Satu-satunya aksi-aksi penting militer yang mendukung G-30-S terjadi
di provinsi Jawa Tengah dan daerah Yogyakarta.Pemberontakan meluasdi dua wilayah itu. Para perwira muda memberontak terhadap perwira tertinggi di provinsi termaksud, Brigadir Jenderal Suryasumpeno, dan tiga komandan distrik militer. Di ibu kota Jawa Tengah, Semarang, seorang kolonel dari staf Suryasumpeno menduduki stasiun radio, RRI Semarang,dengan sekelompok pasukan pemberontak dan menyatakan diri sebagai
panglima baru pada sekitar pukul 13.00. Ia adalah Kolonel Suherman,
kepala intelijen daerah militer tingkat provinsi.
Di Yogyakarta Mayor Muljono memimpin pasukan pemberontak
menggerebek rumah komandan mereka, Kolonel Katamso. Mereka
menculiknya dan juga kepala stafnya, Letnan Kolonel Sugijono, yang
kebetulan ada di rumah itu ketika para pemberontak datang. Mereka
membawa dua perwira itu ke sebuah kota kecil di utara Yogyakarta,
Kentungan, dan menahan mereka di tangsi batalyon militer di sana.
Kemudian mereka membunuh kedua perwira tersebut.
Para perwira militer yang berada di belakang gerakan di Yogya-
karta, berbeda dari kawan-kawan mereka di Semarang, bekerja dalam
koordinasi dengan penduduk sipil setempat. Massa keluar di jalan-jalan
mendukung G-30-S. Mayor Muljono, sebagai perwira yang bertanggung
jawab atas urusan pertahanan sipil, telah menjalin hubungan erat dengan
organisasi-organisasi sipil, seperti PKI. Ketika para prajurit menculik
Kolonel Katamso, massa pemuda dari berbagai organisasi yang beraļ¬ liasi
dengan PKI mengepung kantor Sultan Yogyakarta, Kepatihan, tempat
kedudukan penguasa sipil. Mereka juga mengambil alih pemancar RRI
Yogyakarta dan mulai menyiarkan pernyataan-pernyataan dukungan
terhadap G-30-S pada sekitar pukul 20.00.
Peristiwa-peristiwa serupa terjadi di Solo, kota terbesar kedua di
Jawa Tengah. Seorang perwira muda memimpin G-30-S. Organisasi-
organisasi sipil sayap kiri mengeluarkan pernyataan mendukung G-30-S,
walaupun tidak disertai aksi-aksi jalanan seperti halnya di Yogyakarta.
Pemimpin pemberontak di Solo, Mayor Iskandar, menyatakan dirinya
sebagai ketua Dewan Revolusi Solo dan memerintahkan prajurit-prajurit
yang setia kepadanya untuk menahan perwira komandannya, Letnan
Kolonel Ezy Suharto, kepala staf Korem (Komando Resort Militer)
Solo, Kapten Parman, dan seorang perwira lain, Letnan Kolonel Ashari.
Mayor Iskandar menyerukan kepada wakil-wakil partai politik untuk
berkumpul dan dengan bantuannya mengadakan rapat pembentukan
Dewan Revolusi kota Solo. Wali kota Solo, Utomo Ramelan, seorang
anggota PKI, mengeluarkan pernyataan mendukung G-30-S.
Di kota lain di Jawa Tengah, Salatiga, para perwira pemberon-
tak bertindak tanpa dukungan sipil sama sekali. Letnan Kolonel Idris,
kepala staf Korem Salatiga, mengerahkan pasukan menentang perwira
komandannya, Kolonel Sukardi, dan seorang perwira militer penting
lain di kota ini, Letnan Kolonel Sugiman. Tidak ada tokoh dan organi-
sasi sipil yang mengeluarkan pernyataan dukungan atau keikutsertaan
dalam demonstrasi-demonstrasi. Wali kota Salatiga, Bakri Wahab, adalah
anggota PKI, namun ia tidak menyatakan dukungannya kepada G-30-S
secara terbuka.
Dengan demikian di Jawa Tengah, pada 1 Oktober malam,
para perwira menengah merebut komando provinsi di Semarang dan
menculik para komandan distrik di tiga kota utama. Hanya di Yogyakarta
penduduk sipil turun ke jalan-jalan memberi dukungan kepada G-30-S,
dan hanya di Solo kaum politisi sipil mengeluarkan pernyataan-per-
nyataan dukungan. Hanya di Yogyakarta perwira-perwira yang diculik
dibunuh. Aksi-aksi yang dilakukan atas nama G-30-S di Jawa Tengah
mengambil pola yang tidak berbeda.
Rupanya G-30-S telah menjalin hubungan dengan para perwira
militer di provinsi-provinsi lain. Dalam analisis postmortemnya Supardjo
menyatakan bahwa G-30-S telah mengirim kurir-kurirnya ke berbagai
provinsi. Sementara para perwira di provinsi-provinsi lain mungkin telah
mengetahui tentang adanya G-30-S, dan berpikir untuk melakukan
tindakan tertentu, namun mereka tetap pasif. Hanya di Jawa Tengah
dan Yogyakarta yang merupakan wilayah-wilayah di luar Jakarta G-30-S
mewujud.
Kembali di Jakarta, seorang jenderal senior Angkatan Darat yang tidak
menjadi sasaran penculikan ialah Mayor Jenderal Suharto, Komandan
Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat atau lebih dikenal sebagai
Kostrad. Pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka (Batalyon 454
dan 530) tidak diperintahkan untuk memblokade markas Kostrad atau
setidaknya menetralisirnya. Pasukan menduduki sisi utara, barat, dan
selatan lapangan tersebut dan membiarkan sisi timur, tempat markas
Kostrad berdiri, kosong. Para perwira Suharto keluar masuk gedung
dengan leluasa sepanjang hari itu saat mereka menyusun rencana serangan
terhadap G-30-S. Salah satu keganjilan besar dari kejadian-kejadian 1
Oktober itu ialah bahwa musuh-musuh G-30-S bekerja di sebuah gedung
yang berada langsung di depan sebagian besar pasukan G-30-S.
Barangkali G-30-S memutuskan tidak menetralisir markas Kostrad
karena Kostrad bukanlah merupakan instalasi militer utama di Jakarta.
Berbeda dengan Kodam Jaya, Kostrad tidak mempunyai pasukan tetap
yang diasramakan di dalam atau sekitar kota. Prajurit-prajurit cadangan
Kostrad selalu dipinjam dari komando-komando daerah (kodam-kodam).
Kostrad mengerahkan batalyon-batalyon untuk penugasan sementara
dalam operasi-operasi tempur tertentu.50 Meskipun demikian, Kostrad
mempunyai arti strategis yang besar, mengingat bahwa yang memimpin-
nya adalah Suharto, tokoh yang terkadang bertugas sebagai panglima
Angkatan Darat setiap saat Yani bepergian ke luar negeri. Jika pasukan
pemberontak ingin menguasai Jakarta, mereka harus memastikan bahwa
Suharto, orang dalam peringkat pertama yang langsung akan mengganti-
kan Yani, tidak dapat mengerahkan pasukan untuk melakukan serangan
balasan. Suharto diangkat menjadi panglima Kostrad pada Mei 1963 dan
karena itu berpengalaman paling tidak dua tahun dalam berhubungan
dengan para perwira puncak militer di Jakarta.
Menurut penuturannya sendiri, Suharto mendengar tentang adanya
tembak-menembak dan penculikan dari tetangga ketika ia masih di ke-
diamannya di Menteng. Ia tiba di Kostrad antara pukul 6.30 dan 7.00
pagi. Karena Suharto menduga Yani sudah terbunuh, ia mengangkat
dirinya sendiri sebagai panglima Angkatan Darat ad interim. Perwira
kunci yang menguasai pasukan paling besar di Jakarta, Umar Wiraha-
dikusumah, pada sekitar pukul 8.00 melapor kepada Suharto dan me-
nempatkan dirinya di bawah komando Suharto.51 Jenderal-jenderal dari
Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) yang selamat mengadakan rapat
darurat sekitar saat yang sama dan memutuskan mengangkat Suharto
sebagai panglima sementara. Menurut salah seorang anggota staf, Mayor
Jenderal Pranoto, yang belakangan ditunjuk Sukarno sebagai panglima,
“rapat memutuskan untuk menunjuk Mayjen Suharto Pangkostrad agar
bersedia mengisi pimpinan A.D. yang terdapat vacuum. Melalui kurir
khusus, maka keputusan rapat kita sampaikan kepada Mayjen Suharto di
MAKOSTRAD.”52 Sepanjang hari itu banyak perwira yang berkumpul
di Kostrad sesudah diketahui bahwa di sinilah pusat kekuatan militer
yang anti-G-30-S. Nasution tiba di sana pada petang hari.
Tindakan pertama Suharto dalam menghadapi G-30-S ialah
menuntut dua batalyon di Lapangan Merdeka menyerahkan diri. Para
komandan batalyon-batalyon itu, Kapten Sukirno dan Mayor Supeno,
ada di dalam halaman istana (menemani Supardjo dari Halim pada pagi
hari). Para perwira Kostrad menghubungi wakil-wakil komandan batalyon
yang masih ada di lapangan bersama pasukannya. Wakil-wakil komandan
itu berbuat sesuai dengan perintah yang mereka terima: mereka melapor
kepada Suharto di dalam gedung Kostrad. Begitu bertemu dengan mereka,
Suharto memberi tahukan bahwa ia menganggap G-30-S sebagai usaha
kup dan mengancam akan menyerang mereka jika pasukan mereka tidak
menyerah kepadanya pada pukul 6.00 petang hari itu.
Keganjilan lain lagi dari G-30-S adalah bahwa dua batalyon tersebut
– Yon 454 dari Jawa Tengah dan Yon 530 dari Jawa Timur – dipanggil ke
Jakarta oleh Suharto sendiri. Dalam penjelasannya yang pertama di depan
umum tentang peristiwa hari itu, yaitu pidatonya pada 15 Oktober,
Suharto mengakui bahwa dua batalyon itu termasuk anggota Kostrad.
Mereka dibawa ke Jakarta bersama batalyon yang ketiga, Yon 328 dari
Jawa Barat, untuk mengambil bagian dalam parade Hari Angkatan Ber-
senjata yang dijadwalkan pada 5 Oktober. Pada pagi hari 30 September
1965 Suharto memeriksa tiga batalyon itu, di lapangan tempat mereka
berkemah. Pada 1980-an salinan perintah-perintah Kostrad yang asli
kepada tiga batalyon tersebut tersingkap – semuanya ditandatangani
oleh Suharto.55
Sementara mereka berpangkalan di Lapangan Merdeka, tidak
seorang pun dari dua komandan batalyon itu berhubungan dengan
pimpinan G-30-S di Halim. Mereka benar-benar memikirkan sendiri
bagaimana menjawab ancaman Suharto, tanpa berkonsultasi dengan
Untung, Sjam, dan lainnya. Satu batalyon, yaitu Yon 530, meninggal-
kan posisinya dan menyerah ke Kostrad menjelang tengah hari. Kapten
Sukirno dari Yon 454 berhasil mencegah pasukannya untuk membelot
tetapi merasa tidak dapat tetap berada di Lapangan Merdeka tanpa adanya
batalyon yang lain. Ia memerintahkan semua anggota pasukannya naik
truk dan kembali menuju Halim menjelang senja.
Suharto berhasil mengosongkan Lapangan Merdeka dari tentara
tanpa satu letusan senjata pun: satu batalyon menyerah, yang lain
melarikan diri. Pasukan Suharto tidak menemui perlawanan ketika
merebut stasiun RRI sekitar pukul 18.00.57 Di gedung telekomunikasi
pasukan Suharto menjumpai beberapa sukarelawan sipil G-30-S. Karena
sukarelawan-sukarelawan itu sangat bingung apa yang harus mereka
lakukan, dan juga tidak yakin apakah pasukan itu kawan atau lawan,
mereka menunjukkan perlawanan kecil belaka. Mereka dengan cepat
dikalahkan dan diangkut.58 Hingga petang hari G-30-S sudah tidak
mempunyai pasukan yang tersisa di dalam kota. Sisa-sisa kekuatannya
telah kembali ke Lubang Buaya. Suharto menguasai Jakarta. Antara pukul
19.00 dan 20.30 ia memerintahkan RRI untuk menyiarkan pesan yang
telah ia rekam sebelumnya sore itu. Gema suara Suharto di udara menjadi
pertanda berakhirnya G-30-S secara simbolik.
Untuk merebut stasiun RRI, Lapangan Merdeka, dan gedung
telekomunikasi, Suharto menggunakan pasukan RPKAD yang dibawa
dari markas mereka di Cijantung, sebuah kota kecil di selatan Jakarta.
Ia juga menggunakan satu-satunya batalyon Kostrad yang tidak ikut
menggabung dalam G-30-S, Batalyon 328 dari Jawa Barat, dan bagian-
bagian dari Batalyon 530 yang telah menyeberang hanya beberapa jam
sebelumnya. Aneh bahwa Suharto tidak mengambil kesempatan meng-
gunakan pasukan dari garnisun Jakarta (Kodam Jaya) yang berada di
bawah komando Umar Wirahadikusumah. Suharto hanya menggunakan
pasukan-pasukan yang berada langsung di bawah komandonya, bahkan
lebih menyukai pasukan yang pernah ikut serta dalam G-30-S.
Sesudah Lapangan Merdeka bersih, Suharto memalingkan perha-
tiannya ke Halim, yang ia ketahui sebagai basis G-30-S. Berbagai kurir
dan perwira berdatangan di Kostrad dari Halim sejak hari masih sore
dan melaporkan bahwa Supardjo (yang kedudukannya sebagai wakil
komandan gerakan telah diumumkan melalui radio) sedang berunding
dengan Sukarno di sana. Untuk mengisolasi G-30-S di pangkalan AURI
Halim, Suharto tidak mengizinkan seorang pun perwira Angkatan Darat
pergi ke sana, bahkan mereka yang dipanggil oleh presiden sekali pun.
Seperti sudah saya kemukakan, Sukarno telah mengangkat Pranoto
sebagai Panglima Angkatan Darat pada pukul 13.30 dan memerintahkan-
nya untuk datang ke Halim. Sukarno tidak menyadari bahwa Pranoto
dan staf Yani yang masih hidup telah sepakat mengangkat Suharto sebagai
panglima. Suharto tidak mengijinkan Pranoto meninggalkan Markas
Besar Angkatan Darat (MBAD) dan bertemu dengan Sukarno. Dalam
catatan retrospeksi singkatnya Pranoto teringat, “Saya sudah terlanjur
masuk dalam hubungan komando taktis di bawah Mayjen Suharto, maka
saya tidak dapat secara langsung menghadap Presiden/Pangti dengan
tanpa seizin Mayjen Suharto sebagai pengganti Pimpinan AD saat itu.
Atas dasar panggilan dari utusan-utusan Presiden/Pangti tersebut di atas,
saya pun berusaha mendapatkan izin dari Mayjen Suharto. Akan tetapi,
Mayjen Suharto selalu melarang saya untuk menghadap Presiden/Pangti
dengan alasan bahwa dia (Mayjen Suharto) tidak berani mereskir ke-
mungkinan tambahnya korban Jenderal lagi apabila dalam keadaan yang
sekalut itu saya pergi menghadap Presiden.”
Karena Sukarno adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata,
penolakan Suharto untuk mengikuti perintahnya tentang pengangkatan
Pranoto dapat disamakan dengan pembangkangan. Sukarno sudah me-
negaskan bahwa aman bagi Pranoto untuk datang ke Halim. Dengan
demikian Suharto tidak mempunyai alasan, menurut protokol kemiliteran,
untuk meragukan penilaian Sukarno. Suharto menentang atasannya dan
melaksanakan strateginya sendiri. Sementara Sukarno sedang berunding
dengan para pimpinan G-30-S di Halim dan membujuk mereka agar
menghentikan aksi-aksinya, Suharto sibuk merancang serangan militer
terhadap mereka.
Suharto mulai memberikan perintah-perintahnya kepada presiden.
Melalui kurir ia mengatakan kepada Sukarno agar sekitar pukul 20.00
presiden meninggalkan Halim supaya tidak menjadi korban dalam
pertempuran yang akan terjadi. Suharto menyatakan pasukannya akan
menyerang pangkalan udara dan membersihkan seluruh kekuatan
G-30-S. Rupanya melihat bahwa akan sia-sia memerintahkan Suharto
agar menghentikan serangannya, Sukarno bertukar pikiran dengan para
penasihatnya bagaimana jalan yang terbaik untuk melarikan diri dari
Halim. Ia akhirnya memutuskan pergi dengan mobil ke Istana Bogor, di
selatan Jakarta, tempat ia biasa melewatkan akhir pekan. Ia tiba di Istana
Bogor sekitar pukul 22.00.
Dengan tersingkirnya Sukarno, rintangan yang masih tersisa bagi
Suharto tinggal Angkatan Udara. Ia menerima berita bahwa para perwira
AURI di Halim akan memberikan perlawanan jika pangkalan udara
diserang dan sedang memikirkan untuk membom atau memberondong
markas Kostrad. Suharto dan stafnya meninggalkan markas mereka dan
menempati markas baru di dekat stadion Senayan.Ternyata serangan
udara itu tidak pernah terjadi. Bagaimana pun juga, adanya ancaman itu
mengakibatkan persiapan-persiapan Suharto tertunda beberapa jam.
Pasukan RPKAD disiapkan di sepanjang batas selatan pangkalan
udara Halim sejak dini hari 2 Oktober. Mereka bertempur sebentar dengan
pasukan dari batalyon Jawa Tengah yang kebetulan juga berkelompok di
sepanjang jalan yang sama. Sesudah meninggalkan Lapangan Merdeka
pada sore hari sebelumnya, Batalyon 454 bergerak mundur ke Halim, tapi
mendapati pintu-pintu pangkalan udara tertutup. Dilarang memasuki
Halim, mereka melewatkan malam dengan berkeliaran di sepanjang jalan
antara pangkalan udara dan Lubang Buaya. Inilah jalan yang ditempuh
RPKAD ketika masuk sekitar dini hari 2 Oktober. Seorang perwira AURI,
Komodor Dewanto, berhasil menyela dan mencegah pertempuran besar-
besaran antara RPKAD dan pasukan Batalyon 454. Gencatan senjata
segera diadakan yang mendesak agar Batalyon 454 ditarik dari kawasan
dan RPKAD memasuki pangkalan udara. Komandan RPKAD, Kolonel
Sarwo Edhie, menemui para perwira senior Angkatan Udara di Markas
Besar AURI. Ia meyakinkan dirinya bahwa Sukarno benar-benar sudah
pergi dan Halim tidak lagi menjadi ancaman bagi Angkatan Darat.
Angkatan Udara tidak akan melancarkan serangan udara, seperti yang
telah dikhawatirkan Kostrad sepanjang malam sebelumnya.
Suatu saat pada pagi 2 Oktober pimpinan inti G-30-S meninggal-
kan persembunyian mereka di Halim dan pindah ke selatan di Lubang
Buaya. Di sini mereka membahas situasi yang ada dengan para perwira
Batalyon 454 dan anggota-anggota PKI yang ikut serta dalam G-30-S.
Akhirnya semua kekuatan G-30-S membubarkan diri dan pergi ke arah
yang berbeda-beda. Kedatangan RPKAD agaknya mendorong pelarian
mereka. Sjam, Latief, dan Supardjo mencari jalan masuk pusat kota.
Untung dan prajurit-prajurit kawal istana menyelinap dengan kereta
api menuju Jawa Tengah. Aidit dan Omar Dani sudah diterbangkan
keluar Jakarta pada malam hari (Aidit ke Yogyakarta, Omar Dani ke Jawa
Timur). Tamatlah kisah G-30-S di Jakarta. Pada hari berikutnya G-30-S
di Jawa Tengah pun tamat kisahnya.
Ditulis oleh :
JOHN ROOSA
ARSIP
Hoover Institution Archives, Stanford University, California
Guy Pauker Papers
Howard P. Jones Papers
International Institute of Social History, Amsterdam
Indonesian Exiles of the Left Collection
Suparna Sastra Diredja Papers
di provinsi Jawa Tengah dan daerah Yogyakarta.Pemberontakan meluasdi dua wilayah itu. Para perwira muda memberontak terhadap perwira tertinggi di provinsi termaksud, Brigadir Jenderal Suryasumpeno, dan tiga komandan distrik militer. Di ibu kota Jawa Tengah, Semarang, seorang kolonel dari staf Suryasumpeno menduduki stasiun radio, RRI Semarang,dengan sekelompok pasukan pemberontak dan menyatakan diri sebagai
panglima baru pada sekitar pukul 13.00. Ia adalah Kolonel Suherman,
kepala intelijen daerah militer tingkat provinsi.
Di Yogyakarta Mayor Muljono memimpin pasukan pemberontak
menggerebek rumah komandan mereka, Kolonel Katamso. Mereka
menculiknya dan juga kepala stafnya, Letnan Kolonel Sugijono, yang
kebetulan ada di rumah itu ketika para pemberontak datang. Mereka
membawa dua perwira itu ke sebuah kota kecil di utara Yogyakarta,
Kentungan, dan menahan mereka di tangsi batalyon militer di sana.
Kemudian mereka membunuh kedua perwira tersebut.
Para perwira militer yang berada di belakang gerakan di Yogya-
karta, berbeda dari kawan-kawan mereka di Semarang, bekerja dalam
koordinasi dengan penduduk sipil setempat. Massa keluar di jalan-jalan
mendukung G-30-S. Mayor Muljono, sebagai perwira yang bertanggung
jawab atas urusan pertahanan sipil, telah menjalin hubungan erat dengan
organisasi-organisasi sipil, seperti PKI. Ketika para prajurit menculik
Kolonel Katamso, massa pemuda dari berbagai organisasi yang beraļ¬ liasi
dengan PKI mengepung kantor Sultan Yogyakarta, Kepatihan, tempat
kedudukan penguasa sipil. Mereka juga mengambil alih pemancar RRI
Yogyakarta dan mulai menyiarkan pernyataan-pernyataan dukungan
terhadap G-30-S pada sekitar pukul 20.00.
Peristiwa-peristiwa serupa terjadi di Solo, kota terbesar kedua di
Jawa Tengah. Seorang perwira muda memimpin G-30-S. Organisasi-
organisasi sipil sayap kiri mengeluarkan pernyataan mendukung G-30-S,
walaupun tidak disertai aksi-aksi jalanan seperti halnya di Yogyakarta.
Pemimpin pemberontak di Solo, Mayor Iskandar, menyatakan dirinya
sebagai ketua Dewan Revolusi Solo dan memerintahkan prajurit-prajurit
yang setia kepadanya untuk menahan perwira komandannya, Letnan
Kolonel Ezy Suharto, kepala staf Korem (Komando Resort Militer)
Solo, Kapten Parman, dan seorang perwira lain, Letnan Kolonel Ashari.
Mayor Iskandar menyerukan kepada wakil-wakil partai politik untuk
berkumpul dan dengan bantuannya mengadakan rapat pembentukan
Dewan Revolusi kota Solo. Wali kota Solo, Utomo Ramelan, seorang
anggota PKI, mengeluarkan pernyataan mendukung G-30-S.
Di kota lain di Jawa Tengah, Salatiga, para perwira pemberon-
tak bertindak tanpa dukungan sipil sama sekali. Letnan Kolonel Idris,
kepala staf Korem Salatiga, mengerahkan pasukan menentang perwira
komandannya, Kolonel Sukardi, dan seorang perwira militer penting
lain di kota ini, Letnan Kolonel Sugiman. Tidak ada tokoh dan organi-
sasi sipil yang mengeluarkan pernyataan dukungan atau keikutsertaan
dalam demonstrasi-demonstrasi. Wali kota Salatiga, Bakri Wahab, adalah
anggota PKI, namun ia tidak menyatakan dukungannya kepada G-30-S
secara terbuka.
Dengan demikian di Jawa Tengah, pada 1 Oktober malam,
para perwira menengah merebut komando provinsi di Semarang dan
menculik para komandan distrik di tiga kota utama. Hanya di Yogyakarta
penduduk sipil turun ke jalan-jalan memberi dukungan kepada G-30-S,
dan hanya di Solo kaum politisi sipil mengeluarkan pernyataan-per-
nyataan dukungan. Hanya di Yogyakarta perwira-perwira yang diculik
dibunuh. Aksi-aksi yang dilakukan atas nama G-30-S di Jawa Tengah
mengambil pola yang tidak berbeda.
Rupanya G-30-S telah menjalin hubungan dengan para perwira
militer di provinsi-provinsi lain. Dalam analisis postmortemnya Supardjo
menyatakan bahwa G-30-S telah mengirim kurir-kurirnya ke berbagai
provinsi. Sementara para perwira di provinsi-provinsi lain mungkin telah
mengetahui tentang adanya G-30-S, dan berpikir untuk melakukan
tindakan tertentu, namun mereka tetap pasif. Hanya di Jawa Tengah
dan Yogyakarta yang merupakan wilayah-wilayah di luar Jakarta G-30-S
mewujud.
Kembali di Jakarta, seorang jenderal senior Angkatan Darat yang tidak
menjadi sasaran penculikan ialah Mayor Jenderal Suharto, Komandan
Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat atau lebih dikenal sebagai
Kostrad. Pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka (Batalyon 454
dan 530) tidak diperintahkan untuk memblokade markas Kostrad atau
setidaknya menetralisirnya. Pasukan menduduki sisi utara, barat, dan
selatan lapangan tersebut dan membiarkan sisi timur, tempat markas
Kostrad berdiri, kosong. Para perwira Suharto keluar masuk gedung
dengan leluasa sepanjang hari itu saat mereka menyusun rencana serangan
terhadap G-30-S. Salah satu keganjilan besar dari kejadian-kejadian 1
Oktober itu ialah bahwa musuh-musuh G-30-S bekerja di sebuah gedung
yang berada langsung di depan sebagian besar pasukan G-30-S.
Barangkali G-30-S memutuskan tidak menetralisir markas Kostrad
karena Kostrad bukanlah merupakan instalasi militer utama di Jakarta.
Berbeda dengan Kodam Jaya, Kostrad tidak mempunyai pasukan tetap
yang diasramakan di dalam atau sekitar kota. Prajurit-prajurit cadangan
Kostrad selalu dipinjam dari komando-komando daerah (kodam-kodam).
Kostrad mengerahkan batalyon-batalyon untuk penugasan sementara
dalam operasi-operasi tempur tertentu.50 Meskipun demikian, Kostrad
mempunyai arti strategis yang besar, mengingat bahwa yang memimpin-
nya adalah Suharto, tokoh yang terkadang bertugas sebagai panglima
Angkatan Darat setiap saat Yani bepergian ke luar negeri. Jika pasukan
pemberontak ingin menguasai Jakarta, mereka harus memastikan bahwa
Suharto, orang dalam peringkat pertama yang langsung akan mengganti-
kan Yani, tidak dapat mengerahkan pasukan untuk melakukan serangan
balasan. Suharto diangkat menjadi panglima Kostrad pada Mei 1963 dan
karena itu berpengalaman paling tidak dua tahun dalam berhubungan
dengan para perwira puncak militer di Jakarta.
Menurut penuturannya sendiri, Suharto mendengar tentang adanya
tembak-menembak dan penculikan dari tetangga ketika ia masih di ke-
diamannya di Menteng. Ia tiba di Kostrad antara pukul 6.30 dan 7.00
pagi. Karena Suharto menduga Yani sudah terbunuh, ia mengangkat
dirinya sendiri sebagai panglima Angkatan Darat ad interim. Perwira
kunci yang menguasai pasukan paling besar di Jakarta, Umar Wiraha-
dikusumah, pada sekitar pukul 8.00 melapor kepada Suharto dan me-
nempatkan dirinya di bawah komando Suharto.51 Jenderal-jenderal dari
Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) yang selamat mengadakan rapat
darurat sekitar saat yang sama dan memutuskan mengangkat Suharto
sebagai panglima sementara. Menurut salah seorang anggota staf, Mayor
Jenderal Pranoto, yang belakangan ditunjuk Sukarno sebagai panglima,
“rapat memutuskan untuk menunjuk Mayjen Suharto Pangkostrad agar
bersedia mengisi pimpinan A.D. yang terdapat vacuum. Melalui kurir
khusus, maka keputusan rapat kita sampaikan kepada Mayjen Suharto di
MAKOSTRAD.”52 Sepanjang hari itu banyak perwira yang berkumpul
di Kostrad sesudah diketahui bahwa di sinilah pusat kekuatan militer
yang anti-G-30-S. Nasution tiba di sana pada petang hari.
Tindakan pertama Suharto dalam menghadapi G-30-S ialah
menuntut dua batalyon di Lapangan Merdeka menyerahkan diri. Para
komandan batalyon-batalyon itu, Kapten Sukirno dan Mayor Supeno,
ada di dalam halaman istana (menemani Supardjo dari Halim pada pagi
hari). Para perwira Kostrad menghubungi wakil-wakil komandan batalyon
yang masih ada di lapangan bersama pasukannya. Wakil-wakil komandan
itu berbuat sesuai dengan perintah yang mereka terima: mereka melapor
kepada Suharto di dalam gedung Kostrad. Begitu bertemu dengan mereka,
Suharto memberi tahukan bahwa ia menganggap G-30-S sebagai usaha
kup dan mengancam akan menyerang mereka jika pasukan mereka tidak
menyerah kepadanya pada pukul 6.00 petang hari itu.
Keganjilan lain lagi dari G-30-S adalah bahwa dua batalyon tersebut
– Yon 454 dari Jawa Tengah dan Yon 530 dari Jawa Timur – dipanggil ke
Jakarta oleh Suharto sendiri. Dalam penjelasannya yang pertama di depan
umum tentang peristiwa hari itu, yaitu pidatonya pada 15 Oktober,
Suharto mengakui bahwa dua batalyon itu termasuk anggota Kostrad.
Mereka dibawa ke Jakarta bersama batalyon yang ketiga, Yon 328 dari
Jawa Barat, untuk mengambil bagian dalam parade Hari Angkatan Ber-
senjata yang dijadwalkan pada 5 Oktober. Pada pagi hari 30 September
1965 Suharto memeriksa tiga batalyon itu, di lapangan tempat mereka
berkemah. Pada 1980-an salinan perintah-perintah Kostrad yang asli
kepada tiga batalyon tersebut tersingkap – semuanya ditandatangani
oleh Suharto.55
Sementara mereka berpangkalan di Lapangan Merdeka, tidak
seorang pun dari dua komandan batalyon itu berhubungan dengan
pimpinan G-30-S di Halim. Mereka benar-benar memikirkan sendiri
bagaimana menjawab ancaman Suharto, tanpa berkonsultasi dengan
Untung, Sjam, dan lainnya. Satu batalyon, yaitu Yon 530, meninggal-
kan posisinya dan menyerah ke Kostrad menjelang tengah hari. Kapten
Sukirno dari Yon 454 berhasil mencegah pasukannya untuk membelot
tetapi merasa tidak dapat tetap berada di Lapangan Merdeka tanpa adanya
batalyon yang lain. Ia memerintahkan semua anggota pasukannya naik
truk dan kembali menuju Halim menjelang senja.
Suharto berhasil mengosongkan Lapangan Merdeka dari tentara
tanpa satu letusan senjata pun: satu batalyon menyerah, yang lain
melarikan diri. Pasukan Suharto tidak menemui perlawanan ketika
merebut stasiun RRI sekitar pukul 18.00.57 Di gedung telekomunikasi
pasukan Suharto menjumpai beberapa sukarelawan sipil G-30-S. Karena
sukarelawan-sukarelawan itu sangat bingung apa yang harus mereka
lakukan, dan juga tidak yakin apakah pasukan itu kawan atau lawan,
mereka menunjukkan perlawanan kecil belaka. Mereka dengan cepat
dikalahkan dan diangkut.58 Hingga petang hari G-30-S sudah tidak
mempunyai pasukan yang tersisa di dalam kota. Sisa-sisa kekuatannya
telah kembali ke Lubang Buaya. Suharto menguasai Jakarta. Antara pukul
19.00 dan 20.30 ia memerintahkan RRI untuk menyiarkan pesan yang
telah ia rekam sebelumnya sore itu. Gema suara Suharto di udara menjadi
pertanda berakhirnya G-30-S secara simbolik.
Untuk merebut stasiun RRI, Lapangan Merdeka, dan gedung
telekomunikasi, Suharto menggunakan pasukan RPKAD yang dibawa
dari markas mereka di Cijantung, sebuah kota kecil di selatan Jakarta.
Ia juga menggunakan satu-satunya batalyon Kostrad yang tidak ikut
menggabung dalam G-30-S, Batalyon 328 dari Jawa Barat, dan bagian-
bagian dari Batalyon 530 yang telah menyeberang hanya beberapa jam
sebelumnya. Aneh bahwa Suharto tidak mengambil kesempatan meng-
gunakan pasukan dari garnisun Jakarta (Kodam Jaya) yang berada di
bawah komando Umar Wirahadikusumah. Suharto hanya menggunakan
pasukan-pasukan yang berada langsung di bawah komandonya, bahkan
lebih menyukai pasukan yang pernah ikut serta dalam G-30-S.
Sesudah Lapangan Merdeka bersih, Suharto memalingkan perha-
tiannya ke Halim, yang ia ketahui sebagai basis G-30-S. Berbagai kurir
dan perwira berdatangan di Kostrad dari Halim sejak hari masih sore
dan melaporkan bahwa Supardjo (yang kedudukannya sebagai wakil
komandan gerakan telah diumumkan melalui radio) sedang berunding
dengan Sukarno di sana. Untuk mengisolasi G-30-S di pangkalan AURI
Halim, Suharto tidak mengizinkan seorang pun perwira Angkatan Darat
pergi ke sana, bahkan mereka yang dipanggil oleh presiden sekali pun.
Seperti sudah saya kemukakan, Sukarno telah mengangkat Pranoto
sebagai Panglima Angkatan Darat pada pukul 13.30 dan memerintahkan-
nya untuk datang ke Halim. Sukarno tidak menyadari bahwa Pranoto
dan staf Yani yang masih hidup telah sepakat mengangkat Suharto sebagai
panglima. Suharto tidak mengijinkan Pranoto meninggalkan Markas
Besar Angkatan Darat (MBAD) dan bertemu dengan Sukarno. Dalam
catatan retrospeksi singkatnya Pranoto teringat, “Saya sudah terlanjur
masuk dalam hubungan komando taktis di bawah Mayjen Suharto, maka
saya tidak dapat secara langsung menghadap Presiden/Pangti dengan
tanpa seizin Mayjen Suharto sebagai pengganti Pimpinan AD saat itu.
Atas dasar panggilan dari utusan-utusan Presiden/Pangti tersebut di atas,
saya pun berusaha mendapatkan izin dari Mayjen Suharto. Akan tetapi,
Mayjen Suharto selalu melarang saya untuk menghadap Presiden/Pangti
dengan alasan bahwa dia (Mayjen Suharto) tidak berani mereskir ke-
mungkinan tambahnya korban Jenderal lagi apabila dalam keadaan yang
sekalut itu saya pergi menghadap Presiden.”
Karena Sukarno adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata,
penolakan Suharto untuk mengikuti perintahnya tentang pengangkatan
Pranoto dapat disamakan dengan pembangkangan. Sukarno sudah me-
negaskan bahwa aman bagi Pranoto untuk datang ke Halim. Dengan
demikian Suharto tidak mempunyai alasan, menurut protokol kemiliteran,
untuk meragukan penilaian Sukarno. Suharto menentang atasannya dan
melaksanakan strateginya sendiri. Sementara Sukarno sedang berunding
dengan para pimpinan G-30-S di Halim dan membujuk mereka agar
menghentikan aksi-aksinya, Suharto sibuk merancang serangan militer
terhadap mereka.
Suharto mulai memberikan perintah-perintahnya kepada presiden.
Melalui kurir ia mengatakan kepada Sukarno agar sekitar pukul 20.00
presiden meninggalkan Halim supaya tidak menjadi korban dalam
pertempuran yang akan terjadi. Suharto menyatakan pasukannya akan
menyerang pangkalan udara dan membersihkan seluruh kekuatan
G-30-S. Rupanya melihat bahwa akan sia-sia memerintahkan Suharto
agar menghentikan serangannya, Sukarno bertukar pikiran dengan para
penasihatnya bagaimana jalan yang terbaik untuk melarikan diri dari
Halim. Ia akhirnya memutuskan pergi dengan mobil ke Istana Bogor, di
selatan Jakarta, tempat ia biasa melewatkan akhir pekan. Ia tiba di Istana
Bogor sekitar pukul 22.00.
Dengan tersingkirnya Sukarno, rintangan yang masih tersisa bagi
Suharto tinggal Angkatan Udara. Ia menerima berita bahwa para perwira
AURI di Halim akan memberikan perlawanan jika pangkalan udara
diserang dan sedang memikirkan untuk membom atau memberondong
markas Kostrad. Suharto dan stafnya meninggalkan markas mereka dan
menempati markas baru di dekat stadion Senayan.Ternyata serangan
udara itu tidak pernah terjadi. Bagaimana pun juga, adanya ancaman itu
mengakibatkan persiapan-persiapan Suharto tertunda beberapa jam.
Pasukan RPKAD disiapkan di sepanjang batas selatan pangkalan
udara Halim sejak dini hari 2 Oktober. Mereka bertempur sebentar dengan
pasukan dari batalyon Jawa Tengah yang kebetulan juga berkelompok di
sepanjang jalan yang sama. Sesudah meninggalkan Lapangan Merdeka
pada sore hari sebelumnya, Batalyon 454 bergerak mundur ke Halim, tapi
mendapati pintu-pintu pangkalan udara tertutup. Dilarang memasuki
Halim, mereka melewatkan malam dengan berkeliaran di sepanjang jalan
antara pangkalan udara dan Lubang Buaya. Inilah jalan yang ditempuh
RPKAD ketika masuk sekitar dini hari 2 Oktober. Seorang perwira AURI,
Komodor Dewanto, berhasil menyela dan mencegah pertempuran besar-
besaran antara RPKAD dan pasukan Batalyon 454. Gencatan senjata
segera diadakan yang mendesak agar Batalyon 454 ditarik dari kawasan
dan RPKAD memasuki pangkalan udara. Komandan RPKAD, Kolonel
Sarwo Edhie, menemui para perwira senior Angkatan Udara di Markas
Besar AURI. Ia meyakinkan dirinya bahwa Sukarno benar-benar sudah
pergi dan Halim tidak lagi menjadi ancaman bagi Angkatan Darat.
Angkatan Udara tidak akan melancarkan serangan udara, seperti yang
telah dikhawatirkan Kostrad sepanjang malam sebelumnya.
Suatu saat pada pagi 2 Oktober pimpinan inti G-30-S meninggal-
kan persembunyian mereka di Halim dan pindah ke selatan di Lubang
Buaya. Di sini mereka membahas situasi yang ada dengan para perwira
Batalyon 454 dan anggota-anggota PKI yang ikut serta dalam G-30-S.
Akhirnya semua kekuatan G-30-S membubarkan diri dan pergi ke arah
yang berbeda-beda. Kedatangan RPKAD agaknya mendorong pelarian
mereka. Sjam, Latief, dan Supardjo mencari jalan masuk pusat kota.
Untung dan prajurit-prajurit kawal istana menyelinap dengan kereta
api menuju Jawa Tengah. Aidit dan Omar Dani sudah diterbangkan
keluar Jakarta pada malam hari (Aidit ke Yogyakarta, Omar Dani ke Jawa
Timur). Tamatlah kisah G-30-S di Jakarta. Pada hari berikutnya G-30-S
di Jawa Tengah pun tamat kisahnya.
Ditulis oleh :
JOHN ROOSA
ARSIP
Hoover Institution Archives, Stanford University, California
Guy Pauker Papers
Howard P. Jones Papers
International Institute of Social History, Amsterdam
Indonesian Exiles of the Left Collection
Suparna Sastra Diredja Papers
postingan ini berkategori
ARTIKEL
dengan judul
Serangan Suharto terhadap G 30 S
. Jangan lupa menyertakan URL
http://joyodrono-cahmabung.blogspot.com/2011/09/serangan-suharto-terhadap-g-30-s.html
. Jika ingin memposting ulang . Terima kasih!
1 Komentar untuk " Serangan Suharto terhadap G 30 S "
NAMA SAYA PA,ANWAR, SAYA HANYA INGIN BERBAGI CERITAH DENGAN KALIAN,PENGGILAH TOGEL, AWALNYA ITU SAYA HANYA KULIT BAGUNANG, ANAK SAYA DUA,ISTRI HANYA PENJUAL NASI BUKUS, EKONOMI KAMI SANGAT PAS-PASAN, HUTAN TAMBAH MENUMPUK, ANAK SAYA JUGA MAU BIAYA SEKOLAH, SAYA AKHIRNYA ADA TEMAN LANSUNG KASIH NOMOR HP MBAH SIGIT KATANYA DIA BISA MEMBANTU ORANG SUSAH JADI SAYA LANSUNG HBU MBAH SIGIT DAN MENCERITAKAN SEMUANYA,TENTENG KELUARGA KAMI AKHIRNYA DI KASIH ANGKA GAIB [4D ,8009] TEMBUS,DENGAN ADANYA MBAH SIGIT ,SAYA SEKELUARGA BERSUKUR SEMUA UTANG SAYA LUNAS BAHKAN SEKARANG SAYA SUDAH BUKA USAHA SILAHKAN ANDA BUKTIKAN. SENDIRI, INSYA ALLAH ANDA TIDAK AKAN KECEWA BAGI YANG BERMINAT HUB MBAH SIGIT DI NOMOR INI ; 0853 2290 3889 TERIMAH KASIH.
///////
Posting Komentar