“ Ada kalanya kita harus mengalah walaupun itu pahit,tetapi ada juga saatnya kita tidak boleh mengalah dan menyerah, kalau memang itu adalah perjuangan untuk membela kebenaran bagi kaum yang lemah “.
Ucapan itu selalu teringat di benak saya,kalimat tersebut adalah ucapan dari Cak Nun ( Emha Ainun Najib ) pada acara Do’a bersama untuk Indonesia di Alun-alun Kabupaten Jombang – Jawa Timur tahun 1997 akhir,tanggalnya saya sudah lupa ( baca saja: sekarang sudah pikun ).
Saat itu Negara kita sedang terjadi kemelut luar biasa sekali,yang di awali mulai tahun 1997 mei.Yang mana Ekonomi dan Moral betul-betul seperti tidak di miliki lagi pada penghuni negeri ini.Kepercayaan kepada pemerintahan hanya sebatas ujung kuku pada saat itu.Kerusuhan yang menjurus tindakan Anarkis banyak terjadi di mana-mana,dan sebagai basis terbesar Ibukota tercinta Jakarta.
Dan sepertinya pada saat itu yang berpredikat penegak keamanan Negarapun seperti tidak bisa mengendalikan keadaan,Situasi semakin Ricuh dan memanas,akibatnya justru terjadi perlakuan sebaliknya.Tuntutan dari rekan Mahasiswa demi membela Rakyat kecil malah menjadi sasaran timah panas yang berujung jatuhnya Korban di pihak Mahasiswa.Sungguh,Indonesia saat itu seperti segumpal bola kapas yang tertiup angin.Tidak ada kata saling percaya antar pejabat Negara,malah saling curiga yang berbuah petaka.
Ucapan itu selalu teringat di benak saya,kalimat tersebut adalah ucapan dari Cak Nun ( Emha Ainun Najib ) pada acara Do’a bersama untuk Indonesia di Alun-alun Kabupaten Jombang – Jawa Timur tahun 1997 akhir,tanggalnya saya sudah lupa ( baca saja: sekarang sudah pikun ).
Saat itu Negara kita sedang terjadi kemelut luar biasa sekali,yang di awali mulai tahun 1997 mei.Yang mana Ekonomi dan Moral betul-betul seperti tidak di miliki lagi pada penghuni negeri ini.Kepercayaan kepada pemerintahan hanya sebatas ujung kuku pada saat itu.Kerusuhan yang menjurus tindakan Anarkis banyak terjadi di mana-mana,dan sebagai basis terbesar Ibukota tercinta Jakarta.
Dan sepertinya pada saat itu yang berpredikat penegak keamanan Negarapun seperti tidak bisa mengendalikan keadaan,Situasi semakin Ricuh dan memanas,akibatnya justru terjadi perlakuan sebaliknya.Tuntutan dari rekan Mahasiswa demi membela Rakyat kecil malah menjadi sasaran timah panas yang berujung jatuhnya Korban di pihak Mahasiswa.Sungguh,Indonesia saat itu seperti segumpal bola kapas yang tertiup angin.Tidak ada kata saling percaya antar pejabat Negara,malah saling curiga yang berbuah petaka.
Tuhan
itu Maha Adil,Dengan Do’a para Ulama Islam,Pemuka – pemuka dari agama
Hindu,Budha,Katholik,Protestan dan
kepercayaan lain membuahkan hasil.Perlahan Indonesia berangsur pulih dan tenang
kembali hingga kini kita rasakan bersama.”Terima kasih Ya Allah,Engkaulah Maha
pemberi sesuatu yang sepantasnya kami terima”.
Di
tengah ketenangan dan kedamaian,dan di saat Rakyat mulai di libatkan dalam
penyampaian aspirasinya,Justru timbul hal-hal memalukan yang di lakukan wakil
kita di lembaga DPR.Sangat tidak pantas seorang wakil rakyat harus melempar
kursi,memukul hanya sebab perbedaan pendapat dalam sidang.Itu adalah kejadian
yang membuat malu ( “Apa kata Dunia kata Nagabonar” ).Penerapan kata DEMOKRASI
akan menjadi tanda tanya bagi anak - anak yang baru masuk sekolah,Karena
melihat para pelaku Demokrasinya justru tidak bisa menerapkannya dengan benar.
Mungkin
ada baiknya jika para Peminpin kita itu memiliki prilaku dari salah satu sosok profil
dalam Dunia pewayangan.Sosok ini dalam pewayangan bukan profil Raja atau Patih
dan sebagainya,tetapi dia hanya seorang lurah yang tinggal di sebuah Desa
Karang Kadempel.tetapi kata-katanya selalu menjadi panutan dari Raja-raja di
golongan Pandawa.Dia adalah Semar.
Semar dalam Filosofi jawa di sebut
BADRANAYA yang artinya membangun sarana dari dasarnya dan melaksankan perintah
Allah untuk kesejahteraan Manusia. Semar tidak lelaki dan bukan
perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. artinnya : “Sebagai pribadi tokoh semar sebagai simbul Sang Maha
Tumggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah secara total ,sekaligus simbol keilmuan yang netral tetapi simpatik”. Menjadi pemimpin seharusnya tidak melihat suatu
usulan itu datangnya dari pihak mana,melainkan bagaimana mempertimbangkan dan
menjalankannya supaya masyarakat bisa lebih baik ke masa depan.
Rambutnya yang Kuncung mempunyai arti,” Akuning
sang Kuncung “ sebagai kepribadian pelayan.Yang melayani umat ,tanpa meminta
pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai
dengan sabda Ilahi.Menjadi pemimpin
berarti harus siap melayani masyarakat dengan melaksanakannya secara benar demi
kepentingan umum,bukan untuk keuntungan pribadi.
Cara berjalannya
selalu menghadap ke atas ini artinya “memberikan
teladan agar selalu memandang keatas kepada (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat”. Corak kain
Parangkusumo yang di pakai adalah perwujudan Dewonggowantah ( penuntun manusia)
agar Memayu hayuning bawono menciptakan keadilan dan kebenaran di bumi ini.Dengan menjadi
seorang peminpin yang bisa dijadikan tauladan,harus bisa selalu memberikan
perlindungan kepada masyarakat.jangn malah menyulitkannya.
Semar berkuncung
seperti anak-anak,namun juga berwajah sangat tua.menjadi pemimpin harus bisa
melayani semua golongan, baik itu dari golongan bawah atau golongan atas.jangan
hanya kalau ada uang mau melayani.
Semar
tertawannya selalu diakhiri dengan nada tangisan,Ini merupakan contoh bahwa
pemimpin harus ikut merasakan penderitaan kaum miskin.
Semar berwajah menangis namun mulutnya tertawa,Pemimpin harus
bisa memberikan rasa ketenangan kepada rakyatnya yang sedang di landa
bencana.dengan memberikan langkah yang baik dan tepat bagi rakyat yang sedang
terkena musibah atau bencana.
Semar berprofil
berdiri sekaligus jongkok.Kalau sifat yang satu ini sudah banyak dimiliki oleh
pimpinan kita,walaupun sifatnya musiman,istilahnya pas dekat pemilu saja
pemimpin mau berbaur dengan masyarakat kecil.
Kebudayaan kita
sebenarnya telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap
Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum
masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa. Tokoh wayang Semar
ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi
dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan
expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi
spiritual dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan
Mardika artinya “merdekanya
jiwa dan raga“, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian,
agar dalam menuju kepemimpinan
bisa sempurna tak ternodai
oleh dosa,dengan
mengatakan yang salah tetap salah tanpa menyemukan dan menyembunyikan kesalahan
atau bakan menutupinya.
Begitulah kiranya
tulisan yang sudah saya campur aduk dengan Bumbu rujak cingur,kalau kurang
garam atau gula mohon tambahkan sendiri.mudah-mudahan bisa berguna.
Salam
Rujukan Buku Tentang
Semar:
( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 )
( Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 )
( Poedjowijatno, 1975 : 49 )
( Prodjosoebroto 1969 : 31 )
( Cermomanggolo 1995 : 5 )
( Soenarto Timoer 1994 : 4 )
postingan ini berkategori
ARTIKEL
dengan judul
Jadilah Pemimpin berwatak Semar
. Jangan lupa menyertakan URL
http://joyodrono-cahmabung.blogspot.com/2012/01/jadilah-pemimpin-berwatak-semar.html
. Jika ingin memposting ulang . Terima kasih!
10 komentar untuk " Jadilah Pemimpin berwatak Semar "
Setuju deh, semoga aja kedpan Indonesia dpt pemimpin seperti semar :)
@Aqmal:he.he.he...
sobat jangan seperti semar,jadi wayang ulit dong.yang bener tuh berprilaku seperti semar.
Berperilaku seperti semar dan tidak samar :)
@JUNAEDI:tul sekali gan....
Ikut mengaminkan Sob, dan salam kenal.
Sukses selalu
Salam
Ejawantah's Blog
@Ejawantah's Blog:sip gan makasih
kita tidak boleh mengalah dan menyerah, kalau memang itu adalah perjuangan untuk membela kebenaran bagi kaum yang lemah, kata yang paling tepat untuk semuanya sob :)
@Tiyo Harwin:itu benar sob
Menunggu datangnya pemimpin berkarakter semar
@Siswanto:ok sob.mudah mudahan segera datang
Posting Komentar