Gerakan 30 September menyatakan keberadaan dirinya untuk
pertama kali melalui siaran RRI pusat pada pagi hari 1 Oktober
1965. Pasukan-pasukan yang setia kepada G-30-S menduduki
stasiun pusat RRI dan memaksa sang penyiar membacakan sebuah
dokumen terketik untuk siaran pagi itu. Mereka yang memasang radio
sekitar pukul 7.15 menangkap pengumuman selama sepuluh menit
yang terdengar seperti warta berita biasa saja. Para penggerak G-30-S
menulis pernyataan mereka tidak dalam gaya bicara orangpertama,tetapi
orang ketiga, seakan-akan seorang wartawan yang menyusun pernyataan tersebut. Siaran itu dua kali menyebutkan “menurut keterangan yang didapat dari Letnan Kolonel Untung, Komandan Gerakan 30September,” sehingga memberi kesan bahwa berita radio itu mengutip dari dokumen lain. Suara mengelabui dari orang ketiga ini memberi suasana berita yang menentramkan. Seakan-akan para penyiar radio masih bertugas seperti biasa dan tidak ada pasukan bersenjata menyerbu
masuk dan menyela siaran yang sedang berlangsung. Dengan demikianpernyataan pertama G-30-S tidak tampak disampaikan oleh gerakan itusendiri, tapi justru oleh bagian berita stasiun RRI. Ini merupakan awaldari serangkaian panjang ketidaksesuaian antara apa yang tampak dan apa yang nyata.
Satu-satunya anggota G-30-S yang namanya diumumkan dalam pernyataan pertama itu ialah Letnan Kolonel Untung. Ia menyatakandiri sebagai komandan batalyon pasukan kawal presiden yang bermaksud mencegah “kup kontra-revolusioner” oleh sebuah kelompok yang dikenal sebagai Dewan Jenderal. Jenderal-jenderal tak bernama ini “bermaksud jahat terhadap Republik Indonesia dan Presiden Sukarno” dan berencana “mengadakan pameran kekuatan (machtsvertoon) pada hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober.” Bertindak menentang para perwira atasan mereka, pasukan-pasukan di dalam G-30-S tampaknya didorong oleh kesetiaan mereka yang lebih tinggi, yaitu kepada Presiden Sukarno, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.
Berita itu menyatakan bahwa G-30-S telah menahan “sejumlah jenderal” dan akan segera mengambil langkah lebih lanjut. Direncanakan akan ada “tindakan-tindakan di seluruh Indonesia yang ditujukan kepada kaki tangan dan simpatisan-simpatisan Dewan Jenderal.” Siapa saja yang akan melaksanakan aksi-aksi itu tidak disebutkan. Suatu badan bernama “Dewan Revolusi Indonesia” akan dibentuk di Jakarta dan akan bertindak sebagai semacam kekuasaan eksekutif. Semua “partai-partai, ormas-ormas, surat kabar-surat kabar dan majalah-majalah” harus “menyatakan kesetiaannya” kepada Dewan Revolusi Indonesia jika mereka ingin mendapat ijin untuk terus bekerja. Dewan-dewan revolusi di tingkat lebih rendah akan dibentuk di setiap jenjang administrasi pemerintahan, mulai dari provinsi sampai ke desa. Pengumuman ini menjanjikan bahwa rincian tentang Dewan Revolusi akan disiarkan melalui surat keputusan berikutnya.
Selain mengambil alih stasiun radio dan memaksa penyiar untuk membacakan pernyataan mereka, pasukan-pasukan G-30-S juga menduduki Lapangan Merdeka, yang terletak di depan stasiun RRI.3 Di sepanjang empat sisi lapangan rumput yang luas ini berdiri pusat-pusat kekuasaan terpenting negara: istana presiden, markas ABRI, kementerian pertahanan, markas Kostrad, dan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Di tengah lapangan berdiri monumen perjuangan kemerdekaan, Monumen
Nasional, setinggi 137 meter. Apabila bentangan kepulauan Indonesia memiliki locus kekuasaan politik, Lapangan Merdeka inilah tempatnya. Sebagian besar dari sekitar seribu prajurit yang berada di lapangan ini berasal dari dua batalyon Angkatan Darat: Batalyon 454 dari Jawa Tengah dan Batalyon 530 dari Jawa Timur. Pasukan-pasukan ini ditempatkan di sisi utara lapangan di depan istana, di sisi barat di depan RRI, dan di sisi selatan dekat gedung telekomunikasi yang juga mereka duduki dan mereka tutup. Jaringan telefon di Jakarta mereka putus.
Dengan mengambil posisi di lapangan pusat ini, satu bagian dari pasukan G-30-S membuat dirinya tertampak. Yang lebih tersembunyi adalah kesatuan lain yang beroperasi dari Lubang Buaya, kawasan kebun karet tak berpenghuni sekitar tujuh mil di selatan Lapangan Merdeka.Pada saat siaran radio yang pertama mengudara pasukan-pasukan ini sudah melaksanakan tugas mereka di balik selubung kegelapan. Mereka berkumpul di Lubang Buaya sepanjang 30 September malam dan mendapat perintah untuk menculik tujuh jenderal yang diduga anggota Dewan Jenderal. Pasukan dibagi menjadi tujuh kelompok, dan setiap kelompok diperintahkan untuk menangkap seorang jenderal dari rumahnya dan membawanya ke Lubang Buaya. Berbagai kelompok ini naik truk sekitar pukul 3.15 pagi buta dan menderum menuju pusat kota yang berjarak waktu tiga puluh sampai empat puluh lima menit. Sebagian besar kelompok menuju daerah Menteng, tempat kediaman banyak pejabat tinggi pemerintah. Sasaran mereka ialah Jenderal A.H. Nasution, Menteri Pertahanan, Letnan Jenderal Achmad Yani, Panglima Angkatan Darat, lima Staf Umum Angkatan Darat: Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, Mayor Jenderal R. Suprapto, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo, dan Brigadir Jenderal Donald Ishak Pandjaitan.
Tabel 1. Staf Umum Angkatan Darat sampai 1 Oktober 1965
Panglima Angkatan Darat :
Letjen Yani
Deputi :
1. Mayjen Mursid
2. Mayjen Suprapto
3. Mayjen Harjono
Oditur Jenderal :
1. Brigjen Soetojo
Asisten
1. Mayjen Parman
2. Mayjen Ginting
3. Mayjen Pranoto
4. Brigjen Pandjaitan
5. Mayjen Sokowati
6. Brigjen Sudjono
7. Brigjen Alamsjah
Pasukan-pasukan bergerak melalui jalan-jalan sunyi dan singgah di rumah-rumah yang sudah terlelap. Enam kelompok berhasil menangkap sasaran mereka dan segera kembali ke Lubang Buaya. Kelompok ketujuh,yang ditugasi menangkap sasaran paling penting, Jenderal Nasution,kembali dengan ajudannya saja. Di tengah kekalutan penggerebekan,pasukan menembak anak perempuan Nasution yang berumur lima tahun dan seorang prajurit kawal yang berada di depan rumah sebelahnya, yaitu rumah Wakil Perdana Menteri II (Waperdam II) Johannes Leimena. Nasution berhasil melompati tembok belakang kediamannya dan bersembunyi di rumah tetangga, yaitu Duta Besar Irak. Walaupun terjadi kegemparan di Menteng akibat bunyi tembak-menembak, tujuh kelompok penculik berhasil dengan cepat kembali ke Lubang Buaya tanpa dikenali atau dikejar. Sampai selambat-lambatnya sekitar pukul 5.30 pagi G-30-S telah menahan enam orang jenderal dan satu orang letnan di suatu sudut terpencil dan kurang dikenal di kota Jakarta
Sementara itu pimpinan G-30-S berkumpul di pangkalan AURI di Halim tepat di sebelah utara Lubang Buaya. Seorang kurir datang memberi tahu mereka bahwa perwira-perwira yang diculik telah tiba. Dengan selesainya operasi penculikan pimpinan G-30-S mengutus tiga perwira mereka – Brigjen M.A. Supardjo, Kapten Sukirno dari Batalyon 454, dan Mayor Bambang Supeno dari Batalyon 530 – ke istana untuk menghadap Presiden Sukarno. Supardjo, komandan pasukan tempur di Kalimantan, di sepanjang perbatasan dengan Malaysia, telah tiba di Jakarta tiga hari sebelumnya (28 September 1965). Sukirno dan Supeno memimpin batalyon-batalyon yang ditempatkan di Lapangan Merdeka. Sekitar pukul 6 pagi trio perwira itu, dengan berkendaraan jip melaju ke arah utara, menuju istana presiden. Bersama mereka ada dua personil lain, seorang perwira AURI, Letnan Kolonel Heru Atmodjo, dan seorang prajurit yang bertugas sebagai pengemudi jip.
Ketika Supardjo dan rekan-rekannya tiba di istana, para pengawal di pintu masuk memberi tahu bahwa Presiden Sukarno tidak ada di istana. Tidak jelas apa kiranya yang akan dilakukan ketiga perwira itu andaikata presiden ada.5 Pada sidang pengadilannya tahun 1967 Supardjo menyatakan ia bermaksud memberi tahu Sukarno tentang G-30-S dan meminta kepadanya agar mengambil tindakan terhadap Dewan Jenderal.6 Barangkali rencana G-30-S adalah membawa jenderal-jenderal yang diculik ke istana dan meminta presiden agar mengesahkan penahanan terhadap mereka, serta memerintahkan pengadilan terhadap mereka atas tindakan makar. Atau G-30-S mungkin hendak membawa Sukarno ke Halim untuk bertemu dengan jenderal-jenderal itu di sana.Dalam pemberitaan pertama mereka, yang disiarkan pada sekitar pukul 7.15 pagi, G-30-S menyatakan bahwa Presiden Sukarno “selamat dalam lindungan Gerakan 30 September.” Agaknya G-30-S berniat memberikanperlindungan terhadap presiden entah di istana atau di Halim.
Sementara Supardjo bersama dua komandan batalyon sedang menunggunya, Sukarno dibawa kembali ke istana dari rumah isteri ketiganya, Dewi, tempat ia bermalam.7 Pejabat komandan pasukan kawal istana, Kolonel H. Maulwi Saelan, melalui radio menghubungi pasukan kawal Sukarno dan meminta agar mereka menjauhi istana karena banyak pasukan tak dikenal yang ditempatkan di depan istana. Saelan mengirim pesan radio dari rumah isteri keempat Sukarno, Harjati, di kawasan Grogol. Sejak pagi ia telah pergi ke rumah Harjati untuk mencari Sukarno. Atas saran Saelan presiden dan para pengawalnya langsung menuju rumah Harjati. Mereka tiba di sana sekitar pukul 7.00 pagi.8 Ketidakmampuan G-30-S menempatkan Sukarno “di bawah perlindungannya” terasa aneh, mengingat bahwa tugas dari orang yang dianggap sebagai komandan G-30-S, Letkol Untung, ialah mengetahui tempat presiden berada. Untung memimpin satu batalyon pengawal istana. Pada 30 September malam ia menjadi bagian dari kelompok keamanan Sukarno ketika ia berbicara di depan Konfernas Ahli Teknik di stadion Senayan Jakarta sampai sekitar pukul 23.00. Bahkan ketika Untung sudah pindah ke Pangkalan Udara Halim sesudah konfernas usai, seharusnya ia dengan mudah selalu dapat melacak keberadaan Sukarno dengan menghubungi perwira-perwira lain dalam pasukan kawal istana. Tugas menjaga istana di waktu malam bergilir di antara empat satuan kawal; masing-masing dari empat angkatan – Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian– mempunyai satu detasemen yang diperbantukan untuk istana. Pada malam itu giliran jatuh pada satuan dari Angkatan Darat, yaitu Untung dan anak buahnya. Mereka seharusnya sudah mengetahui pada sekitar tengah malam bahwa presiden tidak bermalam di istana. Untung, seperti juga Saelan, dari pengalaman tentu sudah mengetahui bahwa presiden sering tidur di rumah para isterinya. Dengan pengetahuan bersama dari sekitar enam puluh orang prajurit pengawal presiden yang ada di dalam G-30-S, bagaimana mungkin Untung tidak dapat melacak keberadaan Sukarno? Ini merupakan keganjilan yang jarang mendapat perhatian: seorang perwira tinggi dalam pasukan kawal presiden, memimpin aksi untuk menyelamatkan presiden, tidak mengetahui lokasi sang presiden, padahal pengetahuan tentangnya merupakan unsur yang sangat penting dalam seluruh rencana.9 Dengan demikian G-30-S bekerja dengan tujuan yang saling berselisih: sekitar pukul 4.00 pagi G-30-S menempatkan pasukan di depan istana yang kosong, membuat Sukarno menjauhi istana, sehingga mengakhiri harapan bahwa misi Supardjo akan berhasil. Supardjo dan dua orang komandan batalyon hilir mudik di pintu masuk istana. Mereka tidak memiliki sarana untuk mengontak pimpinan inti G-30-S di Halim dan memberi tahu mereka tentang tidak adanya Sukarno di istana. Mereka hanya menunggu. Sementara itu perwira AURI yang bersama mereka dalam satu jip dari Halim, Letkol Heru Atmodjo, memutuskan pergi mencari Panglima Angkatan Udara, Laksamana Madya Omar Dani. Letak Markas Besar AURI tidak jauh dari istana. Atmodjo menuju ke sana mengendarai jip dan tampaknya sudah tiba di sana sebelum pukul 7.15 karena ia ingat ia mendengar pengumuman pertama G-30-S melalui radio yang ada di Mabes AURI. Sesama rekan-rekan perwira di mabes menyampaikan kepadanya bahwa Omar Dani berada di pangkalan udara Halim. Kemudian Atmodjo kembali dengan jip menuju Halim, dan menemukan Dani di kantor utama. Atmodjo tiba antara pukul 8.00 dan 8.30, dan ia melaporkan apa yang baru saja disaksikannya: Supardjo pergi ke istana tetapi gagal bertemu presiden.
Tidak lama sebelum Atmodjo bertemu dengannya, Dani menerima telefon dari salah seorang anggota staf Sukarno, Letnan Kolonel Suparto, yang mengatakan Sukarno akan segera meninggalkan rumah Harjati menuju pangkalan AURI Halim.11 Pesawat terbang kepresidenan selalu disiapkan di pangkalan udara sewaktu-waktu presiden perlu segera me- ninggalkan ibu kota. Pada saat-saat serba tak menentu itu Sukarno merasa yang terbaik adalah berada dekat dengan pesawat. Seperti ditegaskan Sukarno dalam pernyataan-pernyataan publiknya di belakang hari, ia pergi ke Halim atas prakarsa sendiri, sebagai prosedur operasi baku dalam keadaan krisis, tanpa berhubungan sama sekali dengan G-30-S sebelumnya. Ketika ia dan para ajudannya memutuskan Halim merupakan tempat yang paling aman, mereka tidak mengetahui bahwa pimpinan G-30-S berkubu di sana.
Ketika Omar Dani mendengar Sukarno akan tiba di Halim, Laksamana Madya itu memerintahkan Atmodjo menggunakan helikop-ter AURI untuk segera menjemput Supardjo dari istana. Dani bermaksud memastikan bahwa wakil pasukan pemberontak ini mempunyai kesem-
patan berbicara dengan presiden. Atmodjo kembali ke Halim dengan membawa Supardjo pada sekitar pukul 9.00 pagi dan mengantarkannya ke kantor utama pangkalan udara. Di sana Supardjo bercakap-cakap dengan Dani, sementara Atmodjo menunggu di luar kantor. Sesudah dua tokoh itu keluar dari kantor, Atmodjo membawa Supardjo dengan mobil
ke kediaman Sersan Anis Sujatno, masih di daerah pangkalan udara, yang digunakan sebagai tempat persembunyian G-30-S. Supardjo mengetahui jalan ke arah rumah itu. Atmodjo menyatakan belum pernah mengetahui letak rumah itu sebelumnya. Dengan mengendarai jip mereka menyusuri jalan berliku-liku area pangkalan udara sampai akhirnya menemukan
rumah tempat para pimpinan inti G-30-S berkumpul. Tidak lamakemudian Atmodjo mengantar Supardjo, dengan kendaraan jip itupula, kembali ke kantor komandan pangkalan udara. Di sinilah akhirnya Supardjo dapat bertemu Sukarno, yang sementara itu telah tiba. Sukarno
tampaknya tiba di Halim antara sekitar pukul 9.00 dan 9.30 pagi.
Pada saat Supardjo bertemu muka dengan Sukarno di kantorkomandan Halim, sekitar pukul 10.00 pagi, keenam jenderal Angkatan Darat yang diculik mungkin sudah dibunuh. Supardjo barangkali sudah mengetahui perihal ini dari pembicaraan yang baru saja dilakukannya
dengan para pimpinan inti G-30-S. Sukarno semestinya sudah curiga bahwa setidak-tidaknya ada beberapa di antara enam jenderal itu yang dibunuh. Berita yang beredar dari mulut ke mulut mengatakan, dua jenderal, Yani dan Pandjaitan, kemungkinan sudah tewas. Tetangga
mereka mendengar bunyi tembak-menembak dan kemudian mendapati darah di lantai rumah mereka. Kemungkinan besar Yani dan Pandjaitan tewas seketika di rumah mereka akibat luka-luka tembak. Jenderal lainnya, Harjono, mungkin juga sudah tewas di rumahnya oleh luka tusukan dalam di perut akibat hunjaman bayonet para penculik. Tiga jenderal lainnya
(Parman, Suprapto, dan Soetojo) dan letnan yang salah ambil dari rumah Nasution (Pierre Tendean) masih hidup ketika diculik, tetapi dibunuh di Lubang Buaya. Sekelompok pasukan G-30-S menembak masing-masing perwira berkali-kali. Untuk menyembunyikan para korban dan
menghilangkan jejak mereka, pasukan melemparkan ketujuh jenazah itu ke dalam sumur sedalam tiga puluh enam kaki dan kemudian menguruk sumur itu dengan bebatuan, tanah, dan dedaunan.14 Siapa tepatnya yang membunuh para perwira itu masih belum diketahui. Penuturan rezim Suharto bahwa ketujuh perwira itu disiksa dan disayat-sayat oleh massa
pendukung PKI yang kegirangan, sementara perempuan-perempuan dari Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) menari-nari telanjang merupakan rekayasa absurd bikinan para ahli perang urat syaraf.Secara keseluruhan, para peserta G-30-S melakukan empat operasi
di Jakarta pada pagi hari itu. Mereka merebut stasiun RRI dan menyiarkan pernyataan pertama mereka; menduduki Lapangan Merdeka, termasuk gedung telekomunikasi; secara terselubung menculik dan membunuh enam orang jenderal dan satu orang letnan; dan mengirim tiga perwira
mereka ke istana presiden, seorang di antara mereka Brigadir Jenderal Supardjo, berhasil menemui presiden di pangkalan AURI Halim.
Pimpinan G-30-S terdiri dari lima orang. Tiga orang perwira militer:
Letkol Untung dari pasukan kawal kepresidenan, Kolonel Abdul Latief
dari garnisun Angkatan Darat Jakarta (Kodam Jaya), dan Mayor Soejono
dari penjaga pangkalan udara Halim. Dua orang sipil yaitu Sjam dan
Pono, dari organisasi klandestin, Biro Chusus, yang dipimpin oleh ketua Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit. Lima orang ini telah berkali-kali bertemu selama beberapa pekan sebelumnya dan mendiskusikan rencana operasi mereka.15Umur mereka berkisar dari akhir tiga puluhan sampai tengah empat puluhan. Untung bertubuh pendek kekar dan berleher gemuk, mem-perlihatkan stereotip seorang prajurit. Ia sempat terkenal sejenak, ketika pada 1962 ia memimpin pasukan gerilya menyerang pasukan Belanda di Papua Barat. Dari operasi itu ia mendapat anugerah bintang, kenaikan pangkat dari mayor menjadi letkol, dan nama baik karena keberaniannya. Rekan komplotannya yang sedikit lebih muda tapi berpangkat lebih
tinggi, Latief, mempunyai karir kemiliteran yang terhormat sejak menjadi pemuda pejuang melawan tentara Belanda di Jawa Tengah. Sesudahlulus kursus-kursus latihan keperwiraan dan membuktikan dirinya dipertempuran, Latief memperoleh kedudukan yang strategis: komandanseluruh brigade pasukan infanteri (dengan sekitar dua ribu anak buah) diibu kota. Ia tampil dengan sikap percaya diri dan wibawa seorang kolonelyang sadar mengenai perlunya penghormatan dari anak buahnya. Dipangkalan udara Halim pada 1 Oktober 1965 Untung dan Latief diterimadi rumah Mayor Soejono, komandan pasukan AURI di pangkalan udaraHalim. Berperawakan kurus berotot dan peka hati, Soejono mengeluarkan perintah-perintah tegas kepada anak buahnya selagi ia mengaturtempat persembunyian, makan, dan jip-jip untuk kendaraan pimpinanG-30-S. Sjam dan Pono, sebagai orang sipil, menjadi sosok-sosok anehdi pangkalan udara itu. Sjam, yang ketika muda dikenal bernama Ka-maruzaman, adalah keturunan pedagang Arab yang bermukim di daerahpantura Jawa. Pono juga berasal dari kawasan pantura Jawa, tapi berkakekmoyang orang Jawa, seperti ditunjukkan oleh nama lengkapnya, SuponoMarsudidjojo. Atmodjo teringat, saat pertama kali bertemu kedua lelakiitu di Halim pada hari naas tersebut, seketika itu juga ia menduga bahwamereka bukan tentara: sosok mereka melentok tak tegap, mereka mengangkat kaki di kursi, dan merokok tak berkeputusan. Mereka kuranglatihan jasmani dan disiplin militer.16 Namun dua lelaki ini memilikipengalaman bertahun-tahun dalam berhubungan dengan personil militersecara rahasia dan menyembunyikan jati diri mereka.
Pada pagi 1 Oktober, sejak sekitar pukul 2.00 lewat tengah malam,lima orang pimpinan gerakan ini duduk bersama di sebuah gedung yangtak jauh dari sudut barat laut Halim. Gedung ini adalah kantor divisipengamat udara AURI, Penas (Pemetaan Nasional). Demi alasan-alasanyang tidak pernah dijelaskan, sekitar pukul 9.00 pagi, kelima tokohtersebut pindah dari tempat persembunyian di gedung Penas ke rumahkecil Sersan Sujatno, yang terletak di kompleks kediaman di Halim.Inilah rumah yang dituju Supardjo sekembalinya dari misi yang gagal,yaitu menemui Presiden Sukarno di istana. Lima tokoh tersebut tinggaldi rumah ini sepanjang siang dan malam 1 Oktober 1965. WalaupunUntung pada siaran RRI pagi itu dikenal sebagai pimpinan G-30-S, iamenghabiskan sepanjang hari itu tanpa menampakkan diri di depa umum, bahkan juga tidak di hadapan pasukannya sendiri. Pada kenyataannya memang para pimpinan G-30-S tidak mempunyai sarana untukberkomunikasi dengan pasukan mereka di Lubang Buaya dan Lapangan Merdeka selain melalui kurir pribadi. Mereka tidak mempunyai peralatan walkie-talkie atau pesawat radio dua arah. Gerakan 30 September sendiri telah memutus jaringan telefon pada saat pasukannya menduduki gedung telekomunikasi. (Namun seandainya jaringan telefon berfungsi pun,rumah sersan yang sederhana di pangkalan udara itu barangkali tidakmemiliki saluran telefon). Supardjo yang ulang-alik dengan jip antaratempat persembunyian dan kantor komandan Halim membuktikanketiadaan peralatan komunikasi di antara para pimpinan G-30-S.
Pimpinan G-30-S sepanjang hari itu berhubungan dengan ketua PKID.N. Aidit, yang juga hadir di pangkalan AURI di Halim. Aidit tinggaldi rumah yang berbeda dalam kompleks perumahan lain di pangkalan.Yang mendampinginya adalah pembantu pribadinya bernama Kusno;salah seorang pimpinan PKI, Iskandar Subekti; dan seorang anggota BiroChusus, Bono (yang juga dikenal dengan nama Walujo).17 Lima pimpinaninti G-30-S ada di satu tempat persembunyian (di rumah Sujatno),sedangkan Aidit dan sekelompok pembantunya di tempat persembunyianyang lain, yang berjarak kira-kira setengah mil (di rumah Sersan Suwandi).Untuk komunikasi antar mereka kedua kelompok memiliki seorang kurirpribadi yang mengendarai jip untuk mondar-mandir di antara keduatempat persembunyian sambil membawa dokumen. Terkadang satu ataudua orang pimpinan inti menuju ke tempat persembunyian Aidit danberbicara langsung dengannya. Atmodjo mengenang bahwa Sjam danSoejono beberapa kali berkonsultasi dengan Aidit.
Lima pimpinan inti G-30-S sepanjang hari 1 Oktober tinggal dirumah Sersan Sujatno yang tidak mencolok. Sebagai kelompok merekatidak menampakkan diri di depan Presiden Sukarno, tokoh yang kononhendak mereka lindungi. Supardjo yang menemui presiden atas nama mereka semua. Tidak diketahui dengan jelas mengapa Aidit dan parapembantunya tinggal di rumah yang lain, dan bukan bergabung denganlima orang dalam kelompok Untung. Mungkin untuk memastikanbahwa seandainya mereka diserang, mereka tidak akan disergap bersama-sama. Atau mungkin juga untuk memastikan bahwa sedikit orang sajayang mengetahui Aidit terlibat dalam kelompok inti perencana gerakan.Atau mungkin juga untuk menjaga, agar kelompok yang satu tidak me-medulikan proses pengambilan keputusan kelompok yang lain. Paraorganisator G-30-S tentu mempunyai alasan tertentu untuk memisahkan kediaman dua kelompok dengan jarak setengah mil, walaupun sulituntuk memahami alasan itu sekarang. Komunikasi antar dua kelompok itu seharusnya lebih mudah dan lebih cepat jika mereka semua tinggal ditempat persembunyian yang sama. Bahkan keputusan mereka mengasingkan diri di tengah kawasan perumahan di Halim itu pun masih tetaptidak dapat dimengerti. Barangkali akan lebih masuk akal jika merekamenduduki sebuah pusat komando militer, di tempat mereka dapatmemanfaatkan hubungan radio untuk mengoordinasikan satuan-satuanpasukan mereka yang berbeda-beda.Walaupun pimpinan G-30-S berpangkalan di Halim, tidak ada bukti bahwa mereka bekerja dengan orang lain dari AURI selain Mayor Soejono. Semua fasilitas yang mereka gunakan di dalam dan sekitar pangkalan Halim – Penas, Lubang Buaya, dua rumah, senjata AURI, dan truk-truk – agaknya disediakan oleh Soejono sendiri. Komandan Halim, Kolonel Wisnoe Djajengminardo, dan Panglima AURI LaksamanaMadya Omar Dani, tampaknya tidak diajak berunding sebelumnya.
Menurut Omar Dani dan Heru Atmodjo mereka jadi terbawa-bawa dalam G-30-S bukan sebagai peserta, melainkan sebagai pengamat dari luar. Penuturan kedua orang ini tentang jalannya kejadian demi kejadian saling bersesuaian. Pada 30 September sore Soejono menceritakan kepada Atmodjo, seorang perwira intelijen AURI khusus urusan pengintaian udara, tentang aksi melawan jenderal-jenderal Angkatan Darat yanganti-Sukarno. Ini merupakan berita bagi Atmodjo, yang selanjutnya melaporkan informasi tersebut kepada Dani pada sekitar pukul 16.00 hari itu. Dani memerintahkannya mencari tahu lebih banyak lagi tentang rencana aksi tersebut dan melaporkan kembali hasil pengamatannya malam itu juga. Sekitar pukul 22.00 Atmodjo kembali ke Markas Besar AURI dan bertemu dengan sekelompok perwira senior Angkatan Udara untuk melaporkan hal-hal apa lagi yang telah didengarnya dari Soejono.19Satu detil penting adalah bahwa Supardjo merupakan peserta aksi. Dani memerintahkan Atmodjo agar mencari Supardjo, yang menjadi bawahannya langsung dalam Komando Mandala Siaga yang lazim dikenal sebagai Kolaga, dalam rangka konfrontasi melawan Malaysia.20 Supardjo sudah
menemui Dani pada 29 September untuk membicarakan soal-soal dalam Kolaga. Boleh jadi ia menceritakan kepada Dani bahwa aksi menentang Dewan Jenderal sedang direncanakan.
Sesuai dengan perintah Dani, Atmodjo mencari Soejono untuk memutuskan bagaimana dia dapat menemukan Supardjo. Soejonomemberi tahu Atmodjo agar pergi ke Kantor Pengamat Udara sekitarpukul 5.00 pagi berikutnya. Sesudah Atmodjo tiba di kantor yangdimaksud dan menjelaskan bahwa kedatangannya atas perintah Dani,Supardjo mengajaknya pergi bersamanya ke istana. Tanpa rencana ataukoordinasi apa pun, Atmodjo kemudian menemani Supardjo sepanjanghari itu.21 Seandainya pun keterlibatan Atmodjo dalam G-30-S lebih jauhketimbang yang diakuinya sekarang, sepak terjangnya pada 1 Oktobertampaknya terbatas pada membantu gerak-gerik Supardjo di sekitar kotaJakarta dan pangkalan udara Halim.
Sementara baik Atmodjo maupun Dani tidak dapat dipandangsebagai bagian dari pimpinan G-30-S, mereka (dan sebagian besar perwirasenior AURI) bersikap simpatik terhadap G-30-S pada 1 Oktober itu.Atmodjo mengenang bahwa ia bersorak gembira ketika mendengarpengumuman radio yang pertama pada pagi hari itu.22 Ia bersama paraperwira rekan-rekannya berpikir bahwa G-30-S merupakan gerakanpembersihan terhadap para perwira sayap kanan Angkatan Darat, yangtelah dan sedang menyabot kebijakan-kebijakan Presiden Sukarno. Danimerancang pernyataan publik, “Perintah Harian,” pada pukul 9.30pagi yang menyambut G-30-S sebagai usaha untuk “mengamankandan menjelamatkan Revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi terhadapsubversi CIA.” Agaknya Dani berpikir bahwa G-30-S itu tidak lebihdari sebuah aksi internal Angkatan Darat, yang sepenuhnya masih setiakepada Sukarno.
Pasukan-pasukan yang digunakan dalam operasi pagi hari itusebagian besar diambil dari satuan-satuan yang dipimpin tiga perwiramiliter dalam pimpinan inti G-30-S: Untung, Latief, dan Soejono. Dalampersonil G-30-S termasuk satu kompi pasukan kawal presiden di bawahpimpinan Untung, dua peleton dari garnisun Angkatan Darat Jakarta dibawah pimpinan Latief, dan satu batalyon pasukan Angkatan Udara dibawah pimpinan Soejono. Selain itu ada sepuluh kompi – masing-masinglima kompi – dari Batalyon 454 dan Batalyon 530. Pasukan-pasukan daridua batalyon ini sudah tiba di Jakarta beberapa hari sebelumnya untukberpartisipasi dalam parade Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.Mereka inilah yang merupakan kelompok utama dari pasukan-pasukanyang menduduki Lapangan Merdeka. Di antara pasukan-pasukan G-30-s juga ada kesatuan-kesatuan kecil dari pasukan para komando di selatan Jakarta dan Polisi Militer.
Di samping berbagai pasukan militer tersebut, sekitar dua ribuanggota PKI atau ormas-ormas yang beraļ¬ liasi dengan PKI juga ikutserta dalam operasi pagi itu. Orang-orang sipil ini sebagian besar adalahanggota Pemuda Rakjat yang telah menerima latihan singkat kemiliterandi pangkalan udara Halim selama beberapa pekan dalam bulan-bulansebelumnya. Adalah Mayor Soejono yang mengatur penyelenggaraanlatihan-latihan ini. Para pemuda sipil ini disebar dalam pasukan-pasukanyang menculik para jenderal dan menduduki gedung-gedung vital disekitar Lapangan Merdeka. Beberapa dipersenjatai, tapi sebagian besar tidak.
Tidak ada angka yang andal tentang jumlah keseluruhan personilmiliter dan sipil yang ikut serta dalam G-30-S. Tabel 2 menggambar-kan sintesis data dari berbagai-bagai sumber. Walaupun angka-angka itumungkin tidak akurat, setidak-tidaknya dapat memberi gambaran kasartentang kekuatan G-30-S.Jumlah tentara yang terlibat dalam G-30-S sangat kecil jika diban-dingkan dengan seluruh jumlah pasukan yang ada di dalam kota. Darisudut kekuatan militer, G-30-S jelas tidak cukup menggentarkan untukdapat mengalangi pasukan lawan menyerangnya. Komando DaerahMiliter Kota Jakarta, yang disebut Kodam Jaya, memiliki sekitar enampuluh ribu prajurit, tiga puluh kali jumlah seluruh personil yang ikutserta dalam G-30-S. Kolonel Latief memimpin satu brigade KodamJaya, yang terdiri dari sekitar dua ribu prajurit, namun hanya dua peletondi antaranya yang ikut serta dalam G-30-S. Besarnya potensi perlawananterhadap G-30-S menjadi lebih besar lagi jika kita perhitungkan puluhanribu tentara tambahan yang ditempatkan di dekat Jakarta. Pasukan khususdari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) berada di selatankota, dan Kodam yang meliputi Jawa Barat ditempatkan di Bandung,sekitar tujuh jam perjalanan mobil jaraknya dari Jakarta. Dibandingkandengan semua pasukan yang ada di dalam dan sekitar kota, kekuatanpasukan G-30-S sungguh kecil belaka.
pertama kali melalui siaran RRI pusat pada pagi hari 1 Oktober
1965. Pasukan-pasukan yang setia kepada G-30-S menduduki
stasiun pusat RRI dan memaksa sang penyiar membacakan sebuah
dokumen terketik untuk siaran pagi itu. Mereka yang memasang radio
sekitar pukul 7.15 menangkap pengumuman selama sepuluh menit
yang terdengar seperti warta berita biasa saja. Para penggerak G-30-S
menulis pernyataan mereka tidak dalam gaya bicara orangpertama,tetapi
orang ketiga, seakan-akan seorang wartawan yang menyusun pernyataan tersebut. Siaran itu dua kali menyebutkan “menurut keterangan yang didapat dari Letnan Kolonel Untung, Komandan Gerakan 30September,” sehingga memberi kesan bahwa berita radio itu mengutip dari dokumen lain. Suara mengelabui dari orang ketiga ini memberi suasana berita yang menentramkan. Seakan-akan para penyiar radio masih bertugas seperti biasa dan tidak ada pasukan bersenjata menyerbu
masuk dan menyela siaran yang sedang berlangsung. Dengan demikianpernyataan pertama G-30-S tidak tampak disampaikan oleh gerakan itusendiri, tapi justru oleh bagian berita stasiun RRI. Ini merupakan awaldari serangkaian panjang ketidaksesuaian antara apa yang tampak dan apa yang nyata.
Satu-satunya anggota G-30-S yang namanya diumumkan dalam pernyataan pertama itu ialah Letnan Kolonel Untung. Ia menyatakandiri sebagai komandan batalyon pasukan kawal presiden yang bermaksud mencegah “kup kontra-revolusioner” oleh sebuah kelompok yang dikenal sebagai Dewan Jenderal. Jenderal-jenderal tak bernama ini “bermaksud jahat terhadap Republik Indonesia dan Presiden Sukarno” dan berencana “mengadakan pameran kekuatan (machtsvertoon) pada hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober.” Bertindak menentang para perwira atasan mereka, pasukan-pasukan di dalam G-30-S tampaknya didorong oleh kesetiaan mereka yang lebih tinggi, yaitu kepada Presiden Sukarno, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.
Berita itu menyatakan bahwa G-30-S telah menahan “sejumlah jenderal” dan akan segera mengambil langkah lebih lanjut. Direncanakan akan ada “tindakan-tindakan di seluruh Indonesia yang ditujukan kepada kaki tangan dan simpatisan-simpatisan Dewan Jenderal.” Siapa saja yang akan melaksanakan aksi-aksi itu tidak disebutkan. Suatu badan bernama “Dewan Revolusi Indonesia” akan dibentuk di Jakarta dan akan bertindak sebagai semacam kekuasaan eksekutif. Semua “partai-partai, ormas-ormas, surat kabar-surat kabar dan majalah-majalah” harus “menyatakan kesetiaannya” kepada Dewan Revolusi Indonesia jika mereka ingin mendapat ijin untuk terus bekerja. Dewan-dewan revolusi di tingkat lebih rendah akan dibentuk di setiap jenjang administrasi pemerintahan, mulai dari provinsi sampai ke desa. Pengumuman ini menjanjikan bahwa rincian tentang Dewan Revolusi akan disiarkan melalui surat keputusan berikutnya.
Selain mengambil alih stasiun radio dan memaksa penyiar untuk membacakan pernyataan mereka, pasukan-pasukan G-30-S juga menduduki Lapangan Merdeka, yang terletak di depan stasiun RRI.3 Di sepanjang empat sisi lapangan rumput yang luas ini berdiri pusat-pusat kekuasaan terpenting negara: istana presiden, markas ABRI, kementerian pertahanan, markas Kostrad, dan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Di tengah lapangan berdiri monumen perjuangan kemerdekaan, Monumen
Nasional, setinggi 137 meter. Apabila bentangan kepulauan Indonesia memiliki locus kekuasaan politik, Lapangan Merdeka inilah tempatnya. Sebagian besar dari sekitar seribu prajurit yang berada di lapangan ini berasal dari dua batalyon Angkatan Darat: Batalyon 454 dari Jawa Tengah dan Batalyon 530 dari Jawa Timur. Pasukan-pasukan ini ditempatkan di sisi utara lapangan di depan istana, di sisi barat di depan RRI, dan di sisi selatan dekat gedung telekomunikasi yang juga mereka duduki dan mereka tutup. Jaringan telefon di Jakarta mereka putus.
Dengan mengambil posisi di lapangan pusat ini, satu bagian dari pasukan G-30-S membuat dirinya tertampak. Yang lebih tersembunyi adalah kesatuan lain yang beroperasi dari Lubang Buaya, kawasan kebun karet tak berpenghuni sekitar tujuh mil di selatan Lapangan Merdeka.Pada saat siaran radio yang pertama mengudara pasukan-pasukan ini sudah melaksanakan tugas mereka di balik selubung kegelapan. Mereka berkumpul di Lubang Buaya sepanjang 30 September malam dan mendapat perintah untuk menculik tujuh jenderal yang diduga anggota Dewan Jenderal. Pasukan dibagi menjadi tujuh kelompok, dan setiap kelompok diperintahkan untuk menangkap seorang jenderal dari rumahnya dan membawanya ke Lubang Buaya. Berbagai kelompok ini naik truk sekitar pukul 3.15 pagi buta dan menderum menuju pusat kota yang berjarak waktu tiga puluh sampai empat puluh lima menit. Sebagian besar kelompok menuju daerah Menteng, tempat kediaman banyak pejabat tinggi pemerintah. Sasaran mereka ialah Jenderal A.H. Nasution, Menteri Pertahanan, Letnan Jenderal Achmad Yani, Panglima Angkatan Darat, lima Staf Umum Angkatan Darat: Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, Mayor Jenderal R. Suprapto, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo, dan Brigadir Jenderal Donald Ishak Pandjaitan.
Tabel 1. Staf Umum Angkatan Darat sampai 1 Oktober 1965
Panglima Angkatan Darat :
Letjen Yani
Deputi :
1. Mayjen Mursid
2. Mayjen Suprapto
3. Mayjen Harjono
Oditur Jenderal :
1. Brigjen Soetojo
Asisten
1. Mayjen Parman
2. Mayjen Ginting
3. Mayjen Pranoto
4. Brigjen Pandjaitan
5. Mayjen Sokowati
6. Brigjen Sudjono
7. Brigjen Alamsjah
Pasukan-pasukan bergerak melalui jalan-jalan sunyi dan singgah di rumah-rumah yang sudah terlelap. Enam kelompok berhasil menangkap sasaran mereka dan segera kembali ke Lubang Buaya. Kelompok ketujuh,yang ditugasi menangkap sasaran paling penting, Jenderal Nasution,kembali dengan ajudannya saja. Di tengah kekalutan penggerebekan,pasukan menembak anak perempuan Nasution yang berumur lima tahun dan seorang prajurit kawal yang berada di depan rumah sebelahnya, yaitu rumah Wakil Perdana Menteri II (Waperdam II) Johannes Leimena. Nasution berhasil melompati tembok belakang kediamannya dan bersembunyi di rumah tetangga, yaitu Duta Besar Irak. Walaupun terjadi kegemparan di Menteng akibat bunyi tembak-menembak, tujuh kelompok penculik berhasil dengan cepat kembali ke Lubang Buaya tanpa dikenali atau dikejar. Sampai selambat-lambatnya sekitar pukul 5.30 pagi G-30-S telah menahan enam orang jenderal dan satu orang letnan di suatu sudut terpencil dan kurang dikenal di kota Jakarta
Sementara itu pimpinan G-30-S berkumpul di pangkalan AURI di Halim tepat di sebelah utara Lubang Buaya. Seorang kurir datang memberi tahu mereka bahwa perwira-perwira yang diculik telah tiba. Dengan selesainya operasi penculikan pimpinan G-30-S mengutus tiga perwira mereka – Brigjen M.A. Supardjo, Kapten Sukirno dari Batalyon 454, dan Mayor Bambang Supeno dari Batalyon 530 – ke istana untuk menghadap Presiden Sukarno. Supardjo, komandan pasukan tempur di Kalimantan, di sepanjang perbatasan dengan Malaysia, telah tiba di Jakarta tiga hari sebelumnya (28 September 1965). Sukirno dan Supeno memimpin batalyon-batalyon yang ditempatkan di Lapangan Merdeka. Sekitar pukul 6 pagi trio perwira itu, dengan berkendaraan jip melaju ke arah utara, menuju istana presiden. Bersama mereka ada dua personil lain, seorang perwira AURI, Letnan Kolonel Heru Atmodjo, dan seorang prajurit yang bertugas sebagai pengemudi jip.
Ketika Supardjo dan rekan-rekannya tiba di istana, para pengawal di pintu masuk memberi tahu bahwa Presiden Sukarno tidak ada di istana. Tidak jelas apa kiranya yang akan dilakukan ketiga perwira itu andaikata presiden ada.5 Pada sidang pengadilannya tahun 1967 Supardjo menyatakan ia bermaksud memberi tahu Sukarno tentang G-30-S dan meminta kepadanya agar mengambil tindakan terhadap Dewan Jenderal.6 Barangkali rencana G-30-S adalah membawa jenderal-jenderal yang diculik ke istana dan meminta presiden agar mengesahkan penahanan terhadap mereka, serta memerintahkan pengadilan terhadap mereka atas tindakan makar. Atau G-30-S mungkin hendak membawa Sukarno ke Halim untuk bertemu dengan jenderal-jenderal itu di sana.Dalam pemberitaan pertama mereka, yang disiarkan pada sekitar pukul 7.15 pagi, G-30-S menyatakan bahwa Presiden Sukarno “selamat dalam lindungan Gerakan 30 September.” Agaknya G-30-S berniat memberikanperlindungan terhadap presiden entah di istana atau di Halim.
Sementara Supardjo bersama dua komandan batalyon sedang menunggunya, Sukarno dibawa kembali ke istana dari rumah isteri ketiganya, Dewi, tempat ia bermalam.7 Pejabat komandan pasukan kawal istana, Kolonel H. Maulwi Saelan, melalui radio menghubungi pasukan kawal Sukarno dan meminta agar mereka menjauhi istana karena banyak pasukan tak dikenal yang ditempatkan di depan istana. Saelan mengirim pesan radio dari rumah isteri keempat Sukarno, Harjati, di kawasan Grogol. Sejak pagi ia telah pergi ke rumah Harjati untuk mencari Sukarno. Atas saran Saelan presiden dan para pengawalnya langsung menuju rumah Harjati. Mereka tiba di sana sekitar pukul 7.00 pagi.8 Ketidakmampuan G-30-S menempatkan Sukarno “di bawah perlindungannya” terasa aneh, mengingat bahwa tugas dari orang yang dianggap sebagai komandan G-30-S, Letkol Untung, ialah mengetahui tempat presiden berada. Untung memimpin satu batalyon pengawal istana. Pada 30 September malam ia menjadi bagian dari kelompok keamanan Sukarno ketika ia berbicara di depan Konfernas Ahli Teknik di stadion Senayan Jakarta sampai sekitar pukul 23.00. Bahkan ketika Untung sudah pindah ke Pangkalan Udara Halim sesudah konfernas usai, seharusnya ia dengan mudah selalu dapat melacak keberadaan Sukarno dengan menghubungi perwira-perwira lain dalam pasukan kawal istana. Tugas menjaga istana di waktu malam bergilir di antara empat satuan kawal; masing-masing dari empat angkatan – Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian– mempunyai satu detasemen yang diperbantukan untuk istana. Pada malam itu giliran jatuh pada satuan dari Angkatan Darat, yaitu Untung dan anak buahnya. Mereka seharusnya sudah mengetahui pada sekitar tengah malam bahwa presiden tidak bermalam di istana. Untung, seperti juga Saelan, dari pengalaman tentu sudah mengetahui bahwa presiden sering tidur di rumah para isterinya. Dengan pengetahuan bersama dari sekitar enam puluh orang prajurit pengawal presiden yang ada di dalam G-30-S, bagaimana mungkin Untung tidak dapat melacak keberadaan Sukarno? Ini merupakan keganjilan yang jarang mendapat perhatian: seorang perwira tinggi dalam pasukan kawal presiden, memimpin aksi untuk menyelamatkan presiden, tidak mengetahui lokasi sang presiden, padahal pengetahuan tentangnya merupakan unsur yang sangat penting dalam seluruh rencana.9 Dengan demikian G-30-S bekerja dengan tujuan yang saling berselisih: sekitar pukul 4.00 pagi G-30-S menempatkan pasukan di depan istana yang kosong, membuat Sukarno menjauhi istana, sehingga mengakhiri harapan bahwa misi Supardjo akan berhasil. Supardjo dan dua orang komandan batalyon hilir mudik di pintu masuk istana. Mereka tidak memiliki sarana untuk mengontak pimpinan inti G-30-S di Halim dan memberi tahu mereka tentang tidak adanya Sukarno di istana. Mereka hanya menunggu. Sementara itu perwira AURI yang bersama mereka dalam satu jip dari Halim, Letkol Heru Atmodjo, memutuskan pergi mencari Panglima Angkatan Udara, Laksamana Madya Omar Dani. Letak Markas Besar AURI tidak jauh dari istana. Atmodjo menuju ke sana mengendarai jip dan tampaknya sudah tiba di sana sebelum pukul 7.15 karena ia ingat ia mendengar pengumuman pertama G-30-S melalui radio yang ada di Mabes AURI. Sesama rekan-rekan perwira di mabes menyampaikan kepadanya bahwa Omar Dani berada di pangkalan udara Halim. Kemudian Atmodjo kembali dengan jip menuju Halim, dan menemukan Dani di kantor utama. Atmodjo tiba antara pukul 8.00 dan 8.30, dan ia melaporkan apa yang baru saja disaksikannya: Supardjo pergi ke istana tetapi gagal bertemu presiden.
Tidak lama sebelum Atmodjo bertemu dengannya, Dani menerima telefon dari salah seorang anggota staf Sukarno, Letnan Kolonel Suparto, yang mengatakan Sukarno akan segera meninggalkan rumah Harjati menuju pangkalan AURI Halim.11 Pesawat terbang kepresidenan selalu disiapkan di pangkalan udara sewaktu-waktu presiden perlu segera me- ninggalkan ibu kota. Pada saat-saat serba tak menentu itu Sukarno merasa yang terbaik adalah berada dekat dengan pesawat. Seperti ditegaskan Sukarno dalam pernyataan-pernyataan publiknya di belakang hari, ia pergi ke Halim atas prakarsa sendiri, sebagai prosedur operasi baku dalam keadaan krisis, tanpa berhubungan sama sekali dengan G-30-S sebelumnya. Ketika ia dan para ajudannya memutuskan Halim merupakan tempat yang paling aman, mereka tidak mengetahui bahwa pimpinan G-30-S berkubu di sana.
Ketika Omar Dani mendengar Sukarno akan tiba di Halim, Laksamana Madya itu memerintahkan Atmodjo menggunakan helikop-ter AURI untuk segera menjemput Supardjo dari istana. Dani bermaksud memastikan bahwa wakil pasukan pemberontak ini mempunyai kesem-
patan berbicara dengan presiden. Atmodjo kembali ke Halim dengan membawa Supardjo pada sekitar pukul 9.00 pagi dan mengantarkannya ke kantor utama pangkalan udara. Di sana Supardjo bercakap-cakap dengan Dani, sementara Atmodjo menunggu di luar kantor. Sesudah dua tokoh itu keluar dari kantor, Atmodjo membawa Supardjo dengan mobil
ke kediaman Sersan Anis Sujatno, masih di daerah pangkalan udara, yang digunakan sebagai tempat persembunyian G-30-S. Supardjo mengetahui jalan ke arah rumah itu. Atmodjo menyatakan belum pernah mengetahui letak rumah itu sebelumnya. Dengan mengendarai jip mereka menyusuri jalan berliku-liku area pangkalan udara sampai akhirnya menemukan
rumah tempat para pimpinan inti G-30-S berkumpul. Tidak lamakemudian Atmodjo mengantar Supardjo, dengan kendaraan jip itupula, kembali ke kantor komandan pangkalan udara. Di sinilah akhirnya Supardjo dapat bertemu Sukarno, yang sementara itu telah tiba. Sukarno
tampaknya tiba di Halim antara sekitar pukul 9.00 dan 9.30 pagi.
Pada saat Supardjo bertemu muka dengan Sukarno di kantorkomandan Halim, sekitar pukul 10.00 pagi, keenam jenderal Angkatan Darat yang diculik mungkin sudah dibunuh. Supardjo barangkali sudah mengetahui perihal ini dari pembicaraan yang baru saja dilakukannya
dengan para pimpinan inti G-30-S. Sukarno semestinya sudah curiga bahwa setidak-tidaknya ada beberapa di antara enam jenderal itu yang dibunuh. Berita yang beredar dari mulut ke mulut mengatakan, dua jenderal, Yani dan Pandjaitan, kemungkinan sudah tewas. Tetangga
mereka mendengar bunyi tembak-menembak dan kemudian mendapati darah di lantai rumah mereka. Kemungkinan besar Yani dan Pandjaitan tewas seketika di rumah mereka akibat luka-luka tembak. Jenderal lainnya, Harjono, mungkin juga sudah tewas di rumahnya oleh luka tusukan dalam di perut akibat hunjaman bayonet para penculik. Tiga jenderal lainnya
(Parman, Suprapto, dan Soetojo) dan letnan yang salah ambil dari rumah Nasution (Pierre Tendean) masih hidup ketika diculik, tetapi dibunuh di Lubang Buaya. Sekelompok pasukan G-30-S menembak masing-masing perwira berkali-kali. Untuk menyembunyikan para korban dan
menghilangkan jejak mereka, pasukan melemparkan ketujuh jenazah itu ke dalam sumur sedalam tiga puluh enam kaki dan kemudian menguruk sumur itu dengan bebatuan, tanah, dan dedaunan.14 Siapa tepatnya yang membunuh para perwira itu masih belum diketahui. Penuturan rezim Suharto bahwa ketujuh perwira itu disiksa dan disayat-sayat oleh massa
pendukung PKI yang kegirangan, sementara perempuan-perempuan dari Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) menari-nari telanjang merupakan rekayasa absurd bikinan para ahli perang urat syaraf.Secara keseluruhan, para peserta G-30-S melakukan empat operasi
di Jakarta pada pagi hari itu. Mereka merebut stasiun RRI dan menyiarkan pernyataan pertama mereka; menduduki Lapangan Merdeka, termasuk gedung telekomunikasi; secara terselubung menculik dan membunuh enam orang jenderal dan satu orang letnan; dan mengirim tiga perwira
mereka ke istana presiden, seorang di antara mereka Brigadir Jenderal Supardjo, berhasil menemui presiden di pangkalan AURI Halim.
KOMPOSISI PASUKAN
Pimpinan G-30-S terdiri dari lima orang. Tiga orang perwira militer:
Letkol Untung dari pasukan kawal kepresidenan, Kolonel Abdul Latief
dari garnisun Angkatan Darat Jakarta (Kodam Jaya), dan Mayor Soejono
dari penjaga pangkalan udara Halim. Dua orang sipil yaitu Sjam dan
Pono, dari organisasi klandestin, Biro Chusus, yang dipimpin oleh ketua Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit. Lima orang ini telah berkali-kali bertemu selama beberapa pekan sebelumnya dan mendiskusikan rencana operasi mereka.15Umur mereka berkisar dari akhir tiga puluhan sampai tengah empat puluhan. Untung bertubuh pendek kekar dan berleher gemuk, mem-perlihatkan stereotip seorang prajurit. Ia sempat terkenal sejenak, ketika pada 1962 ia memimpin pasukan gerilya menyerang pasukan Belanda di Papua Barat. Dari operasi itu ia mendapat anugerah bintang, kenaikan pangkat dari mayor menjadi letkol, dan nama baik karena keberaniannya. Rekan komplotannya yang sedikit lebih muda tapi berpangkat lebih
tinggi, Latief, mempunyai karir kemiliteran yang terhormat sejak menjadi pemuda pejuang melawan tentara Belanda di Jawa Tengah. Sesudahlulus kursus-kursus latihan keperwiraan dan membuktikan dirinya dipertempuran, Latief memperoleh kedudukan yang strategis: komandanseluruh brigade pasukan infanteri (dengan sekitar dua ribu anak buah) diibu kota. Ia tampil dengan sikap percaya diri dan wibawa seorang kolonelyang sadar mengenai perlunya penghormatan dari anak buahnya. Dipangkalan udara Halim pada 1 Oktober 1965 Untung dan Latief diterimadi rumah Mayor Soejono, komandan pasukan AURI di pangkalan udaraHalim. Berperawakan kurus berotot dan peka hati, Soejono mengeluarkan perintah-perintah tegas kepada anak buahnya selagi ia mengaturtempat persembunyian, makan, dan jip-jip untuk kendaraan pimpinanG-30-S. Sjam dan Pono, sebagai orang sipil, menjadi sosok-sosok anehdi pangkalan udara itu. Sjam, yang ketika muda dikenal bernama Ka-maruzaman, adalah keturunan pedagang Arab yang bermukim di daerahpantura Jawa. Pono juga berasal dari kawasan pantura Jawa, tapi berkakekmoyang orang Jawa, seperti ditunjukkan oleh nama lengkapnya, SuponoMarsudidjojo. Atmodjo teringat, saat pertama kali bertemu kedua lelakiitu di Halim pada hari naas tersebut, seketika itu juga ia menduga bahwamereka bukan tentara: sosok mereka melentok tak tegap, mereka mengangkat kaki di kursi, dan merokok tak berkeputusan. Mereka kuranglatihan jasmani dan disiplin militer.16 Namun dua lelaki ini memilikipengalaman bertahun-tahun dalam berhubungan dengan personil militersecara rahasia dan menyembunyikan jati diri mereka.
Pada pagi 1 Oktober, sejak sekitar pukul 2.00 lewat tengah malam,lima orang pimpinan gerakan ini duduk bersama di sebuah gedung yangtak jauh dari sudut barat laut Halim. Gedung ini adalah kantor divisipengamat udara AURI, Penas (Pemetaan Nasional). Demi alasan-alasanyang tidak pernah dijelaskan, sekitar pukul 9.00 pagi, kelima tokohtersebut pindah dari tempat persembunyian di gedung Penas ke rumahkecil Sersan Sujatno, yang terletak di kompleks kediaman di Halim.Inilah rumah yang dituju Supardjo sekembalinya dari misi yang gagal,yaitu menemui Presiden Sukarno di istana. Lima tokoh tersebut tinggaldi rumah ini sepanjang siang dan malam 1 Oktober 1965. WalaupunUntung pada siaran RRI pagi itu dikenal sebagai pimpinan G-30-S, iamenghabiskan sepanjang hari itu tanpa menampakkan diri di depa umum, bahkan juga tidak di hadapan pasukannya sendiri. Pada kenyataannya memang para pimpinan G-30-S tidak mempunyai sarana untukberkomunikasi dengan pasukan mereka di Lubang Buaya dan Lapangan Merdeka selain melalui kurir pribadi. Mereka tidak mempunyai peralatan walkie-talkie atau pesawat radio dua arah. Gerakan 30 September sendiri telah memutus jaringan telefon pada saat pasukannya menduduki gedung telekomunikasi. (Namun seandainya jaringan telefon berfungsi pun,rumah sersan yang sederhana di pangkalan udara itu barangkali tidakmemiliki saluran telefon). Supardjo yang ulang-alik dengan jip antaratempat persembunyian dan kantor komandan Halim membuktikanketiadaan peralatan komunikasi di antara para pimpinan G-30-S.
Pimpinan G-30-S sepanjang hari itu berhubungan dengan ketua PKID.N. Aidit, yang juga hadir di pangkalan AURI di Halim. Aidit tinggaldi rumah yang berbeda dalam kompleks perumahan lain di pangkalan.Yang mendampinginya adalah pembantu pribadinya bernama Kusno;salah seorang pimpinan PKI, Iskandar Subekti; dan seorang anggota BiroChusus, Bono (yang juga dikenal dengan nama Walujo).17 Lima pimpinaninti G-30-S ada di satu tempat persembunyian (di rumah Sujatno),sedangkan Aidit dan sekelompok pembantunya di tempat persembunyianyang lain, yang berjarak kira-kira setengah mil (di rumah Sersan Suwandi).Untuk komunikasi antar mereka kedua kelompok memiliki seorang kurirpribadi yang mengendarai jip untuk mondar-mandir di antara keduatempat persembunyian sambil membawa dokumen. Terkadang satu ataudua orang pimpinan inti menuju ke tempat persembunyian Aidit danberbicara langsung dengannya. Atmodjo mengenang bahwa Sjam danSoejono beberapa kali berkonsultasi dengan Aidit.
Lima pimpinan inti G-30-S sepanjang hari 1 Oktober tinggal dirumah Sersan Sujatno yang tidak mencolok. Sebagai kelompok merekatidak menampakkan diri di depan Presiden Sukarno, tokoh yang kononhendak mereka lindungi. Supardjo yang menemui presiden atas nama mereka semua. Tidak diketahui dengan jelas mengapa Aidit dan parapembantunya tinggal di rumah yang lain, dan bukan bergabung denganlima orang dalam kelompok Untung. Mungkin untuk memastikanbahwa seandainya mereka diserang, mereka tidak akan disergap bersama-sama. Atau mungkin juga untuk memastikan bahwa sedikit orang sajayang mengetahui Aidit terlibat dalam kelompok inti perencana gerakan.Atau mungkin juga untuk menjaga, agar kelompok yang satu tidak me-medulikan proses pengambilan keputusan kelompok yang lain. Paraorganisator G-30-S tentu mempunyai alasan tertentu untuk memisahkan kediaman dua kelompok dengan jarak setengah mil, walaupun sulituntuk memahami alasan itu sekarang. Komunikasi antar dua kelompok itu seharusnya lebih mudah dan lebih cepat jika mereka semua tinggal ditempat persembunyian yang sama. Bahkan keputusan mereka mengasingkan diri di tengah kawasan perumahan di Halim itu pun masih tetaptidak dapat dimengerti. Barangkali akan lebih masuk akal jika merekamenduduki sebuah pusat komando militer, di tempat mereka dapatmemanfaatkan hubungan radio untuk mengoordinasikan satuan-satuanpasukan mereka yang berbeda-beda.Walaupun pimpinan G-30-S berpangkalan di Halim, tidak ada bukti bahwa mereka bekerja dengan orang lain dari AURI selain Mayor Soejono. Semua fasilitas yang mereka gunakan di dalam dan sekitar pangkalan Halim – Penas, Lubang Buaya, dua rumah, senjata AURI, dan truk-truk – agaknya disediakan oleh Soejono sendiri. Komandan Halim, Kolonel Wisnoe Djajengminardo, dan Panglima AURI LaksamanaMadya Omar Dani, tampaknya tidak diajak berunding sebelumnya.
Menurut Omar Dani dan Heru Atmodjo mereka jadi terbawa-bawa dalam G-30-S bukan sebagai peserta, melainkan sebagai pengamat dari luar. Penuturan kedua orang ini tentang jalannya kejadian demi kejadian saling bersesuaian. Pada 30 September sore Soejono menceritakan kepada Atmodjo, seorang perwira intelijen AURI khusus urusan pengintaian udara, tentang aksi melawan jenderal-jenderal Angkatan Darat yanganti-Sukarno. Ini merupakan berita bagi Atmodjo, yang selanjutnya melaporkan informasi tersebut kepada Dani pada sekitar pukul 16.00 hari itu. Dani memerintahkannya mencari tahu lebih banyak lagi tentang rencana aksi tersebut dan melaporkan kembali hasil pengamatannya malam itu juga. Sekitar pukul 22.00 Atmodjo kembali ke Markas Besar AURI dan bertemu dengan sekelompok perwira senior Angkatan Udara untuk melaporkan hal-hal apa lagi yang telah didengarnya dari Soejono.19Satu detil penting adalah bahwa Supardjo merupakan peserta aksi. Dani memerintahkan Atmodjo agar mencari Supardjo, yang menjadi bawahannya langsung dalam Komando Mandala Siaga yang lazim dikenal sebagai Kolaga, dalam rangka konfrontasi melawan Malaysia.20 Supardjo sudah
menemui Dani pada 29 September untuk membicarakan soal-soal dalam Kolaga. Boleh jadi ia menceritakan kepada Dani bahwa aksi menentang Dewan Jenderal sedang direncanakan.
Sesuai dengan perintah Dani, Atmodjo mencari Soejono untuk memutuskan bagaimana dia dapat menemukan Supardjo. Soejonomemberi tahu Atmodjo agar pergi ke Kantor Pengamat Udara sekitarpukul 5.00 pagi berikutnya. Sesudah Atmodjo tiba di kantor yangdimaksud dan menjelaskan bahwa kedatangannya atas perintah Dani,Supardjo mengajaknya pergi bersamanya ke istana. Tanpa rencana ataukoordinasi apa pun, Atmodjo kemudian menemani Supardjo sepanjanghari itu.21 Seandainya pun keterlibatan Atmodjo dalam G-30-S lebih jauhketimbang yang diakuinya sekarang, sepak terjangnya pada 1 Oktobertampaknya terbatas pada membantu gerak-gerik Supardjo di sekitar kotaJakarta dan pangkalan udara Halim.
Sementara baik Atmodjo maupun Dani tidak dapat dipandangsebagai bagian dari pimpinan G-30-S, mereka (dan sebagian besar perwirasenior AURI) bersikap simpatik terhadap G-30-S pada 1 Oktober itu.Atmodjo mengenang bahwa ia bersorak gembira ketika mendengarpengumuman radio yang pertama pada pagi hari itu.22 Ia bersama paraperwira rekan-rekannya berpikir bahwa G-30-S merupakan gerakanpembersihan terhadap para perwira sayap kanan Angkatan Darat, yangtelah dan sedang menyabot kebijakan-kebijakan Presiden Sukarno. Danimerancang pernyataan publik, “Perintah Harian,” pada pukul 9.30pagi yang menyambut G-30-S sebagai usaha untuk “mengamankandan menjelamatkan Revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi terhadapsubversi CIA.” Agaknya Dani berpikir bahwa G-30-S itu tidak lebihdari sebuah aksi internal Angkatan Darat, yang sepenuhnya masih setiakepada Sukarno.
Pasukan-pasukan yang digunakan dalam operasi pagi hari itusebagian besar diambil dari satuan-satuan yang dipimpin tiga perwiramiliter dalam pimpinan inti G-30-S: Untung, Latief, dan Soejono. Dalampersonil G-30-S termasuk satu kompi pasukan kawal presiden di bawahpimpinan Untung, dua peleton dari garnisun Angkatan Darat Jakarta dibawah pimpinan Latief, dan satu batalyon pasukan Angkatan Udara dibawah pimpinan Soejono. Selain itu ada sepuluh kompi – masing-masinglima kompi – dari Batalyon 454 dan Batalyon 530. Pasukan-pasukan daridua batalyon ini sudah tiba di Jakarta beberapa hari sebelumnya untukberpartisipasi dalam parade Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.Mereka inilah yang merupakan kelompok utama dari pasukan-pasukanyang menduduki Lapangan Merdeka. Di antara pasukan-pasukan G-30-s juga ada kesatuan-kesatuan kecil dari pasukan para komando di selatan Jakarta dan Polisi Militer.
Di samping berbagai pasukan militer tersebut, sekitar dua ribuanggota PKI atau ormas-ormas yang beraļ¬ liasi dengan PKI juga ikutserta dalam operasi pagi itu. Orang-orang sipil ini sebagian besar adalahanggota Pemuda Rakjat yang telah menerima latihan singkat kemiliterandi pangkalan udara Halim selama beberapa pekan dalam bulan-bulansebelumnya. Adalah Mayor Soejono yang mengatur penyelenggaraanlatihan-latihan ini. Para pemuda sipil ini disebar dalam pasukan-pasukanyang menculik para jenderal dan menduduki gedung-gedung vital disekitar Lapangan Merdeka. Beberapa dipersenjatai, tapi sebagian besar tidak.
Tidak ada angka yang andal tentang jumlah keseluruhan personilmiliter dan sipil yang ikut serta dalam G-30-S. Tabel 2 menggambar-kan sintesis data dari berbagai-bagai sumber. Walaupun angka-angka itumungkin tidak akurat, setidak-tidaknya dapat memberi gambaran kasartentang kekuatan G-30-S.Jumlah tentara yang terlibat dalam G-30-S sangat kecil jika diban-dingkan dengan seluruh jumlah pasukan yang ada di dalam kota. Darisudut kekuatan militer, G-30-S jelas tidak cukup menggentarkan untukdapat mengalangi pasukan lawan menyerangnya. Komando DaerahMiliter Kota Jakarta, yang disebut Kodam Jaya, memiliki sekitar enampuluh ribu prajurit, tiga puluh kali jumlah seluruh personil yang ikutserta dalam G-30-S. Kolonel Latief memimpin satu brigade KodamJaya, yang terdiri dari sekitar dua ribu prajurit, namun hanya dua peletondi antaranya yang ikut serta dalam G-30-S. Besarnya potensi perlawananterhadap G-30-S menjadi lebih besar lagi jika kita perhitungkan puluhanribu tentara tambahan yang ditempatkan di dekat Jakarta. Pasukan khususdari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) berada di selatankota, dan Kodam yang meliputi Jawa Barat ditempatkan di Bandung,sekitar tujuh jam perjalanan mobil jaraknya dari Jakarta. Dibandingkandengan semua pasukan yang ada di dalam dan sekitar kota, kekuatanpasukan G-30-S sungguh kecil belaka.
Tabel 2. Personil Militer dan Sipil yang Mengambil Bagian Dalam G-30-S
Personel yang mengambil bagian | Jumlah Orang |
2 Pleton dari Brigade 1,Kodam Jaya 1 Kompi dari Batalyon 1,Cakra bhirawa 5 Kompi dari Batalyon 454,Diponegoro 5 Kompi dari Batalyon 530,Brawijaya 1 Batalyon AURI,Halim P K Kepolisian ( PM ) Jumlah Personel Militer Sipil dari PKI dan Ormas Jumlah seluruh Personel | 60 60 500 500 1.000 50 2.130 2.000 4.130 |
Tragedi Nasional, 231; Saelan, Dari Revolusi ’45, 91.
Perhatikan bahwa pasukan-pasukan G-30-S tidak menyebar laiknyapasukan yang berniat melakukan kudeta. Mereka tidak memosisikan diriuntuk bertahan menghadapi pasukan lawan. Jika tujuan mereka adalahkudeta, mereka seharusnya mengepung atau menduduki markas besarKodam Jaya dan Kostrad, dan menempatkan detasemen-detasemen dekatpemusatan-pemusatan barak-barak militer utama. Mereka juga seharusnya sudah membangun pos-pos pemeriksaan di jalan-jalan menujuJakarta untuk mengalangi pasukan-pasukan dari luar memasuki kota.Semuanya itu tidak mereka lakukan.Gerakan 30 September tidak mempunyai perlengkapan yanghampir selalu dipakai oleh para perancang kudeta di sepanjang paron
kedua abad ke-20: tank. Seluruh kekuatan G-30-S terdiri dari tentarainfanteri bersenjata. Dan, gerakan ini tidak berusaha melumpuhkan tank-tank yang dikendalikan pasukan-pasukan yang berpotensi memusuhi
G-30-S. Ketika panglima Kodam Jaya mendengar berita penggerebekandi rumah-rumah para jenderal, ia memerintahkan beberapa pasukan tankuntuk berpatroli di jalan-jalan di ibu kota.27 Dengan begitu dalam jam-jam awal G-30-S dimulai, ibu kota berhasil dikuasai pasukan-pasukanberlapis baja yang tidak menjadi bagian G-30-S.Mengingat jumlah pasukan yang terlibat kecil, penyebaran pasukanyang tidak berpengaruh, dan tidak ada tank, G-30-S tampaknya tidakdirancang untuk merebut kekuasaan negara. Mengikuti aksi-aksi G-30-Spagi hari itu, gerakan ini tampak dirancang sebagai semacam pemberontakan para perwira muda terhadap sekelompok perwira senior.
Ditulis oleh :
JOHN ROOSA
ARSIP
Hoover Institution Archives, Stanford University, California
Guy Pauker Papers
Howard P. Jones Papers
International Institute of Social History, Amsterdam
Indonesian Exiles of the Left Collection
Suparna Sastra Diredja Papers
WAWANCARA LISAN
Kecuali yang diberi catatan, saya melakukan dan merekam sendiri wawancara,
dan nama orang-orang yang diwawancarai adalah nama asli. Transkripsi maupun
rekaman atas wawancara-wawancara yang direkam, disimpan dalam arsip lisan
Institut Sejarah Sosial Indonesia di Jakarta. Wawancara-wawancara yang diberi tanda
asterisk (*) tidak direkam.
Aleida, Martin. 8 Agustus 2004, Jakarta.
Atmodjo, Heru. 11 Juni 2000; 14 Desember 2002; 19 Desember 2004, Jakarta.
Bismar. 1 April 2001, Jakarta.*
Bungkus. 12 Mei 2001, Besuki.
Dana, I Wayan. 6 Januari 2001, Denpasar.
Djayadi (nama samaran). 1 April 2001, Tasikmalaya.
Haryatna (nama samaran). 4 April 2001, Tasikmalaya.
Isak, Joesoef. 20 Desember 2003, Jakarta.
Juwono (nama samaran). Wawancara oleh Rahadian Permadi. 19 Juni 2000, Jakarta.
Kardi, Muhammad Sidik. 29 Mei 2000, Jakarta.
Mujiyono (nama samaran). 16 Juni 2000, Jakarta.
Oemiyah. 24 Juli 2005, Yogyakarta.*
Oey Hay Djoen. 14 Juli 2001; 24 Januari 2002, Jakarta.
Poniti. 24 Agustus 2000, Kapal.
Pugeg. 3 September 2000, Denpasar.
Puger, Ibu. 11 Januari 2001, Denpasar.
Reti, I Ketut. 7 Januari 2001, Denpasar.
Rewang. 27 Juni 2001, Solo.
Rusyana (nama samaran). 11 Juli 2001, Jakarta.
Slamet. Wawancara oleh Razif. 28 Januari 2003, Jakarta.
Subowo (nama samaran), 26 Januari 2002, Jakarta.
Sucipto. 4 September 2003, Jakarta.
Sugiarto. 2001, Jakarta.*
Sukrisno (nama samaran). 14 Juli 2005, Jakarta.
Suwira, Kompiyang. 2 September 2000, Denpasar.
Syukur, Abdul. Wawancara oleh Razif. 22 Mei 2000, Bandung.
Tan Swie Ling. 16 Maret 2001, Jakarta.
Tiara, Ibu (nama samaran). 15 Agustus 2000, Denpasar.
Wayan (nama samaran). 5 Agustus 2004, Ubud.*
postingan ini berkategori
ARTIKEL
dengan judul
Ketidakjelasan 1 Oktober 1965
. Jangan lupa menyertakan URL
http://joyodrono-cahmabung.blogspot.com/2011/09/pagi-hari-1-oktober-1965_22.html
. Jika ingin memposting ulang . Terima kasih!
3 komentar untuk " Ketidakjelasan 1 Oktober 1965 "
Yang saya tahu isi fasal fasal dalam surat Surat Perintah Sebelas Maret 1965 yang ditanda tangani oleh Alm Presiden Sukarno sudah dirubah yaitu fasal yang paling penting/pokok yaitu selesai melaksanakan tugas mengamankan akibat gerakan G-30-S segera mengembalikan mandat tersebut kepada Presiden Sukarno, ini tidak supersemar yang asli diganti dengan supersemar palsu artinya ada gerakan sistematis alias KUDETA
thank's.
idem
Jika bukan untuk kudeta, kenapa harus membentuk Dewan Revolusi yg dikepalai oleh Untung? Kenapa harus membubarkan kabinet? Kenapa semua instansi harus tunduk pada Dewan Revolusi?
Tapi jika memang kudeta, knp pasukan begitu minim, koordinasi begitu kacau,kenapa tidak bergerak lebih lanjut utk menguasai pos2 penting militer di saat semua orang kebingungan saat itu?
Semua masih misterius..
Posting Komentar