Sesudah mengambil alih stasiun radio dan menyiarkan pengumumannya
yang pertama, G-30-S tidak mengeluarkan pernyataan apa pun selama
lima jam berikutnya. Gerakan 30 September bungkam sama sekali justru pada saat perlu mengerahkan pendapat umum untuk mendukungnya.Pengumuman kedua, yang disiarkan sekitar tengah hari, memenuhi janji pengumuman pertama dengan merinci perihal Dewan Revolusi Indonesia lebih lanjut. “Segenap kekuasaan negara,” demikian pengumuman itu menyatakan, telah jatuh “ke tangan Dewan Revolusi Indonesia.”Kekuasaan yang diaku dewan nasional ini bersifat mutlak: ia “menjadi sumber daripada segala kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia,”sementara menunggu pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil di Dewan Perwakilan Rakyat. (Waktu pemilu tidak dinyatakan pasti.)
Dewan-dewan revolusi yang lebih rendah selanjutnya akan dibentuk di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Masing-masing dewan akan berfungsi sebagai “kekuasaan tertinggi untuk daerah yang
bersangkutan.” Dekrit No. 1 menyatakan bahwa menteri-menteri kabinet Presiden Sukarno “berstatus demisioner,” dan bahwa Dewan Revolusi Indonesia akan menetapkan semua menteri-menteri yang akan datang.Walaupun dalam pengumuman radio yang pertama G-30-S membenarkan penumpasan terhadap Dewan Jenderal sebagai cara untuk melindungi Presiden Sukarno, dalam pengumumannya yang kedua
G-30-S justru merebut kekuasaan presiden dan bahkan tidak sekali pun menyebut Sukarno. Dengan mengumumkan pimpinan G-30-S sebagai pimpinan suatu dewan yang memegang seluruh kekuasaan negara,
pengumuman kedua memperlihatkan bahwa peristiwa yang pada pagi hari menampak sebagai putsch intern Angkatan Darat menjadi lebih menyerupai sebuah kudeta.
Pengumuman kedua itu juga menyebut nama-nama para wakil panglima yang ada di bawah Letnan Kolonel Untung: “Brigjen Supardjo,Letnan Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut Sunardi, dan Ajun Komisaris
Besar Polisi Anwas.” Daftar ini memperlihatkan usaha untuk memasukkan semua unsur dari keempat angkatan bersenjata (Angkatan Darat,Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Angkatan Kepolisian) sambil
menyembunyikan identitas para pimpinan G-30-S sebenarnya yang bekerja bersama Untung, yaitu Kolonel Latief, Mayor Soejono, Sjam,dan Pono.
Pemilihan wakil-wakil pimpinan G-30-S ini terasa sukar dijelaskan.Dari empat tokoh itu hanya Supardjo dan Heru Atmodjo yang sedikit banyak terkait dengan G-30-S. Dan aneh bahwa Supardjo, seorang brigadir jenderal, berada di bawah Untung, seorang letnan kolonel.Keanehan lain adalah Atmodjo hanya diidentiļ¬ kasikan dengan namanyayang pertama, Heru, nama yang sangat lazim bagi orang Jawa. Banyak orang Indonesia hanya menggunakan satu nama saja (misalnya Untung dan Suharto). Tapi Heru biasanya tidak digunakan sebagai nama tunggal.Atmodjo dikenal dengan nama seutuhnya. Penggunaan nama Heru saja dalam pengumuman tersebut memberi kesan bahwa para organisator G-30-S tidak kenal dengannya. Dua deputi komandan G-30-S yang lain, Sunardi dan Anwas, belum pernah satu kali pun menghadiri rapat-rapat perencanaan, tidak berada di pangkalan udara Halim pada 1 Oktober,
tidak diberi tahu tentang G-30-S sebelumnya, dan tidak mengambil langkah apa pun atas nama G-30-S.
Tidak jelas siapa, jika pun memang ada, yang menandatangani Dekrit No. 1, mengenai pembentukan Dewan Revolusi Indonesia. Baik dokumen asli maupun fotonya tidak pernah terlihat. Di depan
persidangannya Untung menyatakan bahwa ia, Supardjo, dan Atmodjo yang menandatangani dokumen itu.Sebagai saksi dalam persidangan itu, Atmodjo mengakui telah menandatanganinya.Namun sekarang
Atmodjo mengatakan tidak pernah menandatanganinya dan bahkan tidak pernah melihat teks itu sebelum disiarkan. Ia menyatakan, pengakuannya di depan persidangan Untung merupakan kapitulasi terhadap tuntutan penuntut umum. Ia berharap mahkamah menghargai kerja samanya, dan dengan demikian akan memberi keringanan hukuman jika kelak ia sendiri dihadapkan ke pengadilan.Di depan Mahmilub Supardjo
memungkiri pengumuman radio tentang Dewan Revolusi Indonesia. Ia menyatakan bahwa ia tidak menyetujui gagasan tentang dewan tersebut dan menolak menandatangani dokumen itu.Tanpa adanya dokumen dekrit yang asli tidak mungkin diketahui siapa sebenarnya yang telah menandatanganinya. Mengingat bahwa Sunardi dan Anwas jelas bukan tokoh-tokoh penanda tangan, tidak ada alasan kuat untuk memercayai bahwa dua tokoh lain yang disebut sebagai wakil-wakil komandan (Supardjo dan Atmodjo) pernah menandatanganinya.
Pengumuman ketiga G-30-S, yang disiarkan antara pukul 13.00 dan 14.00, disebut sebagai “Keputusan No. 1.”(Sekarang sukar untuk dipahami apa yang dipikirkan [para] penulis pengumuman-pengumuman ini tentang perbedaan antara dekrit dan keputusan). Pengumuman ketiga
ini menyebut empat puluh lima nama anggota Dewan Revolusi Indonesia, termasuk Untung dan empat orang wakilnya. (Angka 45 itu tampaknya dipilih untuk melambangkan 1945, tahun proklamasi kemerdekaan
Indonesia.) Para anggota mewakili aneka macam pandangan politik yang relatif luas: politisi Muslim, kader menengah PKI, wartawan, perempuan, dan pimpinan pemuda. Kelompok yang paling banyak terwakili, dengan delapan belas kursi, ialah kelompok militer. Beberapa perwira militer dalam daftar dikenal sebagai antikomunis, misalnya Brigadir Jenderal Amir Mahmud. Di dalamnya juga termasuk nama-nama dua orang yang sedikit banyak tak dikenal, namun belakangan ternyata termasuk dalam pimpinan G-30-S: Kolonel Latief dan Mayor Soejono. Pimpinan G-30-S di Jawa Tengah, Kolonel Suherman, juga muncul dalam daftar. Gerakan 30 September tidak memberikan penjelasan mengenai dasar-dasar yang
melandasi pemilihan untuk keanggotaan Dewan. Kecuali bagi beberapa orang yang terlibat langsung dalam G-30-S, agaknya tak seorang pun di antara mereka yang ditunjuk sebagai anggota dewan pernah dihubungi
sebelumnya dan diminta untuk ikut bergabung.
Segera sesudah mengumumkan daftar nama-nama anggota Dewan Revolusi Indonesia, stasiun pusat RRI menyiarkan pengumuman G-30-S yang keempat, yaitu “Keputusan No. 2.” Keputusan ini memaklumkan, karena panglima G-30-S adalah seorang letnan kolonel, tidak ada perwira
militer yang berpangkat lebih tinggi daripadanya. Semua pangkat di atas pangkat Untung dinyatakan tidak lagi berlaku. Dengan sekali gebrak sistem kepangkatan militer diubah, sehingga pangkat Untung menjadi
pangkat yang tertinggi. Para perwira yang berpangkat lebih tinggi memenuhi syarat untuk memperoleh pangkat letnan kolonel jika mereka mengajukan secara tertulis pernyataan kesetiaan kepada Dewan Revolusi Indonesia. Sementara itu semua prajurit bawahan yang mendukung G-30-S pangkatnya akan dinaikkan satu peringkat.
Dua “keputusan” ini diumumkan atas nama Letnan Kolonel Untung dan ditandatangani pula olehnya. Militer menerbitkan foto dokumen-dokumen asli Keputusan 1 dan Keputusan 2 ini.Foto-
foto itu memperlihatkan bahwa hanya Untung yang menandatangani dokumen-dokumen termaksud. Barangkali pembedaan antara “dekrit” dan “keputusan” terletak pada nama siapa yang mengeluarkannya: dekrit dikeluarkan atas nama komandan dan para wakil komandan, sedangkan
keputusan dikeluarkan hanya atas nama komandan saja.Empat pengumuman yang dikeluarkan oleh G-30-S tersebut merupakan seluruh penampilan G-30-S di depan masyarakat Indonesia. Jika disimpulkan bersama, keempat pengumuman itu sangat sedikit mengungkapkan sifat G-30-S. Yang paling jelas, pengumuman itu tidak memberikan pembenaran terhadap tindakan mendemisionerkan kabinet dan penetapan bentuk pemerintahan yang sama sekali baru. Pengu- muman-pengumuman itu juga tidak mengungkapkan pertentangan ideologis apa pun dengan pemerintahan Sukarno. Semua prinsip yang dengan tegas dijunjung G-30-S ialah prinsip-prinsip yang dianjurkan atau ditemukan oleh Sukarno, yaitu UUD 1945, politik luar negeri yang menentang kolonialisme dan neokolonialisme, Pancasila, Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), Panca Azimat Revolusi.Gerakan 30 September menyerukan pembentukan dewan-dewan revolusi di tingkat
provinsi dan kabupaten, dan bahkan menetapkan jumlah anggota yang akan duduk di dewan-dewan itu. Tapi G-30-S tidak menjelaskan bagaimana anggota dewan akan dipilih dan apa wewenang dewan dalam
hubungannya dengan lembaga-lembaga negara yang ada, selain hanya mengatakan bahwa dewan mempunyai “segenap kekuasaan.” Gerakan 30 September menyatakan kesetiaannya kepada konstitusi Indonesia, lalu menciptakan lembaga yang tidak dirumuskan dengan jelas dan sama
sekali baru, yang akan melampaui lembaga-lembaga yang telah dibentuk oleh konstitusi.
Wajah G-30-S di hadapan masyarakat tidak konsisten (pengumuman-pengumumannya menyatakan bahwa pasukannya ingin melindungi Sukarno tapi juga ingin mendongkelnya), ganjil (letnan
kolonel dinyatakan sebagai pangkat tertinggi), dan kabur (cita-cita istimewa G-30-S tidak dijelaskan). Hal yang lebih membingungkan lagi ialah penampilan publik G-30-S sangat sedikit kecocokannya dengan
kenyataan: Sukarno tidak berada di bawah “lindungan” G-30-S; dua dari empat wakil komandannya tidak tahu-menahu tentang G-30-S; empat pimpinan yang sesungguhnya (Sjam, Pono, Latief, Soejono) tidak disebut sebagai pimpinan; dan jenderal-jenderal yang “ditangkap” sebenarnya sudah dibunuh dan mayat-mayat mereka disembunyikan. Keempat pengumuman yang disiarkan melalui radio belum tentu disusun oleh orang-orang yang namanya tercantum di dalamnya. Oleh karena Aidit juga berada di Halim, ia pun boleh jadi ikut serta menyusunnya. Untung dan dua wakil komandan G-30-S yang berada di Halim (Supardjo dan Heru Atmodjo) barangkali bukan yang menulis Dekrit No. 1. Bahkan Untung mungkin tidak menulis Keputusan 1 dan Keputusan 2 walaupun ia menandatanganinya.
Baca Juga Ketidakjelasan 1 Oktober 1965
Ditulis oleh :
JOHN ROOSA
ARSIP
Hoover Institution Archives, Stanford University, California
Guy Pauker Papers
Howard P. Jones Papers
International Institute of Social History, Amsterdam
Indonesian Exiles of the Left Collection
Suparna Sastra Diredja Papers
yang pertama, G-30-S tidak mengeluarkan pernyataan apa pun selama
lima jam berikutnya. Gerakan 30 September bungkam sama sekali justru pada saat perlu mengerahkan pendapat umum untuk mendukungnya.Pengumuman kedua, yang disiarkan sekitar tengah hari, memenuhi janji pengumuman pertama dengan merinci perihal Dewan Revolusi Indonesia lebih lanjut. “Segenap kekuasaan negara,” demikian pengumuman itu menyatakan, telah jatuh “ke tangan Dewan Revolusi Indonesia.”Kekuasaan yang diaku dewan nasional ini bersifat mutlak: ia “menjadi sumber daripada segala kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia,”sementara menunggu pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil di Dewan Perwakilan Rakyat. (Waktu pemilu tidak dinyatakan pasti.)
Dewan-dewan revolusi yang lebih rendah selanjutnya akan dibentuk di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Masing-masing dewan akan berfungsi sebagai “kekuasaan tertinggi untuk daerah yang
bersangkutan.” Dekrit No. 1 menyatakan bahwa menteri-menteri kabinet Presiden Sukarno “berstatus demisioner,” dan bahwa Dewan Revolusi Indonesia akan menetapkan semua menteri-menteri yang akan datang.Walaupun dalam pengumuman radio yang pertama G-30-S membenarkan penumpasan terhadap Dewan Jenderal sebagai cara untuk melindungi Presiden Sukarno, dalam pengumumannya yang kedua
G-30-S justru merebut kekuasaan presiden dan bahkan tidak sekali pun menyebut Sukarno. Dengan mengumumkan pimpinan G-30-S sebagai pimpinan suatu dewan yang memegang seluruh kekuasaan negara,
pengumuman kedua memperlihatkan bahwa peristiwa yang pada pagi hari menampak sebagai putsch intern Angkatan Darat menjadi lebih menyerupai sebuah kudeta.
Pengumuman kedua itu juga menyebut nama-nama para wakil panglima yang ada di bawah Letnan Kolonel Untung: “Brigjen Supardjo,Letnan Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut Sunardi, dan Ajun Komisaris
Besar Polisi Anwas.” Daftar ini memperlihatkan usaha untuk memasukkan semua unsur dari keempat angkatan bersenjata (Angkatan Darat,Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Angkatan Kepolisian) sambil
menyembunyikan identitas para pimpinan G-30-S sebenarnya yang bekerja bersama Untung, yaitu Kolonel Latief, Mayor Soejono, Sjam,dan Pono.
Pemilihan wakil-wakil pimpinan G-30-S ini terasa sukar dijelaskan.Dari empat tokoh itu hanya Supardjo dan Heru Atmodjo yang sedikit banyak terkait dengan G-30-S. Dan aneh bahwa Supardjo, seorang brigadir jenderal, berada di bawah Untung, seorang letnan kolonel.Keanehan lain adalah Atmodjo hanya diidentiļ¬ kasikan dengan namanyayang pertama, Heru, nama yang sangat lazim bagi orang Jawa. Banyak orang Indonesia hanya menggunakan satu nama saja (misalnya Untung dan Suharto). Tapi Heru biasanya tidak digunakan sebagai nama tunggal.Atmodjo dikenal dengan nama seutuhnya. Penggunaan nama Heru saja dalam pengumuman tersebut memberi kesan bahwa para organisator G-30-S tidak kenal dengannya. Dua deputi komandan G-30-S yang lain, Sunardi dan Anwas, belum pernah satu kali pun menghadiri rapat-rapat perencanaan, tidak berada di pangkalan udara Halim pada 1 Oktober,
tidak diberi tahu tentang G-30-S sebelumnya, dan tidak mengambil langkah apa pun atas nama G-30-S.
Tidak jelas siapa, jika pun memang ada, yang menandatangani Dekrit No. 1, mengenai pembentukan Dewan Revolusi Indonesia. Baik dokumen asli maupun fotonya tidak pernah terlihat. Di depan
persidangannya Untung menyatakan bahwa ia, Supardjo, dan Atmodjo yang menandatangani dokumen itu.Sebagai saksi dalam persidangan itu, Atmodjo mengakui telah menandatanganinya.Namun sekarang
Atmodjo mengatakan tidak pernah menandatanganinya dan bahkan tidak pernah melihat teks itu sebelum disiarkan. Ia menyatakan, pengakuannya di depan persidangan Untung merupakan kapitulasi terhadap tuntutan penuntut umum. Ia berharap mahkamah menghargai kerja samanya, dan dengan demikian akan memberi keringanan hukuman jika kelak ia sendiri dihadapkan ke pengadilan.Di depan Mahmilub Supardjo
memungkiri pengumuman radio tentang Dewan Revolusi Indonesia. Ia menyatakan bahwa ia tidak menyetujui gagasan tentang dewan tersebut dan menolak menandatangani dokumen itu.Tanpa adanya dokumen dekrit yang asli tidak mungkin diketahui siapa sebenarnya yang telah menandatanganinya. Mengingat bahwa Sunardi dan Anwas jelas bukan tokoh-tokoh penanda tangan, tidak ada alasan kuat untuk memercayai bahwa dua tokoh lain yang disebut sebagai wakil-wakil komandan (Supardjo dan Atmodjo) pernah menandatanganinya.
Pengumuman ketiga G-30-S, yang disiarkan antara pukul 13.00 dan 14.00, disebut sebagai “Keputusan No. 1.”(Sekarang sukar untuk dipahami apa yang dipikirkan [para] penulis pengumuman-pengumuman ini tentang perbedaan antara dekrit dan keputusan). Pengumuman ketiga
ini menyebut empat puluh lima nama anggota Dewan Revolusi Indonesia, termasuk Untung dan empat orang wakilnya. (Angka 45 itu tampaknya dipilih untuk melambangkan 1945, tahun proklamasi kemerdekaan
Indonesia.) Para anggota mewakili aneka macam pandangan politik yang relatif luas: politisi Muslim, kader menengah PKI, wartawan, perempuan, dan pimpinan pemuda. Kelompok yang paling banyak terwakili, dengan delapan belas kursi, ialah kelompok militer. Beberapa perwira militer dalam daftar dikenal sebagai antikomunis, misalnya Brigadir Jenderal Amir Mahmud. Di dalamnya juga termasuk nama-nama dua orang yang sedikit banyak tak dikenal, namun belakangan ternyata termasuk dalam pimpinan G-30-S: Kolonel Latief dan Mayor Soejono. Pimpinan G-30-S di Jawa Tengah, Kolonel Suherman, juga muncul dalam daftar. Gerakan 30 September tidak memberikan penjelasan mengenai dasar-dasar yang
melandasi pemilihan untuk keanggotaan Dewan. Kecuali bagi beberapa orang yang terlibat langsung dalam G-30-S, agaknya tak seorang pun di antara mereka yang ditunjuk sebagai anggota dewan pernah dihubungi
sebelumnya dan diminta untuk ikut bergabung.
Segera sesudah mengumumkan daftar nama-nama anggota Dewan Revolusi Indonesia, stasiun pusat RRI menyiarkan pengumuman G-30-S yang keempat, yaitu “Keputusan No. 2.” Keputusan ini memaklumkan, karena panglima G-30-S adalah seorang letnan kolonel, tidak ada perwira
militer yang berpangkat lebih tinggi daripadanya. Semua pangkat di atas pangkat Untung dinyatakan tidak lagi berlaku. Dengan sekali gebrak sistem kepangkatan militer diubah, sehingga pangkat Untung menjadi
pangkat yang tertinggi. Para perwira yang berpangkat lebih tinggi memenuhi syarat untuk memperoleh pangkat letnan kolonel jika mereka mengajukan secara tertulis pernyataan kesetiaan kepada Dewan Revolusi Indonesia. Sementara itu semua prajurit bawahan yang mendukung G-30-S pangkatnya akan dinaikkan satu peringkat.
Dua “keputusan” ini diumumkan atas nama Letnan Kolonel Untung dan ditandatangani pula olehnya. Militer menerbitkan foto dokumen-dokumen asli Keputusan 1 dan Keputusan 2 ini.Foto-
foto itu memperlihatkan bahwa hanya Untung yang menandatangani dokumen-dokumen termaksud. Barangkali pembedaan antara “dekrit” dan “keputusan” terletak pada nama siapa yang mengeluarkannya: dekrit dikeluarkan atas nama komandan dan para wakil komandan, sedangkan
keputusan dikeluarkan hanya atas nama komandan saja.Empat pengumuman yang dikeluarkan oleh G-30-S tersebut merupakan seluruh penampilan G-30-S di depan masyarakat Indonesia. Jika disimpulkan bersama, keempat pengumuman itu sangat sedikit mengungkapkan sifat G-30-S. Yang paling jelas, pengumuman itu tidak memberikan pembenaran terhadap tindakan mendemisionerkan kabinet dan penetapan bentuk pemerintahan yang sama sekali baru. Pengu- muman-pengumuman itu juga tidak mengungkapkan pertentangan ideologis apa pun dengan pemerintahan Sukarno. Semua prinsip yang dengan tegas dijunjung G-30-S ialah prinsip-prinsip yang dianjurkan atau ditemukan oleh Sukarno, yaitu UUD 1945, politik luar negeri yang menentang kolonialisme dan neokolonialisme, Pancasila, Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), Panca Azimat Revolusi.Gerakan 30 September menyerukan pembentukan dewan-dewan revolusi di tingkat
provinsi dan kabupaten, dan bahkan menetapkan jumlah anggota yang akan duduk di dewan-dewan itu. Tapi G-30-S tidak menjelaskan bagaimana anggota dewan akan dipilih dan apa wewenang dewan dalam
hubungannya dengan lembaga-lembaga negara yang ada, selain hanya mengatakan bahwa dewan mempunyai “segenap kekuasaan.” Gerakan 30 September menyatakan kesetiaannya kepada konstitusi Indonesia, lalu menciptakan lembaga yang tidak dirumuskan dengan jelas dan sama
sekali baru, yang akan melampaui lembaga-lembaga yang telah dibentuk oleh konstitusi.
Wajah G-30-S di hadapan masyarakat tidak konsisten (pengumuman-pengumumannya menyatakan bahwa pasukannya ingin melindungi Sukarno tapi juga ingin mendongkelnya), ganjil (letnan
kolonel dinyatakan sebagai pangkat tertinggi), dan kabur (cita-cita istimewa G-30-S tidak dijelaskan). Hal yang lebih membingungkan lagi ialah penampilan publik G-30-S sangat sedikit kecocokannya dengan
kenyataan: Sukarno tidak berada di bawah “lindungan” G-30-S; dua dari empat wakil komandannya tidak tahu-menahu tentang G-30-S; empat pimpinan yang sesungguhnya (Sjam, Pono, Latief, Soejono) tidak disebut sebagai pimpinan; dan jenderal-jenderal yang “ditangkap” sebenarnya sudah dibunuh dan mayat-mayat mereka disembunyikan. Keempat pengumuman yang disiarkan melalui radio belum tentu disusun oleh orang-orang yang namanya tercantum di dalamnya. Oleh karena Aidit juga berada di Halim, ia pun boleh jadi ikut serta menyusunnya. Untung dan dua wakil komandan G-30-S yang berada di Halim (Supardjo dan Heru Atmodjo) barangkali bukan yang menulis Dekrit No. 1. Bahkan Untung mungkin tidak menulis Keputusan 1 dan Keputusan 2 walaupun ia menandatanganinya.
Baca Juga Ketidakjelasan 1 Oktober 1965
Ditulis oleh :
JOHN ROOSA
ARSIP
Hoover Institution Archives, Stanford University, California
Guy Pauker Papers
Howard P. Jones Papers
International Institute of Social History, Amsterdam
Indonesian Exiles of the Left Collection
Suparna Sastra Diredja Papers
postingan ini berkategori
ARTIKEL
dengan judul
Pengumuman RRI siang 1 Oktober 1965
. Jangan lupa menyertakan URL
http://joyodrono-cahmabung.blogspot.com/2011/09/pengumuman-rri-siang-1-oktober-1965.html
. Jika ingin memposting ulang . Terima kasih!
Belum ada komentar untuk " Pengumuman RRI siang 1 Oktober 1965 "
Posting Komentar