Bagi Presiden Sukarno wajah G-30-S pada 1 Oktober ialah wajah BrigadirJenderal Supardjo. Presiden tidak berjumpa dengan lima pimpinan inti G-30-S saat ia berada di Halim. Dari siaran radio pagi hari itu, satu-satunya orang lain yang dengan pasti diketahuinya terlibat ialah Letnan Kolonel Untung. Demikian juga, Sukarno tidak bertemu Aidit dan barangkali tidak pernah diberi tahu bahwa Aidit ada di kawasan pangkalan udara. Mengingat satu-satunya orang dari G-30-S yang dijumpai Presiden Sukarno ialah Supardjo, Presiden kemungkinan pagi itu telah menyimpulkan bahwa G-30-S memang benar seperti yang dinyatakan dalam siaran radio pertama: suatu gerakan murni intern Angkatan Darat yang
dirancang untuk membersihkan perwira sayap kanan, serta untuk mem-
pertahankan dirinya selaku presiden. Dan patut diingat bahwa semula
G-30-S bermaksud membawa serta dua komandan batalyon, Kapten
Sukirno dan Mayor Bambang Supeno, menemui Presiden Sukarno.
Tapi hanya Supardjo yang dibawa kembali dengan helikopter ke Halim.
Ternyata, Supardjo menjadi duta G-30-S.
Sukarno dan Supardjo bertemu untuk pertama kali sekitar pukul
10.00 pagi di kantor komandan pangkalan udara Halim, Kolonel Wisnoe
Djajengminardo. Pada waktu itu Sukarno sudah mengetahui bahwa
Yani diculik. Karena juga telah dilaporkan kepadanya bahwa tembak-
menembak terjadi di rumah Yani dan darah terlihat berceceran di sana,
Sukarno barangkali menduga Yani telah terbunuh. Jadi Presiden menge-
tahui Supardjo mewakili sebuah gerakan yang, mungkin sekali, baru saja
membunuh panglima angkatan bersenjatanya.
Untung menyebut, bahwa Sukarno bertanya kepada Supardjo, “Mengapa
jang memimpin Untung?” Walaupun Untung tidak mengetahui langsung
perundingan itu – apa pun yang diketahuinya berdasarkan apa yang dice-
ritakan Supardjo kepadanya – barangkali Sukarno memang menanyakan
pertanyaan semacam itu. Jawaban Supardjo, sekali lagi menurut Untung,
tidak memberi kejelasan: “Dialah jang kita anggap pantas.”
Cerita orang pertama satu-satunya tentang pembicaraan mereka
pagi itu diberikan Supardjo (dalam persidangannya pada 1967) dan
Laksamana Madya Omar Dani, yang hadir selama pembicaraan mereka
yang pertama. Cerita Supardjo dan Omar Dani sangat singkat dan jelas
tidak memberikan seluk-beluk pembicaraan yang tentunya pelik dan
sangat panjang lebar. Sukarno sendiri tidak pernah menyampaikan
ceritanya.Baca kembali 1-oktober-1965
Pada sidang Mahmilubnya Supardjo memberi kesaksian bahwa
Sukarno tidak terlalu cemas menanggapi berita tentang penculikan
para jenderal. Presiden tidak menuduh G-30-S sebagai jahat, khianat,
atau kontra revolusioner. Supardjo menceritakan, Sukarno tetap tenang
dan mengucapkan dalam bahasa Belanda “Ja zo iets in een revolutie kan
gebeuren (hal semacam ini akan terjadi di dalam suatu revolusi).”
Kendati demikian Sukarno cemas kalau-kalau peristiwa itu menimbulkan
perang saudara yang tidak terkendalikan antara kekuatan sayap kanan dan
sayap kiri di kalangan militer. Ia meminta Supardjo agar menghentikan
G-30-S, sementara ia akan berusaha menemukan pemecahan politis.
Supardjo mengatakan, “Kemudian saja diminta duduk lebih dekat, beliau
bitjara bahwa kalau begini pertempuran nanti bisa meluas. Lantas jang
untung nanti adalah Nekolim, lantas beliau tanja sama saja: mempunjai
kesanggupan tidak untuk memberhentikan gerakan dari G-30-S? Waktu
itu saja katakan: ‘Ja – sanggup.’ Lantas beliau menepuk-nepuk bahu
saja dan mengatakan ‘Awas ja kalau tidak beres engke maneh dipeuntjit,
ja sambil gujon itu. Kalau tidak bisa menjelesaikan, memberhentikan
gerakan G-30-S, kamu nanti saja sembelih.”
Menurut Omar Dani, Sukarno menolak permintaan Supardjo
untuk tampil mendukung G-30-S, lalu beliau meminta agar Supardjo
menghentikan G-30-S. Dalam kata-kata penulis biografi Dani, dinya-
takan sebagai berikut:
Ia [Supardjo] melapor langsung kepada Presiden bahwa
bersama kawan-kawan ia telah mengambil tindakan terhadap
para perwira tinggi Angkatan Darat. Para perwira muda di
lingkungan Angkatan Darat dan para bawahan mengeluh atas
sikap, kelakuan, ketidakpedulian para Jendral terhadap ba-
wahannya. Atas pertanyaan Bung Karno apakah Pardjo punya
bukti, Soepardjo mengiyakan dan sanggup mengambilnya di
MBAD bila ia diperintahkan. Bung Karno memberi perintah
untuk mengambilnya, tetapi sampai menghilangnya pada 2
Oktober 1965, Soepardjo tidak pernah dapat menyerahkan
bukti-bukti itu kepada Bung Karno. Presiden memerintahkan
Brigjen Soepardjo untuk menghentikan gerakannya, guna
menghindari terjadinya pertumpahan darah. Presiden juga
menolak permintaan Brigjen Soepardjo untuk mendukung
G-30-S. Begitu ditolak permintaannya oleh Presiden Sukarno,
Brigjen Soepardjo langsung berpamitan dan pergi keluar dari
Markas Koops. Tampak di wajahnya sedikit kusut, capai,
kurang tidur dan kecewa.
Cerita Omar Dani ini menegaskan pernyataan Supardjo bahwa
Sukarno meminta agar G-30-S dihentikan. Sukarno tidak mendukung
juga tidak menentang G-30-S. Di satu pihak, ia tidak mengeluarkan
pernyataan dukungan terhadapnya (seperti yang telah diperbuat Dani)
atau diam-diam mendorong agar meneruskannya. Di lain pihak, ia tidak
melihat G-30-S sebagai bahaya yang akan mencelakakan dirinya atau
kedudukannya sebagai presiden. Bahwa ia tinggal di Halim, justru tempat
yang diketahuinya dipakai sebagai pusat pimpinan G-30-S, menunjuk-
kan bahwa ia melihat Supardjo dan Untung sebagai perwira-perwira yang
setia kepadanya. Sukarno kelihatan tidak menjadi panik oleh kejadian
pagi itu. Antara pukul 11.30 dan tengah hari, sesudah berbicara dengan
Supardjo di pusat komando pangkalan udara, Sukarno pindah ke sebuah
rumah yang sedikit lebih luas milik Komodor Susanto dan beristirahat
siang beberapa jenak di sana.
Sukarno tidak sekadar berada di Halim, ia juga memanggil para
penasihat utamanya ke sana. Dari tiga wakil perdana menterinya, satu-
satunya yang saat itu berada di Jakarta, Leimena, tiba di Halim pada saat
menjelang siang hari. Begitu juga Panglima Angkatan Laut, Panglima
Angkatan Kepolisian, Komandan Pasukan Kawal Istana, dan Jaksa Agung.
Mereka bersama Sukarno sepanjang sore dan petang hari itu.41 Menteri-
menteri ini menyaksikan sebagian dari pembicaraan yang berlanjut antara
Sukarno dan Supardjo. Belakangan mereka menyampaikan informasi
sekadarnya kepada wartawan dan juga kesaksian singkat ketika mereka
tampil sebagai saksi di sidang pengadilan. Tapi, sejauh yang saya ketahui,
mereka tidak menulis catatan rinci tentang pembicaraan antara kedua
tokoh tersebut.
Supardjo menemui Sukarno untuk kedua kali sesudah ia kembali dari
perundingan dengan para pimpinan inti G-30-S. Seluruhnya Supardjo
berbicara dengan Sukarno dalam empat atau lima kali kesempatan yang
terpisah-pisah sepanjang hari itu. Hanya pembicaraan pertama yang
berlangsung di kantor komandan Halim. Pembicaraan-pembicaraan
yang belakangan berlangsung di rumah Komodor Soesanto. Rumah ini
dipilih untuk Presiden karena merupakan rumah tunjukan yang terbaik di
pangkalan itu.42 Supardjo mondar-mandir antara rumah Sersan Sujatno,
tempat persembunyian Untung, Sjam dan lainnya, dan rumah Soesanto,
tempat Sukarno dan menteri-menterinya berada.43
Topik utama perbincangan antara Sukarno dan Supardjo pada lepas
tengah hari, sekitar pukul 12.00 sampai 13.30, ialah memilih pengganti
sementara untuk Yani sebagai panglima Angkatan Darat. Sukarno jelas
tidak memusuhi G-30-S karena untuk pengangkatan yang sepenting
itu ia meminta nasihat mereka. Dalam analisisnya Supardjo menyata-
kan bahwa pimpinan G-30-S merekomendasikan tiga nama jenderal
Angkatan Darat.44 Gerakan 30 September memberikan dukungan-
nya untuk Mayor Jenderal U. Rukman, panglima antardaerah untuk
Indonesia timur; Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra, asisten pada
staf umum Yani yang biasanya hanya disebut dengan nama pertamanya;
dan Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Panglima Kodam Brawijaya, Jawa
Timur.Keputusan tentang penggantian Yani sepenuhnya ada pada Sukarno.
Gerakan 30 September tidak mendiktekan syarat-syarat kepada Presiden.
Perwira yang akhirnya menjadi pilihan Sukarno ialah Pranoto, anggota
staf Yani yang tidak diculik. Pada pukul 13.30 Sukarno menandatangani
perintah pengangkatan Pranoto sebagai pejabat pimpinan sementara
Angkatan Darat dan mengirim utusan-utusan untuk memanggilnya ke
Halim. Sementara itu G-30-S, demi alasan yang tak diketahui, tidak
menyiarkan perintah Sukarno melalui radio.Baca kembali Pengumuman RRI
siang 1 Oktober 1965.
Dalam percakapan mereka, Supardjo secara tersirat mengakui ke-
wenangan Sukarno sebagai presiden. Ia tidak mengancam Sukarno baik
dengan gangguan secara fi sik maupun berusaha menculiknya, memak-
sanya untuk mendukung G-30-S, atau menekan agar Sukarno mengambil
keputusan-keputusan tertentu. Dipandang dari sudut mana pun Supardjo
memainkan peranan sebagai perwira bawahan. Maka menjadi ganjil jika
kira-kira pada saat yang bersamaan dengan perundingan-perundingan di
Halim ini (tengah hari sampai pukul 14.00), pemancar radio menyiarkan
pengumuman yang secara tidak langsung memberhentikan Sukarno
sebagai presiden. Di Halim orang yang berbicara dengan Sukarno atas
nama G-30-S tetap memperlakukannya sebagai seorang presiden. Tetapi
melalui gelombang-gelombang radio, G-30-S mencanangkan secara
sepihak telah mendemisionerkan kabinet Sukarno.
Sukarno entah mendengar sendiri atau diberi tahu tentang isi
pengumuman G-30-S itu. Ia tidak senang. Dalam sidang kabinet awal
November 1965 ia mengacu pada tuntutan G-30-S ketika menjawab
para mahasiswa demonstran yang diorganisir oleh Angkatan Darat,
yang menuntut agar Sukarno mendemisionerkan kabinetnya: “ben je
sudah memutuskan untuk tidak mendukung G-30-S pada saat dewan
itu diumumkan melalui radio. Tapi mendengar kabinetnya sudah di-
demisionerkan pastilah lebih memperkeras penentangannya terhadap
G-30-S.
Ditulis oleh :
JOHN ROOSA
ARSIP
Hoover Institution Archives, Stanford University, California
Guy Pauker Papers
Howard P. Jones Papers
International Institute of Social History, Amsterdam
Indonesian Exiles of the Left Collection
Suparna Sastra Diredja Papers
dirancang untuk membersihkan perwira sayap kanan, serta untuk mem-
pertahankan dirinya selaku presiden. Dan patut diingat bahwa semula
G-30-S bermaksud membawa serta dua komandan batalyon, Kapten
Sukirno dan Mayor Bambang Supeno, menemui Presiden Sukarno.
Tapi hanya Supardjo yang dibawa kembali dengan helikopter ke Halim.
Ternyata, Supardjo menjadi duta G-30-S.
Sukarno dan Supardjo bertemu untuk pertama kali sekitar pukul
10.00 pagi di kantor komandan pangkalan udara Halim, Kolonel Wisnoe
Djajengminardo. Pada waktu itu Sukarno sudah mengetahui bahwa
Yani diculik. Karena juga telah dilaporkan kepadanya bahwa tembak-
menembak terjadi di rumah Yani dan darah terlihat berceceran di sana,
Sukarno barangkali menduga Yani telah terbunuh. Jadi Presiden menge-
tahui Supardjo mewakili sebuah gerakan yang, mungkin sekali, baru saja
membunuh panglima angkatan bersenjatanya.
Sukarno pasti bingung seorang brigadir jenderal datang bertemu
dengannya atas nama seorang letnan kolonel. Pada persidangannyaUntung menyebut, bahwa Sukarno bertanya kepada Supardjo, “Mengapa
jang memimpin Untung?” Walaupun Untung tidak mengetahui langsung
perundingan itu – apa pun yang diketahuinya berdasarkan apa yang dice-
ritakan Supardjo kepadanya – barangkali Sukarno memang menanyakan
pertanyaan semacam itu. Jawaban Supardjo, sekali lagi menurut Untung,
tidak memberi kejelasan: “Dialah jang kita anggap pantas.”
Cerita orang pertama satu-satunya tentang pembicaraan mereka
pagi itu diberikan Supardjo (dalam persidangannya pada 1967) dan
Laksamana Madya Omar Dani, yang hadir selama pembicaraan mereka
yang pertama. Cerita Supardjo dan Omar Dani sangat singkat dan jelas
tidak memberikan seluk-beluk pembicaraan yang tentunya pelik dan
sangat panjang lebar. Sukarno sendiri tidak pernah menyampaikan
ceritanya.Baca kembali 1-oktober-1965
Pada sidang Mahmilubnya Supardjo memberi kesaksian bahwa
Sukarno tidak terlalu cemas menanggapi berita tentang penculikan
para jenderal. Presiden tidak menuduh G-30-S sebagai jahat, khianat,
atau kontra revolusioner. Supardjo menceritakan, Sukarno tetap tenang
dan mengucapkan dalam bahasa Belanda “Ja zo iets in een revolutie kan
gebeuren (hal semacam ini akan terjadi di dalam suatu revolusi).”
Kendati demikian Sukarno cemas kalau-kalau peristiwa itu menimbulkan
perang saudara yang tidak terkendalikan antara kekuatan sayap kanan dan
sayap kiri di kalangan militer. Ia meminta Supardjo agar menghentikan
G-30-S, sementara ia akan berusaha menemukan pemecahan politis.
Supardjo mengatakan, “Kemudian saja diminta duduk lebih dekat, beliau
bitjara bahwa kalau begini pertempuran nanti bisa meluas. Lantas jang
untung nanti adalah Nekolim, lantas beliau tanja sama saja: mempunjai
kesanggupan tidak untuk memberhentikan gerakan dari G-30-S? Waktu
itu saja katakan: ‘Ja – sanggup.’ Lantas beliau menepuk-nepuk bahu
saja dan mengatakan ‘Awas ja kalau tidak beres engke maneh dipeuntjit,
ja sambil gujon itu. Kalau tidak bisa menjelesaikan, memberhentikan
gerakan G-30-S, kamu nanti saja sembelih.”
Menurut Omar Dani, Sukarno menolak permintaan Supardjo
untuk tampil mendukung G-30-S, lalu beliau meminta agar Supardjo
menghentikan G-30-S. Dalam kata-kata penulis biografi Dani, dinya-
takan sebagai berikut:
Ia [Supardjo] melapor langsung kepada Presiden bahwa
bersama kawan-kawan ia telah mengambil tindakan terhadap
para perwira tinggi Angkatan Darat. Para perwira muda di
lingkungan Angkatan Darat dan para bawahan mengeluh atas
sikap, kelakuan, ketidakpedulian para Jendral terhadap ba-
wahannya. Atas pertanyaan Bung Karno apakah Pardjo punya
bukti, Soepardjo mengiyakan dan sanggup mengambilnya di
MBAD bila ia diperintahkan. Bung Karno memberi perintah
untuk mengambilnya, tetapi sampai menghilangnya pada 2
Oktober 1965, Soepardjo tidak pernah dapat menyerahkan
bukti-bukti itu kepada Bung Karno. Presiden memerintahkan
Brigjen Soepardjo untuk menghentikan gerakannya, guna
menghindari terjadinya pertumpahan darah. Presiden juga
menolak permintaan Brigjen Soepardjo untuk mendukung
G-30-S. Begitu ditolak permintaannya oleh Presiden Sukarno,
Brigjen Soepardjo langsung berpamitan dan pergi keluar dari
Markas Koops. Tampak di wajahnya sedikit kusut, capai,
kurang tidur dan kecewa.
Cerita Omar Dani ini menegaskan pernyataan Supardjo bahwa
Sukarno meminta agar G-30-S dihentikan. Sukarno tidak mendukung
juga tidak menentang G-30-S. Di satu pihak, ia tidak mengeluarkan
pernyataan dukungan terhadapnya (seperti yang telah diperbuat Dani)
atau diam-diam mendorong agar meneruskannya. Di lain pihak, ia tidak
melihat G-30-S sebagai bahaya yang akan mencelakakan dirinya atau
kedudukannya sebagai presiden. Bahwa ia tinggal di Halim, justru tempat
yang diketahuinya dipakai sebagai pusat pimpinan G-30-S, menunjuk-
kan bahwa ia melihat Supardjo dan Untung sebagai perwira-perwira yang
setia kepadanya. Sukarno kelihatan tidak menjadi panik oleh kejadian
pagi itu. Antara pukul 11.30 dan tengah hari, sesudah berbicara dengan
Supardjo di pusat komando pangkalan udara, Sukarno pindah ke sebuah
rumah yang sedikit lebih luas milik Komodor Susanto dan beristirahat
siang beberapa jenak di sana.
Sukarno tidak sekadar berada di Halim, ia juga memanggil para
penasihat utamanya ke sana. Dari tiga wakil perdana menterinya, satu-
satunya yang saat itu berada di Jakarta, Leimena, tiba di Halim pada saat
menjelang siang hari. Begitu juga Panglima Angkatan Laut, Panglima
Angkatan Kepolisian, Komandan Pasukan Kawal Istana, dan Jaksa Agung.
Mereka bersama Sukarno sepanjang sore dan petang hari itu.41 Menteri-
menteri ini menyaksikan sebagian dari pembicaraan yang berlanjut antara
Sukarno dan Supardjo. Belakangan mereka menyampaikan informasi
sekadarnya kepada wartawan dan juga kesaksian singkat ketika mereka
tampil sebagai saksi di sidang pengadilan. Tapi, sejauh yang saya ketahui,
mereka tidak menulis catatan rinci tentang pembicaraan antara kedua
tokoh tersebut.
Supardjo menemui Sukarno untuk kedua kali sesudah ia kembali dari
perundingan dengan para pimpinan inti G-30-S. Seluruhnya Supardjo
berbicara dengan Sukarno dalam empat atau lima kali kesempatan yang
terpisah-pisah sepanjang hari itu. Hanya pembicaraan pertama yang
berlangsung di kantor komandan Halim. Pembicaraan-pembicaraan
yang belakangan berlangsung di rumah Komodor Soesanto. Rumah ini
dipilih untuk Presiden karena merupakan rumah tunjukan yang terbaik di
pangkalan itu.42 Supardjo mondar-mandir antara rumah Sersan Sujatno,
tempat persembunyian Untung, Sjam dan lainnya, dan rumah Soesanto,
tempat Sukarno dan menteri-menterinya berada.43
Topik utama perbincangan antara Sukarno dan Supardjo pada lepas
tengah hari, sekitar pukul 12.00 sampai 13.30, ialah memilih pengganti
sementara untuk Yani sebagai panglima Angkatan Darat. Sukarno jelas
tidak memusuhi G-30-S karena untuk pengangkatan yang sepenting
itu ia meminta nasihat mereka. Dalam analisisnya Supardjo menyata-
kan bahwa pimpinan G-30-S merekomendasikan tiga nama jenderal
Angkatan Darat.44 Gerakan 30 September memberikan dukungan-
nya untuk Mayor Jenderal U. Rukman, panglima antardaerah untuk
Indonesia timur; Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra, asisten pada
staf umum Yani yang biasanya hanya disebut dengan nama pertamanya;
dan Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Panglima Kodam Brawijaya, Jawa
Timur.Keputusan tentang penggantian Yani sepenuhnya ada pada Sukarno.
Gerakan 30 September tidak mendiktekan syarat-syarat kepada Presiden.
Perwira yang akhirnya menjadi pilihan Sukarno ialah Pranoto, anggota
staf Yani yang tidak diculik. Pada pukul 13.30 Sukarno menandatangani
perintah pengangkatan Pranoto sebagai pejabat pimpinan sementara
Angkatan Darat dan mengirim utusan-utusan untuk memanggilnya ke
Halim. Sementara itu G-30-S, demi alasan yang tak diketahui, tidak
menyiarkan perintah Sukarno melalui radio.Baca kembali Pengumuman RRI
siang 1 Oktober 1965.
Dalam percakapan mereka, Supardjo secara tersirat mengakui ke-
wenangan Sukarno sebagai presiden. Ia tidak mengancam Sukarno baik
dengan gangguan secara fi sik maupun berusaha menculiknya, memak-
sanya untuk mendukung G-30-S, atau menekan agar Sukarno mengambil
keputusan-keputusan tertentu. Dipandang dari sudut mana pun Supardjo
memainkan peranan sebagai perwira bawahan. Maka menjadi ganjil jika
kira-kira pada saat yang bersamaan dengan perundingan-perundingan di
Halim ini (tengah hari sampai pukul 14.00), pemancar radio menyiarkan
pengumuman yang secara tidak langsung memberhentikan Sukarno
sebagai presiden. Di Halim orang yang berbicara dengan Sukarno atas
nama G-30-S tetap memperlakukannya sebagai seorang presiden. Tetapi
melalui gelombang-gelombang radio, G-30-S mencanangkan secara
sepihak telah mendemisionerkan kabinet Sukarno.
Sukarno entah mendengar sendiri atau diberi tahu tentang isi
pengumuman G-30-S itu. Ia tidak senang. Dalam sidang kabinet awal
November 1965 ia mengacu pada tuntutan G-30-S ketika menjawab
para mahasiswa demonstran yang diorganisir oleh Angkatan Darat,
yang menuntut agar Sukarno mendemisionerkan kabinetnya: “ben je
bedonderd, dat ik mijn Kabinet ga laten demissioneren. Ya, itu ucapan
saya sesudah diadakannya oleh sesuatu pihak ‘Dewan Revolusi.’ Pada
waktu itu di sini saya berkata dengan tegas: ben je bedonderd.” Sukarno sudah memutuskan untuk tidak mendukung G-30-S pada saat dewan
itu diumumkan melalui radio. Tapi mendengar kabinetnya sudah di-
demisionerkan pastilah lebih memperkeras penentangannya terhadap
G-30-S.
Ditulis oleh :
JOHN ROOSA
ARSIP
Hoover Institution Archives, Stanford University, California
Guy Pauker Papers
Howard P. Jones Papers
International Institute of Social History, Amsterdam
Indonesian Exiles of the Left Collection
Suparna Sastra Diredja Papers
postingan ini berkategori
ARTIKEL
dengan judul
Pertemuan Brigjen soepardjo dengan Soekarno Dalam G30S PKI
. Jangan lupa menyertakan URL
http://joyodrono-cahmabung.blogspot.com/2011/09/pertemuan-brigjen-soepardjo-dengan.html
. Jika ingin memposting ulang . Terima kasih!
Belum ada komentar untuk " Pertemuan Brigjen soepardjo dengan Soekarno Dalam G30S PKI "
Posting Komentar