tergesa-gesa pada 1945; menunda pemilihan umum; dan menyusun kembali anggota parlemen.
43 Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra dipenjarakan pada 16 Februari 1966 dengan tuduhan terlibat dalam G-30-S. Ia dibebaskan sesudah hampir satu bulan ditahan dan kemudian dikenai tahanan rumah. Tahun 1969 ia dipenjara lagi dan baru bebas tahun 1981. (Reksosamodra, Memoar, 250-251).
44 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang kedua, 23 Februari 1967, 51.
45 Dalam memoarnya Suharto menyebut ia meninggalkan markas Kostrad tapi tidak menunjuk kapan waktunya. (Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 107).
46 Dani membantah pernyataan Supardjo bahwa ia mendukung pemboman terhadap Kostrad (Katoppo, Menyingkap Kabut Halim 1965, 255). Pada persidangannya Supardjo menyatakan Dani tidak mendukung pemboman (transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang kedua, 23 Februari 1967, 55).'
47 Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002.
48 Ibid.
49 Kementerian Luar Negeri kepada Kedutaan Besar AS di Jakarta, 13 Oktober 1965, dalam Department of State, FRUS 1964-1968, 26:320
50 Kedutaan Besar AS di Indonesia kepada Kementerian Luar Negeri, 4 November 1965,dalam Department of State, FRUS 1964-1968, 26:354.
51 Di depan sidang Mahmilub untuknya Omar Dani bersaksi bahwa Sukarno menolak Suharto sebagai caretaker sementara, karena ia “terlalu koppig” (dalam Crouch, Army and Politics in Indonesia, 128).
52 Tentang pemindahan dini Suharto dari kedudukannya sebagai panglima kodam pada 1959, lihat Crouch, Army and Politics in Indonesia, 40, 124-125.
53 Benjamin, Refl ections, 206.
lebih masuk akal, yaitu Komando Tempur Pertama dan Kedua. Penuntut Umum Mahmilub mengenal Supardjo sebagai Panglima Komando Tempur Kedua. Sumber kekacauan lain ialah peranan Kostrad di dalam Kolaga. Panglima Kolaga, sedari awal pada Mei 1964 (yang ketika itu dinamai Koga), ialah Laksamana Madya Omar Dani. Wakil Panglima sejak
1 Januari 1965 dan seterusnya ialah Suharto, yang pada saat bersamaan juga Panglima Kostrad. Suharto, yang mengepalai penempatan pasukan Kolaga, bersikeras meminta agar semua pasukan yang dipinjam dari komando-komando daerah untuk Kolaga pertama-tama harus diserahterimakan ke Kostrad (Crouch, Army and Politics in Indonesia, 70-71).
Namun, Supardjo tidak lalu menjadi bawahan Suharto atau perwira Kostrad. Dalam hal keputusan-keputusan operasi militer, bahkan saat Supardjo sedang memimpin pasukan Kostrad, ia tetap langsung di bawah Omar Dani. Tidak tepat menggambarkan Supardjo,seperti yang dilakukan John Hughes, sebagai Panglima Komando Tempur Keempat Kostrad
(Hughes, End of Sukarno, 31). Mantan Wakil Perdana Menteri Pertama Subandrio semakin mengacaukan keadaan dengan pernyataannya bahwa Supardjo “ditarik Suharto ke Kostrad menjabat Pangkopur II” (Soebandrio, Kesaksianku Tentang G-30-S, 27). Supardjo tidak
dibawa ke Kostrad, dan Suharto tidak bertanggung jawab atas penugasan Supardjo ke Kalimantan. Penugasan Supardjo ke Kolaga terjadi akhir 1964, sebelum Suharto diangkat sebagai wakil panglima. Penulis lain menerima pernyataan keliru Soebandrio dan bahkan mengangkatnya ke taraf kekeliruan yang lebih jauh, menggambarkan Supardjo sebagai anak
buah Suharto (Harsutejo, G-30-S, 167).
2. Green, Indonesia, 53. Green salah menyebut Supardjo sebagai mantan ajudan militer Sukarno.
3. Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 110.
4. Rey, “Dossier of the Indonesian Drama,” 30; Anderson and McVey, Preliminary Analysis,11.
5. “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Untung, 229-230.
6. Sementara orang ada yang menduga-duga bahwa Supardjo barangkali bersekongkol dengan
Suharto dalam merancang G-30-S karena Supardjo bertemu Suharto di Kalimantan Barat
dalam pekan-pekan menjelang aksi terjadi. Sebagai wakil panglima pasukan untuk konfron-tasi, Suharto memeriksa pasukan di Kalimantan Barat sekitar pertengahan Agustus 1965.
Sebuah foto bersama dari dua tokoh ini dalam kesempatan termaksud tertera di dalam brosur Nurdin A.S., Supardjo Direnggut Kalong, 16. Wertheim menyebut “perjalanan bersama”ini sebagai fakta yang patut diperhatikan, walaupun ia mengakui bahwa “berdiri sendiri,
fakta itu tidak memberikan alasan kuat untuk kecurigaan yang lebih konkret.” (Wertheim,“Suharto and Untung Coup,” 54-55). Supardjo juga bertemu Yani, korban G-30-S, dalam pekan-pekan sebelum aksi sehingga sekadar fakta tentang adanya pertemuan yang lebih awal saja tidak membuktikan apa pun.
7. Para penuntut umum Mahmilub menyatakan bahwa Supardjo dan G-30-S sebelumnya sudah sepakat bahwa isyarat baginya untuk kembali ke Jakarta berupa pesan tentang anaknya
yang sakit. Janda Supardjo, dalam percakapannya dengan saya, membantah pernyataan tentang pesan sandi itu. Ia menegaskan bahwa anaknya memang sakit keras (wawancara dengan Ibu Supardjo).
8. Transkrip Mahmilub, sidang Supardjo, Februari-Maret 1967, pleidooi dari tertuduh, 5.
9. Supardjo menceritakan kembali kisahnya ini di depan mahkamah (transkrip Mahmilub,sidang Supardjo, pleidooi dari tertuduh, 42.
10. Wawancara dengan Sugiarto (anak laki-laki Supardjo).
11.Selagi bergerak di bawah tanah di Jakarta, Sudisman adalah penulis utama otokritik yang diterbitkan atas nama Politbiro pada September 1966. Supardjo mungkin menulis analisisnya sesudah membaca dokumen Politbiro itu. Fic berpendapat bahwa Supardjo
menulis analisisnya pada pertengahan Oktober 1966, tapi sumber Fic, yaitu penuntut umum pada sidang Mahmilub untuk Supardjo, tidak dapat diandalkan untuk informasi ini karena ia tidak mungkin mengetahui sendiri (Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, 330n1).
Fic menyebut dokumen ini sebagai otokritik Supardjo – sepatah kata yang entah mengapa ditulis dalam huruf-huruf kapital tebal di seluruh bukunya. Istilah otokritik tidak pernah muncul di dalam dokumen itu sendiri. Fic tidak mengatakan bahwa istilah itu penamaan dia sendiri untuk dokumen Supardjo tersebut.
12. Transkrip Mahmilub, proses peradilan Supardjo, sidang keempat, 25 Februari 1967, 49, 55. Dalam pledoinya Supardjo lagi-lagi menyangkal dirinya sebagai penulis dokumen termaksud (pleidooi dari tertuduh, 23).
13. Transkrip Mahmilub, proses peradilan Supardjo, sidang kelima, 26 Februari 1967, 2.
14. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September.
15. Transkrip Mahmilub, persidangan Sudisman, kesaksian Sjam, 7 Juli 1967. Bagian yang memuat kesaksian Sjam ini tidak diberi nomor halaman.
16. Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, 48-50.
17. Tidak jelas siapa perwira yang dimaksud Supardjo. Setidaknya memang ada dua perwira yang menarik diri dari rapat perencanaan sesaat sebelum aksi dimulai: Mayor Agus Sigit dan Kapten Wahyudi, keduanya dari garnisun Angkatan Darat Jakarta. Menurut Atmodjo, Sigit
menarik diri karena ia berpendapat rencana itu tidak akan berhasil. Atmodjo bertemu Sigit di penjara pada akhir 1960-an. Walaupun Sigit tidak ikut serta dalam G-30-S, di mata militer kehadirannya pada rapat perencanaan cukup untuk alasan pemenjaraan baginya (wawancara
dengan Heru Atmodjo, 19 Desember 2004). Manai Sophiaan, berdasarkan informasi tangan kedua dan ketiga, menyatakan bahwa beberapa perwira menarik diri dari komplotan karena meragukan keberhasilannya (Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang Berhak, 89).
18. Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang keempat, 25 Februari 1967, 18.
19. Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002.
20. Wawancara dengan Rewang.
21. Transkrip Mahmilub, sidang pengadilan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, 2.
22. Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang Berhak, 171-177; Saelan, Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66, 305-306; G. Kahin, Southeast Asia, 156-57.
23. Walaupun jamak dipercaya di Indonesia bahwa Green ikut campur tangan dalam kup Jenderal Park, kemungkinan ia tidak terlibat. Setelah memeriksa kembali dokumen-dokumen yang sudah dideklasifi kasi, Bruce Cumings percaya bahwa Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat tidak mengetahui sebelumnya tentang kup tersebut (Cumings, Korea’s Place in the Sun, 348).
24. Subekti, mantan sekretaris Politbiro CC-PKI, menulis dalam analisisnya tentang G-30-S pada 1986 bahwa Pono, yang dipenjara bersamanya di Cipinang, Jakarta, menggambarkan Sjam sebagai orang yang menakut-nakuti dan mengancam mereka yang dalam rapat-rapat perencanaan G-30-S tidak sependapaat dengannya. (Subekti, “G-30-S Bukan Buatan PKI,” 11).
25. Kesaksian Sjam, transkrip Mahmilub, peradilan Sudisman, 8 Juli 1967.
26. Wawancara dengan Bungkus. Juga lihat komentarnya dalam Anderson, “World of Sergeant-Major Bungkus,” 24-25.
27. “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 55-56.
28. Kapten Soeradi, perwira bawahan Latief, dalam kesaksiannya di Mahmilub juga mengatakan bahwa jumlah sektor ada enam. Dikatakannya, ia pernah diberi keterangan singkat tentang rencana G-30-S oleh Mayor Soejono pada 23 September. Pada hari berikutnya ia diperkenalkan oleh Soejono dengan para komandan enam sektor itu. Ia yakin mereka semua orang-orang PKI. Pada 25 September ia pergi ke Lubang Buaya untuk merencanakan
pekerjaan sektor-sektor dan mendefi nisikan subsektor-subsektor. (“Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Untung, 82-83). Masalah sektor ini merupakan kasus lain dan saya mengandalkan kesaksian-kesaksian di Mahmilub. Dari bukti yang lebih andal dokumen Supardjo dan wawancara Juwono, yang akan saya uraikan belakangan – jelas
bahwa G-30-S mempunyai sektor-sektor untuk sukarelawan. Karena baik Njono maupun Suradi, pada kesempatan terpisah, menyatakan ada enam sektor, lebih tepat bertumpu pada angka mereka ketimbang pada angka Supardjo.
29 Kesaksian Njono, “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 87-98.
30 Wawancara dengan Juwono. Juwono nama samaran.
31 Seorang loyalis Sukarno, Manai Sophiaan, mengetahui tentang rencana penyelenggaraan dapur umum ini ketika ia berbicara dengan mantan anggota-anggota PKI bertahun-tahun kemudian, lihat Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang berhak, 92.
32 Wieringa, Sexual Politics in Indonesia, 292.
33 Ibid., 294. Emblem itu dimaksud untuk membedakan antara pasukan yang ikut aksidengan yang tidak.
34 Wawancara dengan Oey Hay Djoen, 24 Januari 2002, Jakarta.
35 Kesaksian Peris Pardede, “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 134. Karena informasi yang diberikan Pardede kepada tentara sesudah ia tertangkap,Sudisman menganggapnya sebagai pengkhianat PKI (wawancara dengan Tan Swie Ling).Swie Ling menyembunyikan Sudisman di rumahnya di Jakarta pada 1966.
36 Kesaksian Njono, “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 87-88.
37 Transkrip Mahmilub, sidang Sudisman, 7 Juli 1967. Menurut analisis Supardjo, Sjam tidak secara sepihak memutuskan untuk mundur. Pimpinan G-30-S tidak pernah membuat keputusan setegas itu. Manai Sophiaan menyatakan Sjam mengira massa PKI akan melancarkan demonstrasi begitu G-30-S dimulai (Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang Berhak,81, 89).
38 CIA, Indonesia – 1965, i.
39 Sekretariat Negara, Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia:Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, 121.
40 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, pleidooi dari tertuduh, 6, 11. Seperti saya
kemukakan dalam bab 1, dokumen asli Dekrit no. 1 tidak ada, sehingga tidak mungkin memastikan siapa yang telah menandatanganinya.
41 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, 37.
42 Crouch, Army and Politics in Indonesia, 134. Demokrasi Terpimpin ialah istilah Presiden Sukarno untuk bentuk pemerintahan yang dimulainya pada 1959. Ia membubarkan Konstituante yang sedang menyusun UUD baru; memulihkan konstitusi pertama negara, yang telah ditulis dengan tergesa-gesa pada 1945; menunda pemilihan umum; dan menyusun kembali anggota parlemen.
43 Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra dipenjarakan pada 16 Februari 1966 dengan tuduhan terlibat dalam G-30-S. Ia dibebaskan sesudah hampir satu bulan ditahan dan kemudian dikenai tahanan rumah. Tahun 1969 ia dipenjara lagi dan baru bebas tahun 1981. (Reksosamodra, Memoar, 250-251).
44 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang kedua, 23 Februari 1967, 51.
45 Dalam memoarnya Suharto menyebut ia meninggalkan markas Kostrad tapi tidak menunjuk kapan waktunya. (Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 107).
46 Dani membantah pernyataan Supardjo bahwa ia mendukung pemboman terhadap Kostrad (Katoppo, Menyingkap Kabut Halim 1965, 255). Pada persidangannya Supardjo menyatakan Dani tidak mendukung pemboman (transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang kedua, 23 Februari 1967, 55).'
47 Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002.
48 Ibid.
49 Kementerian Luar Negeri kepada Kedutaan Besar AS di Jakarta, 13 Oktober 1965, dalam Department of State, FRUS 1964-1968, 26:320
50 Kedutaan Besar AS di Indonesia kepada Kementerian Luar Negeri, 4 November 1965,dalam Department of State, FRUS 1964-1968, 26:354.
51 Di depan sidang Mahmilub untuknya Omar Dani bersaksi bahwa Sukarno menolak Suharto sebagai caretaker sementara, karena ia “terlalu koppig” (dalam Crouch, Army and Politics in Indonesia, 128).
52 Tentang pemindahan dini Suharto dari kedudukannya sebagai panglima kodam pada 1959, lihat Crouch, Army and Politics in Indonesia, 40, 124-125.
53 Benjamin, Refl ections, 206.
postingan ini berkategori
ARTIKEL
dengan judul
Dokumen dan Kesaksian Suparjo tentang G 30 S
. Jangan lupa menyertakan URL
http://joyodrono-cahmabung.blogspot.com/2011/09/dokumen-dan-kesaksian-suparjo-tentang-g.html
. Jika ingin memposting ulang . Terima kasih!
Belum ada komentar untuk " Dokumen dan Kesaksian Suparjo tentang G 30 S "
Posting Komentar