• Puisi
  • TV Online
  • Radio online
  • Live score Bola
  • Film
  • Games
  • Tukar Link
  •  joyodrono
    Diberdayakan oleh Blogger.

    Di Hatimu ku titip cinta, Bagian 2

    Elsa tak pernah lupa awal kepergiannya ke Jakarta waktu itu. Masih terlintas di kepalanya betapa ia membenci sikap kolot Ayahnya yang hendak menjodohkannya dengan Pak Parlin, Juragan kaya yang tersohor di kampungnya itu.

    "Pokoknya Elsa tidak mau , Yah!" tandasnya waktu itu ketika Ayahnya mengemukakan pendapatnya akan menjodohkan dan mengawinkan dirinya dengan Juragan yang punya istri lebih dari seorang itu.

    "Tidak mau bagaimanan, Elsa?" Sang Ayah memandangnya dalam. "Kamu tahu, Ayah kan sudah menerima lamaran Juragan Parlin. Jangan bikin malu dengan penolakanmu, Nak."
    "Ayah!" pekiknya kaget. "Kenapa Ayah tidak bilang hal itu lebih dulu pada Elsa? Kenapa Ayah sembarang menerima lamaran itu?"

    "Elsa," Ibunya ikut menengahi. "Pak Parlin begitu memaksa ingin memperistrimu. Maka itu tanpa tenggang waktu lagi, diapun segera memutuskan untuk melamarmu memperistrimu,Nak..."

    "Tidak!" serunya tegas ketika itu. "Elsa tak sudi dijadikan istri ke kempat olehnya. Kalau boleh memilih, mending Elsa kawin dengan pemuda miskin sekalian daripada menerima lamaran orang kaya yang tidak pernah puas mengoleksi istri!".

    "Elsa," Ibunya kembali memanggil dengan lembut. "Sengaja kami memilihkan Pak Parlin sebagai suamimu,karena bukan apa-apa,Nak. Kami tak ingin hidupmu susah. Kami ingin melihat kamu hidup bahagia dan tidak kekurangan seperti kami..."

    "Pikiran kuno! Kolot!" sergahnya cepat. "Apa Ibu pikir kebahagiaan itu bisa di beli dengan Harta? Apa Ibu pikir dengan harta kita bisa hidup bahagia dan saling mencinta?"

    "Cinta itu bisa tumbuh di kemudian hari Elsa," ayahnya yang sejak tadi diam kini mulai membuka suaranya. "Lihatlah kamikami Ayah dan Ibumu dulu, Nak. Ketika kami menikah juga tidak ada cinta di hati masing-masing. Namun,waktu jualah yang menghadirkan cinta itu perlahan-lahan."

    "Elsa mengerti hal itu, Ayah," bantahnya lagi. "Tapi,tidakkah Ayah melihat dan merasakan kalau Ayah dan Ibu sama-sama belum pernah menikah waktu di jodohkan dulu? Tidakkah Ayah merasakan betapa Ayah dan Ibu masih sama - sama remaja ketika menikah dulu? Lantas,bagaimana dengan Elsa?"

    Kedua orang tuanya hanya menarik napas mendengar ucapan yang dilontarkan anaknya itu. Memang, apa yang dikatakan Elsa tidak bertolak belakang dan benar adanya. Mereka memang masih sama-sama muda ketika dijodohkan dulu. Mungkin itu sebabnya mereka bisa membina dan menjalin tali kasih samapai sekarang ini. Tapi bagaimana dengan Elsa?

    Sungguh tak terlintas dalam pikiran mereka kalau Elsa akan memprotes tindakan mereka yang telah dengan begitu saja menerima lamaran Juragan Parlin yang sudah tak muda lagi itu, bahkan telah mempunyai tiga orang istri.

    Ah, bagaimana mereka bisa lebih mementingkan materi yang terlihat daripada keadaan yang sebenarnya?Mengapa mereka tak pernah berpikir bahwa Juraga Parlin lebih pantas menjadi paman Elsa ketimbang suami putrinya itu? Apakah keadaan mencari nafkah sehari-hari saja susah, yang telah mengilhami pikiran mereka dengan menerima lamaran juragan itu begitu saja tanpa mempertimbangkan lebih dulu?

    Kini, kedua orangtua itu membisu seribu bahasa dengan pikiran kalut.Bagaimana sebaiknya? Jalan apa yang harus diambil?

    "Pokoknya Elsa tetap tidak mau dijodohkan dengan Pak Parlin, apa pun alasannya, Yah!" ucap Elsa kemudian, menggelegar.
    Dan kedua orang tua itu pun cuma terpaku begitu putri sulung mereka melangkah pergi meninggalkannya.

    Di kamarnya, Elsa menangis tersedu-sedu. Sedih hatinya memikirkan apa yang akan terjadi nanti. Juaragan Parlin memang kaya raya.Dan Elsa percaya kalau ia jadi menikah dengan lelaki tua yang kebih pantas menjadi pamannya itu hidupnya tidak akan kekurangan. Mungkin ia akan dapat merasakan bagaimana hidup dengan harta melimpah.

    Tapi, di manakah hati dan perasaannya kalau ia nekat menerima lamaran lelaki tua itu? Bagaimana pula dengan ketiga istri Juaragan Parlin yang lainnya?Tidakkah mereka juga akan merasa sedih dan tersisih?

    Semua pikiran itu memang sempat singgah dalam kepala Elsa. Namun yang lebih mendominan perasaannya, bagaimana perasaan Hardi? Marahkah dia mengetahui kekasihnya akan dinikahkan dengan lelaki lain? Tidakkah dia akan tersinggung mengetahui pujaan hatinya akan dijodohkan dengan lelaki tua yang mempunyai harta berlimpah?

    Berbagai perasaan berkecamuk dalam hati Elsa. Ia sungguh-sungguh bingung, haruskah ia menceritakan perihal ini pada Hardi atau menyembunyikannya saja?

    Keputusan akhirnya diambil Elsa dengan menceritakan semuanya pada Hardi. Ketimbang berita itu datang dari mulut lain yang belum tentu semuanya benar, toh lebih baik ia yang mengemukakan lebih dulu. Biar bagaimana, cepat atau lambat toh Hardi akan mengetahui juga.

    Malam itu dengan berdusta pada orang tuanya dan mengatakan bahwa ia akan mengunjungi rumah teman baiknya Rosi, Elsa pun mengendap-endap menemui Hardi di tempat biasa mereka bertemu.

    "Ada kabar nuruk buat hubungan kita, Har," desahnya dengan raut wajah suram. Diperhatikannya paras wajah cowok dihadapannya yang nampak tenang, namaun dari sinar matanya Elsa dapat menangkap keresahan yang menggayuti.

    "Berita buruk apa, El?" Soal juragan itu kah?" tanya Hardi.
    "Benar Har,"Elsa menganggukan kepalanya. "Semalam orang tuaku memberi tahu bahwa mereka sudah menerima lamaran lelaki tua itu...."
    "Hah?! JAdi....," HArdi terkesiap.Dibalasnya tatapan Elsa dalam-dalam.
    "Aku menyesali keputusan ini Har. Tanpa sepengetahuanku, mereka begitu saja menerima lamaran itu...,:desahnya lirih.

    Beberapa saat mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Bukan Hardi tak tahu kalau Juragan Parlin memang mengincar Elsa dan begitu bernafsu untuk menjadikan gadis itu sebagai istrinya. di kampung mereka, Juragan Parlin memang terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Sawahnya berhektar-hektar, kebunnya luas, bahkan rumah yang di tinggalinya pun begitu mewah dan mentereng. Bukan saja rumah istri pertamanya yang dibangun megah dan mentereng, rumah istri kedua dan ketiga pun tidak kalah bagusnya. Dengan ketiga istrinya itu Juragan Parlin mendapatkan enam orang anak.

    Dalam diam Hardi cuma bisa mendesah. Diremasnyakepalanya dengan pikiran kalut. Apa yang kurang pada Juragan Parlin? Harta berlimpah, istri yang lebih dari satu serta anak-anak yang hampir selusin,apakah itu belum cukup memuaskan hatinya? Kini,lelaki tua yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu telah mempersunting kekasih hatinya dengan diam-diam.Apa yang harus diperbuatnya? Haruskah ia mempetahankan Elsa, gadis yang begitu dicintainya, atau membiarkan Elsajatuh begitu saja ke dalam pelukan lelaki yang lebih pantas menjadi pamannya itu?

    Hardi menelan ludahnya yang terasa getir. Mampukah ia mempertahankan kekasih hatinya? Mampukah ia bersaing dengan Juragan Parlin dalam memperebutkan gadis cantik itu?

    "Har..," panggilan lembut Elsa kembali menyadarkan cowok itu dari terawangnya. Dengan segera Hardi membetulkan letak duduknya dan memandang wajah gadis di hadapannya dalam-dalam.
    "Apa yang harus kita perbuat, Har? Sungguh, aku tak sudi di nikahkan dengan lelaki yang telah beristri," ujar Elsa kemudian dengan suara bergetar.

    Kembali Hardi termangu mendengar ucapan yang dilontarkan Elsa. Yah, apa yang harus diperbuatnya? Mempertahankan gadis itu atau....
    "Hardi...," desah Elsa lagi, hampir tak terdengar. "Apa yang mesti kita perbuat dong?
    Bantulah aku...aku... tak ingin berpisah darimu, Har."

    "Begitupun aku, El,"Hardi merengkuh bahu gadis itu dan membawanya ke dalam pelukannya. "Tapi...aku bingung, apa yang mesti kulakukan menghadapi kasus ini..."
    "Kamu harus punya pendirian Har," Elsa cepat menyahut.

    "Yah," Hardi mengangguk lemah. "Tapi, bagaimana mungkin aku dapat bersaing dengan Juragan Parlin? Kau tahu, keluargaku hanyalah ke;uarga miskin yang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan lelaki itu. Mana mungkin orangtuamu mau menerima diriku?"

    Kembali mereka terdiam.Elsa tahu apa yang dikatakan Hardi memang ada benarnya. Keluarga cowok itu memang keluarga miskin, namun mungkin kedua orang tuanya yang mendambakannya hidup berkecukupan mau menerima dirinya sebagai menantu?

    Keduanya terhanyut dengan pikiran masing-masing. Elsa mencoba berpikir dalam untuk mencari jalan keluarnya. Tak lama kemudian ia memandang cowok di sisinya dengan wajah berseri-seri.

    "Aku punya ide Har," cetusnya gembira."Bagaimana kalau kita kawin lari saja?"
    "Kawin lari?" Hardi terbeliak.
    "Ya," angguk Elsa mantap. "Kenapa kita tidak kamin lari saja agar terhindari dari hal yang bikin pusing ini?"

    Hardi melayangkan pandangannya ke arah pohon tinggi yang berada tidak jauh dari tempat mereka. Suasana yang tidak begitu tenang, malah nyaris gelap membuat pohon itu bagaikan sebuah bayangan raksasa yang mencari mangsa. Apalagi saat angin mempermainkan daun-daunnya yang rimbun. Dan Hardi pun menarik napasnya melihat itu.

    Haruskah ia mengikuti saran Elsa untuk kawin lari? haruskah ia meninggalkan ibunya yang sudah menjanda dengan tiga orang adiknya yang masih kecil? Kalau ya, siapa yang akan membantu keluarganya mencari nafkah? Sejak ayahnya meninggal tiga tahun lalu, otomatis beban keluarga pun jatuh di pundaknya. Ia harus bekerja setiap harinya untuk mendapatkan uang dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Ibunya yang sudah tua pun tak mau tinggal diam melihat putra sulungnya bekerja membanting tulang untuk biaya hidup mereka sehari-hari, maka ia pun ikut membantu dengan berjualan nasi uduk setiap paginya di depan rumahnya.

    Dan sekarang Elsa, gadis yang dicintainya mengajaknya untuk kawin lari, itu kan sama saja dengan menyuruhnya melepaskan tanggung jawabnya terhadap ibu dan adik-adiknya.
    Ah, tegakah ia melakukan itu?

    "Bagaimana, Har?"pertanyaan Elsa kembali mengusik lamunannya. Dilihatnya betapa gaids itu menatapnya penuh harap.

    "Rasanya....aku tak berani El," desisnya kemudian, hampir tak terdengar. Dibuangnya pandangannya ke arah lain agar ia tak melihat kalau gadis itu memandangnya dengan kecewa.

    "Hardi!" Elsa terperangah mendengar jawaban yang sungguh tak diduganyaitu. "Kamu...kamu sudah tak mencintaikulagi?"
    "Bukan masalah itu El," ucap Hardi kemuidan dengan suara yang tercekat di tenggorokan.
    "Aku tidak tega kalau sampai meninggalkan keluargaku. Kamu tahu kan, selama ini aku yang menjadi tulang punggung bagi kehidupan kami? Bahkan hasil kerjaku saja tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya lainnya, sampai ibuku pun ikut membantu mencari uang. Bagaimana mungkin aku meninggalkan mereka?"

    Seketika bibir Elsa terkatup mendengaralasan yang diberikan Hardi padanya.Kalimat itu memang tidak berlebihan. Selama ini Hardi lah yang bekerja membanting tulang untuk kehidupan keluarganya, bagaimana mungkin ia tega meninggalkan keluarganya begitu saja? Tapi, tidakkah Hardi memikirkan kesulitannya saat ini? Tidakkah Hardi memikirkan kalutnya perasaannya saat ini? Apakah ada hal lain yang dapat memberikan jalan keluar hingga ia terbebas dari perkawinan paksa itu?

    "Aku mengerti dengan keadaan keluargamu har," sahut Elsa kemudian setelah beberapa saat terdiam."Selama ini kamulah yang menjadi harapan dan tumpuhan mereka.Tapi,tidakkah kau kasihan padaku? Relakah kau melepaskanku ke pelukan lelaki lain yang sesungguhnya tak ku cintai? Kalau saja kau tahu, betapa cintaku hanya untukmu seorang Har. Hanya kaulah yang telah mencuri cinta pertamaku dan membuatku beranggapan hanya kaulah lelaki yang pantas menjadi suamiku."

    "Elsa," Hardi segera memeluknya erat-erat. Betapa tersentuh hatinya mendengar pengakuan dari gadis yang dicintainya barusan. Diciumnya rambut harum Elsa."Maafkan aku, El. Maafkan aku. Aku mengerti kalau kau mencintaiku dengan setulus hati. Tapi, aku benar-benar tak dapat mengambil keputusan saat sekarang ini, El."

    Elsa membalikkan tubuhnya dan memandang wajah Hardi dengan mata menyipit.
    "Ucapanmu mencerminkan bahwa kau tidak mau peduli pada kesusahanku. Kau lebih mementingkan keluargamu daripada aku," cetusnya dengan nada sinis.

    "Elsa!" tukas Hardi cepat. Tak menyangka kalau kekasihnya akan menuduh seperti itu padanya." Jangan kau berkata begitu! Mengertilah akan keadaanku.."

    "Sudahlah,"gadis itu menepiskan tangannya." Aku tahu dihatimu sekarang. Kau lebih mementingkan dan mendahului keluargamu ketimbang aku. Tidak layak rasanya aku mengharapkanmu."

    "Jangan bicara begitu Elsa," Hardi mulai panik. "Biar kupikirkan matang-matang dulu apa yang harus kita perbuat nanti."

    "Waktuku tidak banyak, Hardi. Sebaiknya putuskanlah sekarang apakah kau menyetujui usulku atau tidak," ucapnya tegas.

    "Beri aku waktu untuk berpikir, Elsa. aku tak dapat memutuskan secepat ini,"sahut Hardi memelas.

    Elsa menggigit bibirnya. Rasanya punah sudah harapannya untuk terus bersandar pada Hardi. Kelihatannyacowok itu lebih cenderung memilih keluarga ketimbang dirinya.

    "Rasanya tak ada lagi yang dapat kuharapkan darimu, Har," ujarnya kemudian lemah. Ditahannya air mata agar jangan sampai jatuh di pipinya. " Aku tahu, akmu lebih berat meninggalkan ibumu dan adikmu..."

    "Sabarlah El, aku akan membantumu mencarikan jalan keluar yang terbaik," ujar Hardi lagi berusaha meyakinkan.

    "Tidak perlu, Har," Elsa menggelengkan kepalanya." Aku tak ingin merepotkan dirimu. Biarlah kucari jalanku sendriri. Selamat tinggal," tanpa berkata apa-apa lagi Elsa pun segera berlari meninggalkan Hardi yang sempat terperangah melihat sikapnya.

    "Elsa, tunggu," pekiknya.
    Tapi terlambat. Elsa sudah semakin jauh dan bergegas naik ke sebuah kendaraan umum yang kebetulan berhenti di dekatnya.

    Cowok itu cuma bisa termangu dengan hati kalut. Kenyataannya yang diterimanya itu benar-benar memusingkan pikirannya. Dalam hatinya yang paling dalam ia mat menyayangi dan mencintai gadis itu, namun dia juga tak dapat meninggalkan keluarganya begitu saja. Dalam keheningan kembali Hardi menghempaskan napasnya yang terasa berat.

    Dua hari kemudian kembali terdengar kabar yang cukup menyentakkan hatinya. Elsa pergi meninggalkan rumah! Dari jauh Hardi cuma dapat melihat betapa orang tua gadis itu kelabakan mencari anak gadisnya yang hilang. Namun tak ada seorang pun yang tahu ke mana perginya Elsa. Tidak juga dirinya. Karena sebelumnya gadis itu memang tak pernah mengungkapkan akan pergi ke mana.

    Sungguh Hardi tak menyangka kalau Elsa akan senekat itu. Begitu kuatnya pendirian gadis itu, hingga ia berani meninggalkan kampung halamnnya seorang diri untuk mempertahankan niatnya yang tak sudi dijodohkan dengan laki-laki yang tak dicintainya.

    Dan Hardi pun harus menerima kenyataan yang terjadi kemudian. sejak pertemuan terakhir itu ia tak pernah berjumpa lagi dengan Elsa. Gadis yang dicintainya itu seprti raib ditelan bumi. Bukan hanya dirinya saja yang kehilangan gadis bermata indah itu, tapi juga orangtua Elsa.

    Dan itu terjadi sampai bertahun-tahun lamanya..........


    Bersambung..........



    Di tulis Oleh :


    Translate to : by

    postingan ini berkategori CERITA / CERPEN dengan judul Di Hatimu ku titip cinta, Bagian 2 . Jangan lupa menyertakan URL http://joyodrono-cahmabung.blogspot.com/2013/03/di-hatimu-ku-titip-cinta-bagian-2.html . Jika ingin memposting ulang . Terima kasih!

    Belum ada komentar untuk " Di Hatimu ku titip cinta, Bagian 2 "

    On Facebook

    Pengikut

    On Twitter

    News Google