Siapa tak kenal Cak Diqin? Kalangan anak-anak pun
bahkan banyak yang hapal dengan lagu-lagunya.
Namun mungkin banyak yang tak tahu jika di balik
kesuksesannya sekarang, ia sebenarnya menyimpan
perjalanan hidup yang pahit. Lalu seperti apa kepahitan itu?
Berikut perjalannannya.
Sepenggal Kisah Cak Dikin
CAK Diqin menarik napas dalam-dalam. Beberapa lama tak segera menjawab ketika ditanya tentang kehidupan masa kecilnya. Bahkan ia malah bangkit dari duduk lalu keluar sebentar dari ruang tunggu di studio musiknya yang diberi nama ’’Diqin Studio’’. ’’Tunggu sebentar ya,’’ katanya kemudian.
Sabtu (20/12) pagi itu, studio agak sepi. Pintunya bahkan tertutup rapat. Tengara sedang tidak ada kegiatan. Kalau toh ada kesibukan, itu berada di ruang lain yang letaknya agak berdekatan dengan studio. Di sana, dua karyawan ’’Diqin Studio’’ sedang sibuk mengepaki ratusan lempengan-lempengan compact disc (CD) album campursari yang sudah siap untuk diedarkan.
Sementara di sebelah utara studio, ada bangunan lagi yang lebih besar dan mewah. Itu adalah tempat tinggal Cak Diqin bersama istri keduanya yang penyanyi campursari Wiwit Pujakesuma (istri pertamanya Yanuk tinggal di daerah Donohudan, Boyolali).
Di antara rumah-rumah penduduk di Kampung Sabrang Lor, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta, rumah pelawak dan pencipta lagu campursari itu memang terkesan paling megah dan mewah.
’’Oke saya sudah siap,’’ ujar Cak Diqin ketika masuk kembali ke ruang tunggu studio.
Sepertinya tak mudah memang bagi Muhammad Sodiqin (nama lengkapnya) untuk menceritakan kembali masa kecilnya. Ada semacam rasa getir dan perih yang teramat sangat ketika akan mengingatnya. Hingga tak heran jika ia butuh waktu, meski sekadar keluar untuk menghirup udara segar di sekitar rumahnya.
’’Saya lahir pada 15 April 1964 di Srana, Banyuwangi, Jawa Timur. Nama kecil saya Sujarno,’’ katanya.
Sampai di sini, kembali pelawak yang pernah menjadi PNS itu terdiam sejenak. Tatapannya seperti menerawang jauh. Dari pandangan seperti itulah kisah hidup seorang anak manusia yang terasa begitu memilukan kemudian terungkapkan.
Begitu tetehnya ia menceritakan tentang masa lalunya, sampai seperti memancing bayangan peristiwanya di benak lawan bicaranya.
’’Waktu lahir, saya tidak langsung bisa menikmati kehangatan kasih sayang ibu.
Karena katanya, saya harus langsung dibuang di tempat sampah terlebih dahulu. Sebelum kemudian ditemukan oleh dukun bayinya (Kotijah) lalu dikembalikan lagi kepada orang tua saya,’’ ujar dia.
Itu dia alami karena sebelumnya, dua kakaknya meninggal dalam waktu yang berdekatan. Maka sebagai anak bungsu yang lahir belakangan, bayi Cak Diqin harus melewati ritual adat, yakni di buang di pawuhan (tempat sampah). ’’Katanya, ila-ilane memang harus seperti itu. Agar saya tak mengalami nasib yang sama seperti dua kakak saya,’’ tandasnya.
Hidup Menderita
Ketika hari menjelang siang, ’’Diqin Studio’’ bertambah ramai. Satu dua orang mulai berdatangan. Mereka kebanyakan orang-orang yang selama ini membantu Cak Diqin baik di studio atau di berbagai acara pementasan campursari. Sementara Wiwit Pujakesuma juga sudah ikut bergabung.
Meski tak beberapa lama kemudian ia terus pergi dengan mobil Avanza-nya.
’’Ya, beginilah. Terkadang kami tak selalu harus tampil bersama,’’ ujar Cak Diqin.
Meski boleh dikata sibuk, dia bersyukur sekarang energi yang dikeluarkan setiap hari telah memberikan kehidupan yang layak. Itu sangat berbeda dengan apa yang dia alami ketika kecil.
Ya benar memang, kisah tragis itu memang tak hanya berhenti ketika mengalami pembuangan di tempat sampah. Justru itu baru awalnya.
’’Karena terus memikirkan dua kakak saya yang meninggal, ibu saya kemudian stres dan menjadi gila. Akibatnya, seluruh harta keluarga ludes untuk biaya mencari penyembuhan ibu,’’ tutur anak bungsu dari empat bersaudara pasangan Sarimin dan Murtini tersebut.
Sebagai seorang petani kecil, tentu Sarimin juga tak memiliki harta berlebih. Maka meski sang istri bisa sembuh, dalam kehidupan selanjutnya ia harus rela hidup di rumah bambu yang reyot dan itu pun dengan menyewa bersama anak-anaknya. Sementara untuk kebutuhan sehari-hari juga semakin sulit saja untuk didapatkan.
’’Karena itu, sejak SD hingga SMP (MI Sraya dan SMP 17 Agustus 1945 Sraya) saya sudah harus berjualan kue. Blusukan ke pasar-pasar. Hasilnya ya untuk makan sehari-hari bersama keluarga,’’ jelas Cak Diqin.
Mendengarkan kisah nestapa tersebut, rasanya seperti mengingatkan dengan film-film yang berkisah tentang anak-anak jalanan. Tapi pada Cak Diqin, itu bukan film. Namun peristiwa nyata yang benar-benar ia alami.
Itulah mengapa kemudian ia terasa begitu berat dalam mengungkapkannya. Apalagi hidup masih harus terus berjalan, yang artinya juga berarti masih banyak kepahitan hidup yang lain.
’’Tapi saya berusaha untuk tidak minder, meski saya dari keluarga yang miskin. Di SMA 17 Agustus Sraya, bahkan saya tetap pede (percaya diri-Red) sebagai aktivis berbagai organisasi siswa.’’
Tiba-tiba saja, dari tempaan hidup yang seperti itu, Diqin seperti menemukan daya tahan yang luar biasa. Dia tak nelangsa, tapi justru berusaha bersemangat untuk melawan penderitaan itu. Hingga bahkan tak segan-segan memutuskan merantau ke Papua, demi mengubah nasib.
’’Tahun 1985, saya merantau ke Jayapura. Di sana pernah menjadi penjual nasi kuning keliling toko dan pasar untuk mendapatkan rupiah. Sebelum kemudian keinginan saya menjadi PNS tercapai pada tahun 1986, dan menjadi penilik kebudayaan di Kecamatan Sentani.’’
Tapi menjadi PNS bukan berarti hidupnya menjadi langsung berubah. Sebab perubahan itu baru akan dimulai setelah ia ditugaskan melanjutkan studi ke Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada tahun 1993. Dari sanalah Cak Diqin kemudian memutuskan untuk tak kembali ke Papua dan memilih mengundurkan diri dari PNS. Lantas mengapa ia memilih keputusan yang seperti itu?
’’Ada kalanya manusia memang harus memilih. Kadang bisa saja pilihan itu salah, tapi kadang bisa pula benar,’’ katanya.
Dan sebelum melanjutkan kisahnya, Cak Diqin sempat meminta rehat sebentar untuk mandi. Ketika itu semakin siang studio juga semakin bertambah ramai saja.
By:(Wisnu Kisawa-62)
Untuk yang Suka sama lagu lagunya silahkan Nyruput
bahkan banyak yang hapal dengan lagu-lagunya.
Namun mungkin banyak yang tak tahu jika di balik
kesuksesannya sekarang, ia sebenarnya menyimpan
perjalanan hidup yang pahit. Lalu seperti apa kepahitan itu?
Berikut perjalannannya.
Sepenggal Kisah Cak Dikin
CAK Diqin menarik napas dalam-dalam. Beberapa lama tak segera menjawab ketika ditanya tentang kehidupan masa kecilnya. Bahkan ia malah bangkit dari duduk lalu keluar sebentar dari ruang tunggu di studio musiknya yang diberi nama ’’Diqin Studio’’. ’’Tunggu sebentar ya,’’ katanya kemudian.
Sabtu (20/12) pagi itu, studio agak sepi. Pintunya bahkan tertutup rapat. Tengara sedang tidak ada kegiatan. Kalau toh ada kesibukan, itu berada di ruang lain yang letaknya agak berdekatan dengan studio. Di sana, dua karyawan ’’Diqin Studio’’ sedang sibuk mengepaki ratusan lempengan-lempengan compact disc (CD) album campursari yang sudah siap untuk diedarkan.
Sementara di sebelah utara studio, ada bangunan lagi yang lebih besar dan mewah. Itu adalah tempat tinggal Cak Diqin bersama istri keduanya yang penyanyi campursari Wiwit Pujakesuma (istri pertamanya Yanuk tinggal di daerah Donohudan, Boyolali).
Di antara rumah-rumah penduduk di Kampung Sabrang Lor, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta, rumah pelawak dan pencipta lagu campursari itu memang terkesan paling megah dan mewah.
’’Oke saya sudah siap,’’ ujar Cak Diqin ketika masuk kembali ke ruang tunggu studio.
Sepertinya tak mudah memang bagi Muhammad Sodiqin (nama lengkapnya) untuk menceritakan kembali masa kecilnya. Ada semacam rasa getir dan perih yang teramat sangat ketika akan mengingatnya. Hingga tak heran jika ia butuh waktu, meski sekadar keluar untuk menghirup udara segar di sekitar rumahnya.
’’Saya lahir pada 15 April 1964 di Srana, Banyuwangi, Jawa Timur. Nama kecil saya Sujarno,’’ katanya.
Sampai di sini, kembali pelawak yang pernah menjadi PNS itu terdiam sejenak. Tatapannya seperti menerawang jauh. Dari pandangan seperti itulah kisah hidup seorang anak manusia yang terasa begitu memilukan kemudian terungkapkan.
Begitu tetehnya ia menceritakan tentang masa lalunya, sampai seperti memancing bayangan peristiwanya di benak lawan bicaranya.
’’Waktu lahir, saya tidak langsung bisa menikmati kehangatan kasih sayang ibu.
Karena katanya, saya harus langsung dibuang di tempat sampah terlebih dahulu. Sebelum kemudian ditemukan oleh dukun bayinya (Kotijah) lalu dikembalikan lagi kepada orang tua saya,’’ ujar dia.
Itu dia alami karena sebelumnya, dua kakaknya meninggal dalam waktu yang berdekatan. Maka sebagai anak bungsu yang lahir belakangan, bayi Cak Diqin harus melewati ritual adat, yakni di buang di pawuhan (tempat sampah). ’’Katanya, ila-ilane memang harus seperti itu. Agar saya tak mengalami nasib yang sama seperti dua kakak saya,’’ tandasnya.
Hidup Menderita
Ketika hari menjelang siang, ’’Diqin Studio’’ bertambah ramai. Satu dua orang mulai berdatangan. Mereka kebanyakan orang-orang yang selama ini membantu Cak Diqin baik di studio atau di berbagai acara pementasan campursari. Sementara Wiwit Pujakesuma juga sudah ikut bergabung.
Meski tak beberapa lama kemudian ia terus pergi dengan mobil Avanza-nya.
’’Ya, beginilah. Terkadang kami tak selalu harus tampil bersama,’’ ujar Cak Diqin.
Meski boleh dikata sibuk, dia bersyukur sekarang energi yang dikeluarkan setiap hari telah memberikan kehidupan yang layak. Itu sangat berbeda dengan apa yang dia alami ketika kecil.
Ya benar memang, kisah tragis itu memang tak hanya berhenti ketika mengalami pembuangan di tempat sampah. Justru itu baru awalnya.
’’Karena terus memikirkan dua kakak saya yang meninggal, ibu saya kemudian stres dan menjadi gila. Akibatnya, seluruh harta keluarga ludes untuk biaya mencari penyembuhan ibu,’’ tutur anak bungsu dari empat bersaudara pasangan Sarimin dan Murtini tersebut.
Sebagai seorang petani kecil, tentu Sarimin juga tak memiliki harta berlebih. Maka meski sang istri bisa sembuh, dalam kehidupan selanjutnya ia harus rela hidup di rumah bambu yang reyot dan itu pun dengan menyewa bersama anak-anaknya. Sementara untuk kebutuhan sehari-hari juga semakin sulit saja untuk didapatkan.
’’Karena itu, sejak SD hingga SMP (MI Sraya dan SMP 17 Agustus 1945 Sraya) saya sudah harus berjualan kue. Blusukan ke pasar-pasar. Hasilnya ya untuk makan sehari-hari bersama keluarga,’’ jelas Cak Diqin.
Mendengarkan kisah nestapa tersebut, rasanya seperti mengingatkan dengan film-film yang berkisah tentang anak-anak jalanan. Tapi pada Cak Diqin, itu bukan film. Namun peristiwa nyata yang benar-benar ia alami.
Itulah mengapa kemudian ia terasa begitu berat dalam mengungkapkannya. Apalagi hidup masih harus terus berjalan, yang artinya juga berarti masih banyak kepahitan hidup yang lain.
’’Tapi saya berusaha untuk tidak minder, meski saya dari keluarga yang miskin. Di SMA 17 Agustus Sraya, bahkan saya tetap pede (percaya diri-Red) sebagai aktivis berbagai organisasi siswa.’’
Tiba-tiba saja, dari tempaan hidup yang seperti itu, Diqin seperti menemukan daya tahan yang luar biasa. Dia tak nelangsa, tapi justru berusaha bersemangat untuk melawan penderitaan itu. Hingga bahkan tak segan-segan memutuskan merantau ke Papua, demi mengubah nasib.
’’Tahun 1985, saya merantau ke Jayapura. Di sana pernah menjadi penjual nasi kuning keliling toko dan pasar untuk mendapatkan rupiah. Sebelum kemudian keinginan saya menjadi PNS tercapai pada tahun 1986, dan menjadi penilik kebudayaan di Kecamatan Sentani.’’
Tapi menjadi PNS bukan berarti hidupnya menjadi langsung berubah. Sebab perubahan itu baru akan dimulai setelah ia ditugaskan melanjutkan studi ke Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada tahun 1993. Dari sanalah Cak Diqin kemudian memutuskan untuk tak kembali ke Papua dan memilih mengundurkan diri dari PNS. Lantas mengapa ia memilih keputusan yang seperti itu?
’’Ada kalanya manusia memang harus memilih. Kadang bisa saja pilihan itu salah, tapi kadang bisa pula benar,’’ katanya.
Dan sebelum melanjutkan kisahnya, Cak Diqin sempat meminta rehat sebentar untuk mandi. Ketika itu semakin siang studio juga semakin bertambah ramai saja.
By:(Wisnu Kisawa-62)
Untuk yang Suka sama lagu lagunya silahkan Nyruput
postingan ini berkategori
ARTIKEL
/
CAMPURSARI
/
ETNIK
/
MUSIK
dengan judul
Hidup Cak Dikin dan Lagunya
. Jangan lupa menyertakan URL
http://joyodrono-cahmabung.blogspot.com/2011/09/hidup-cak-dikin-dan-lagunya.html
. Jika ingin memposting ulang . Terima kasih!
Belum ada komentar untuk " Hidup Cak Dikin dan Lagunya "
Posting Komentar