Pesta perjamuan makan malam yang di adakan di sebuah rumah megah dengan halaman rumah cukup luas itu lumayang meriah. Elsa sempat berdecak kagum melihat penampilan tamu-tamu yang datang. Semuanya serba eksklusif dan glamour. Untung saja sebelum pergi tadi ia sempat menyetujui saran tanti yang menyuruhnya memakai gaun mewah kepunyaan gadis itu. Kalau tidak, tentu Elsa akan merasa minder membandingkan penampilannya dengan tamu-tamu yang lain.
Sejak Priantono menikahinya lima tahun lalu, belum pernah memang suaminya itu membelikannya gaun pesta yang sudah pasti mahal harganya. Karena Pri sendiri juga tak pernah mendapatkan undangan untuk pergi ke pesta semacam ini. Apalagi kedatangan mereka ke Jakarta waktu itu tanpa membawa bekal yang cukup berarti. Pri benar-benar meninggalkan kekayaan orangtuanya yang akan di wariskan padanya dan lebih suka memulai segala sesuuatunya dari bawah lagi.
Dan Elsapun cukup merasa bersyukur, walau hidupnya serba pas-pasan tapi mereka selalu rukun dan tak pernah ribut besar. Apalagi sejak kelahiran kedua anaknya, Pri makin sayang padanya dan memutuskan lebih giat lagi dalam mencari nafkah. Mungkin ia bekerja tanpa mengenal lelah itulah yang membuatnya menderita sakit lalu akhirnya meninggal dunia.
Kini Elsa Cuma bisa pasrah menghadapi derita yang menimpanya. Di tambah lagi dua sahabat baiknya, Noni dan Tanti, Tak henti-hentinya menasehati untuk melupakan kenangan manis yang telah berlalu. Toh hidup bukan hanya untuk hari ini saja.
Sekali lagi Elsa memperhatikan penampilannya yang memang agak lain dari biasanya. Gaun pesta berwarna hitam di padu rompi merah hati membuatnya kelihatan manis dan sedap di pandang. Wajahnya yang cantik dengan make up tidak terlalu menor membuat Elsa begitu menarik dan tak bosan di pandang terus menerus. Sebenarnya tanpa berdandanpun sudah cantik secara natural. Karena itulah dulu di kampungnya membuat Juragan kaya ingin memperistrinya.
Dan Elsa pun merasa lega karena pihak tuan rumah menyediakan Baby sister empat untuk menjaga anak-anak dari tamu yang di undangnya. Koko dan Kiki pun asyik bermain dengan teman yang sebayanya.
“Acara dansa hampir di mulai, El. Mau turun?.” Tanya Noni sambil menyodorkan dua gelas minuman. Noni Cuma tersenyum mendengar keterangan-keterangan yang di ungkapkan Elsa. “Sekali-kali mencoba kan tidak apa-apa. Siapa tahu bisa,” kata Nomni kemudian.
“Sana kamu aja deh,” tolak Elsa halus. “Kamu dan Tanti kan masih single, jadi masih pantas untuk berlaku yang bagaimanapun.”
“Lho memang kalau kamu tidak pantas?” Noni memandangnya tanpa berkedip. “Walaupun Mas Pri tiada, tapi aku sudah berkeluarga Non. Malu dong sama anak-anak kalau aku bertingkah yang berlebihan,” kilahnya kemudian.
“Tapi, kamu kan masih muda El? Usiamu pun masih sebaya denganku.”
“Memang betul,” Elsa mengangguk. “Tapi statusku yang menjanda membuatku harus hati-hati bertingkah laku kalau tidak di cemooh orang.”
“Aku kan Cuma mengajakmu turun melantai,El. Apa itu jelek?” Noni memprotes. “Sudahlah ,Non,” Elsa kembali menggelengkan kepalanya. “Tidak enak rasanya kalau kita berdebat soal itu. Kalau memang kamu mau berdansa, turunlah. Nggak apa-apa kok aku sendirian di sini,” ucapnya lagi menenangkan.
“Suer?”
“Suer,” Elsa mengangguk. “Masuklah sana, kasihan Anton pasti mencarimu.”
Noni Cuma bisa meringis dan tersipu malu, begitu Elsa menyebut nama cowok yang akhir-akhir ini dekat dengan Noni. “oke deh, aku masuk dulu ya,” Noni mengulaskan senyum manis sebelum berlalu. Dan Elsapun membalas senyuman itu.
Sepeninggal Noni, Elsa menghembuskan nafasnya pelan. Suasana yang ramai dan tertib meang cukup menyegarkan hati Elsa. Apalagi dari tempat duduknya ia juga bisa memperhatikan anak-anaknya bisa bermain dengan gembira. Tidak harus terkurung sendirian di rumahnya terus menerus.
“Sendirian Non?” Tanya lembut seorang lelaki berpenampilan eksklusif dengan jas abu-abu menghampirinya. “Oh, eh, ii...iya,” Sahutnya tergagap, tak mengira akan mendapat pertanyaan seperti itu.”Boleh aku duduk di sini?” Lelaki itu menunjuk bangku yang tadi di duduki Noni.
“Silahkan,” mau tak mau Elsa mengangguk juga. Tidak ada hak baginya untuk melarang lelaki itu duduk di sana. Toh dia sendiri juga tamu di rumah itu. “Sudah makan belum:” tanya lelaki itu lagi memecah kebisuan yang sempat terjdi di antara mereka berdua. “Sudah,” Elsa mengangguk pelan.
“Tidak turun melantai?” kembali lelaki itu bertanya,seakan tak ingibn menjadi kebisuan antara mereka. “Tidak,” singkat saja Elsa menyahut.
Lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban dari Elsa. Lelaki itu diam-diam memperhatikan Elsa. Elsa Cuma menunudukkan wajahnya begitu tahu lelaki itu dengan teliti memperhatikannya. Di tekannya debar jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang. Ah, mau apa laki-laki ini? Mengapa ia memandangku begitu? Tanyanya dalam hati.
“Oya, kita belum kenalan. Nama saya Fery, Anda siapa?” sekonyong-konyong lelaki itu menjulurkan tangannya, yang seketika itu di sambut Elsa sambil menyebukan namanya, karena ia tak ingin di bilang sombong ayau kampungan bila menolak perkenalan itu.
“Kamu datang sendiri?” tanya Fery.
“Ramai-ramai, Mas” sahut Elsa kemudian terus terang. Fery memandangnya separuh heran. “Mana teman-temanmu lainnya?” tanya Fery lagi. “Ada di dalam. Mungkin melantai.” Jawab Elsa.
“Kenapa kamu tidak ikut dengan mereka?” lagi-lagi Fery bertanya.
“Tidak ah, lebih enak di sini. Banyak pemandangannya,” sambil Elsa mengarahkan pandangan matanya ke tempat anak-anaknya bermain.
“Sejak tadi kulihat, pandanganmu selalu mengarah kesana terus. Kamu bawa keponakan?” tanya Fery lagi setelah menarik nafas sesaat.
“Bukan keponakan, Mas tapi anak,” ungkap Elsa jujur.
“Oya?” Kali ini Fery tak dapat menyembunyikan kekagetannya. “Kamu... Kamu bawa anak?”
“Benar, Mas,” angguknya
“Berapa orang anakmu?”
“Dua,” diam-diam Elsa menggerutu dalam hati. Sejak tadi hanya perttanyaan terus yang di lontarkan lelaki di hadapannya. Mau apa sih sebenarnya?
“Kalau kedua anakmu di bawa, pasti Papanya ikut dong?” tanya Fery lagi membuat hati Elsa berdegub kencang. “Mm..... Papa mereka sudah meninggal sebulan yang lalu,” ucap Elsa polos.
“Oh, eh, maaf, aku telah membangkitkan kenangan pahitmu,” Fery terperangah namun dengan cepat ia membenahi reaksinya kembali. “Tidak apa-apa,” Elsa menelan ludahnya yang terasa getir.
Suasana sesat kembali terdiam, seakan sibuk dengan pikiran masing-masing. D tempatnya Fery termangu rikuh. Pengakuan polos yang di ungkapkan Elsa membuatnya terkesima. Fery tidak menyangka kalau wanita secantik itu sudah di karuniai anak, bahkan baru saja di tinggal mati suaminya. Oh, betapa malangnya nasib mereka.ujar Fery dalam benaknya.
“Kalau boleh ku tahu, kamu tinggal di mana Elsa?” tanya Fery lagi memecah keheningan. Elsa tercenung mendengar pertanyaan itu. Ah, untuk apa Fery tanya itu? Haruskah dia memberi tahukan alamatnya? Di buangnya jauh-jauh pikiran buruknya dengan menyebutkan alamatnya kepada Fery. Dan fery pun langsung mencatat dalam ingatannya.
“Boleh kan kalau kapan-kapan aku main ke rumahmu? Tanya Fery lagi membuatnya kikuk.
“Silahkan aja, Mas,” pikiran realitasnya kembali menyuruhnya untuk berucapdemikian.
Fery tersenyum senang. Di pandangnya lagi sosok wanita yang entah mengapa telah membuatnya tertarik ini.
Sementara di tempatnya Elsa begitu gelisah. Brengsek benar Noni dan Tanti. Kenapa mereka tidak segera muncul dan mengajaknya berlalu dari tempat ini? Apakah mereka sudah terlanjur asyik dengan pasangan masing-masing hingga begitu saja melupakannya? Meras tak enak berdua-duaan terus dengan lelaki yang baru di kenalnya, Elsapun segera minta diri. “Maaf ya Mas, saya mau menemui anak-anak dulu.”
“Oh, silahkan, Elsa” tutur fery.
Dengan hati lega Elsa pun segera meninggalkan lelalki itu, menyusul anak-anaknya yang masih asyik bermain. Di lihatnya anak-anaknya masih menikmati permainan mereka, Elsa merasa gembira melihat anak-anaknya riang bermain.
Bersambung................
Sejak Priantono menikahinya lima tahun lalu, belum pernah memang suaminya itu membelikannya gaun pesta yang sudah pasti mahal harganya. Karena Pri sendiri juga tak pernah mendapatkan undangan untuk pergi ke pesta semacam ini. Apalagi kedatangan mereka ke Jakarta waktu itu tanpa membawa bekal yang cukup berarti. Pri benar-benar meninggalkan kekayaan orangtuanya yang akan di wariskan padanya dan lebih suka memulai segala sesuuatunya dari bawah lagi.
Dan Elsapun cukup merasa bersyukur, walau hidupnya serba pas-pasan tapi mereka selalu rukun dan tak pernah ribut besar. Apalagi sejak kelahiran kedua anaknya, Pri makin sayang padanya dan memutuskan lebih giat lagi dalam mencari nafkah. Mungkin ia bekerja tanpa mengenal lelah itulah yang membuatnya menderita sakit lalu akhirnya meninggal dunia.
Kini Elsa Cuma bisa pasrah menghadapi derita yang menimpanya. Di tambah lagi dua sahabat baiknya, Noni dan Tanti, Tak henti-hentinya menasehati untuk melupakan kenangan manis yang telah berlalu. Toh hidup bukan hanya untuk hari ini saja.
Sekali lagi Elsa memperhatikan penampilannya yang memang agak lain dari biasanya. Gaun pesta berwarna hitam di padu rompi merah hati membuatnya kelihatan manis dan sedap di pandang. Wajahnya yang cantik dengan make up tidak terlalu menor membuat Elsa begitu menarik dan tak bosan di pandang terus menerus. Sebenarnya tanpa berdandanpun sudah cantik secara natural. Karena itulah dulu di kampungnya membuat Juragan kaya ingin memperistrinya.
Dan Elsa pun merasa lega karena pihak tuan rumah menyediakan Baby sister empat untuk menjaga anak-anak dari tamu yang di undangnya. Koko dan Kiki pun asyik bermain dengan teman yang sebayanya.
“Acara dansa hampir di mulai, El. Mau turun?.” Tanya Noni sambil menyodorkan dua gelas minuman. Noni Cuma tersenyum mendengar keterangan-keterangan yang di ungkapkan Elsa. “Sekali-kali mencoba kan tidak apa-apa. Siapa tahu bisa,” kata Nomni kemudian.
“Sana kamu aja deh,” tolak Elsa halus. “Kamu dan Tanti kan masih single, jadi masih pantas untuk berlaku yang bagaimanapun.”
“Lho memang kalau kamu tidak pantas?” Noni memandangnya tanpa berkedip. “Walaupun Mas Pri tiada, tapi aku sudah berkeluarga Non. Malu dong sama anak-anak kalau aku bertingkah yang berlebihan,” kilahnya kemudian.
“Tapi, kamu kan masih muda El? Usiamu pun masih sebaya denganku.”
“Memang betul,” Elsa mengangguk. “Tapi statusku yang menjanda membuatku harus hati-hati bertingkah laku kalau tidak di cemooh orang.”
“Aku kan Cuma mengajakmu turun melantai,El. Apa itu jelek?” Noni memprotes. “Sudahlah ,Non,” Elsa kembali menggelengkan kepalanya. “Tidak enak rasanya kalau kita berdebat soal itu. Kalau memang kamu mau berdansa, turunlah. Nggak apa-apa kok aku sendirian di sini,” ucapnya lagi menenangkan.
“Suer?”
“Suer,” Elsa mengangguk. “Masuklah sana, kasihan Anton pasti mencarimu.”
Noni Cuma bisa meringis dan tersipu malu, begitu Elsa menyebut nama cowok yang akhir-akhir ini dekat dengan Noni. “oke deh, aku masuk dulu ya,” Noni mengulaskan senyum manis sebelum berlalu. Dan Elsapun membalas senyuman itu.
Sepeninggal Noni, Elsa menghembuskan nafasnya pelan. Suasana yang ramai dan tertib meang cukup menyegarkan hati Elsa. Apalagi dari tempat duduknya ia juga bisa memperhatikan anak-anaknya bisa bermain dengan gembira. Tidak harus terkurung sendirian di rumahnya terus menerus.
“Sendirian Non?” Tanya lembut seorang lelaki berpenampilan eksklusif dengan jas abu-abu menghampirinya. “Oh, eh, ii...iya,” Sahutnya tergagap, tak mengira akan mendapat pertanyaan seperti itu.”Boleh aku duduk di sini?” Lelaki itu menunjuk bangku yang tadi di duduki Noni.
“Silahkan,” mau tak mau Elsa mengangguk juga. Tidak ada hak baginya untuk melarang lelaki itu duduk di sana. Toh dia sendiri juga tamu di rumah itu. “Sudah makan belum:” tanya lelaki itu lagi memecah kebisuan yang sempat terjdi di antara mereka berdua. “Sudah,” Elsa mengangguk pelan.
“Tidak turun melantai?” kembali lelaki itu bertanya,seakan tak ingibn menjadi kebisuan antara mereka. “Tidak,” singkat saja Elsa menyahut.
Lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban dari Elsa. Lelaki itu diam-diam memperhatikan Elsa. Elsa Cuma menunudukkan wajahnya begitu tahu lelaki itu dengan teliti memperhatikannya. Di tekannya debar jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang. Ah, mau apa laki-laki ini? Mengapa ia memandangku begitu? Tanyanya dalam hati.
“Oya, kita belum kenalan. Nama saya Fery, Anda siapa?” sekonyong-konyong lelaki itu menjulurkan tangannya, yang seketika itu di sambut Elsa sambil menyebukan namanya, karena ia tak ingin di bilang sombong ayau kampungan bila menolak perkenalan itu.
“Kamu datang sendiri?” tanya Fery.
“Ramai-ramai, Mas” sahut Elsa kemudian terus terang. Fery memandangnya separuh heran. “Mana teman-temanmu lainnya?” tanya Fery lagi. “Ada di dalam. Mungkin melantai.” Jawab Elsa.
“Kenapa kamu tidak ikut dengan mereka?” lagi-lagi Fery bertanya.
“Tidak ah, lebih enak di sini. Banyak pemandangannya,” sambil Elsa mengarahkan pandangan matanya ke tempat anak-anaknya bermain.
“Sejak tadi kulihat, pandanganmu selalu mengarah kesana terus. Kamu bawa keponakan?” tanya Fery lagi setelah menarik nafas sesaat.
“Bukan keponakan, Mas tapi anak,” ungkap Elsa jujur.
“Oya?” Kali ini Fery tak dapat menyembunyikan kekagetannya. “Kamu... Kamu bawa anak?”
“Benar, Mas,” angguknya
“Berapa orang anakmu?”
“Dua,” diam-diam Elsa menggerutu dalam hati. Sejak tadi hanya perttanyaan terus yang di lontarkan lelaki di hadapannya. Mau apa sih sebenarnya?
“Kalau kedua anakmu di bawa, pasti Papanya ikut dong?” tanya Fery lagi membuat hati Elsa berdegub kencang. “Mm..... Papa mereka sudah meninggal sebulan yang lalu,” ucap Elsa polos.
“Oh, eh, maaf, aku telah membangkitkan kenangan pahitmu,” Fery terperangah namun dengan cepat ia membenahi reaksinya kembali. “Tidak apa-apa,” Elsa menelan ludahnya yang terasa getir.
Suasana sesat kembali terdiam, seakan sibuk dengan pikiran masing-masing. D tempatnya Fery termangu rikuh. Pengakuan polos yang di ungkapkan Elsa membuatnya terkesima. Fery tidak menyangka kalau wanita secantik itu sudah di karuniai anak, bahkan baru saja di tinggal mati suaminya. Oh, betapa malangnya nasib mereka.ujar Fery dalam benaknya.
“Kalau boleh ku tahu, kamu tinggal di mana Elsa?” tanya Fery lagi memecah keheningan. Elsa tercenung mendengar pertanyaan itu. Ah, untuk apa Fery tanya itu? Haruskah dia memberi tahukan alamatnya? Di buangnya jauh-jauh pikiran buruknya dengan menyebutkan alamatnya kepada Fery. Dan fery pun langsung mencatat dalam ingatannya.
“Boleh kan kalau kapan-kapan aku main ke rumahmu? Tanya Fery lagi membuatnya kikuk.
“Silahkan aja, Mas,” pikiran realitasnya kembali menyuruhnya untuk berucapdemikian.
Fery tersenyum senang. Di pandangnya lagi sosok wanita yang entah mengapa telah membuatnya tertarik ini.
Sementara di tempatnya Elsa begitu gelisah. Brengsek benar Noni dan Tanti. Kenapa mereka tidak segera muncul dan mengajaknya berlalu dari tempat ini? Apakah mereka sudah terlanjur asyik dengan pasangan masing-masing hingga begitu saja melupakannya? Meras tak enak berdua-duaan terus dengan lelaki yang baru di kenalnya, Elsapun segera minta diri. “Maaf ya Mas, saya mau menemui anak-anak dulu.”
“Oh, silahkan, Elsa” tutur fery.
Dengan hati lega Elsa pun segera meninggalkan lelalki itu, menyusul anak-anaknya yang masih asyik bermain. Di lihatnya anak-anaknya masih menikmati permainan mereka, Elsa merasa gembira melihat anak-anaknya riang bermain.
Bersambung................
postingan ini berkategori
CERITA
/
CERPEN
/
NASKAH
dengan judul
Di hatimu ku titip cinta, Bagian 5
. Jangan lupa menyertakan URL
http://joyodrono-cahmabung.blogspot.com/2013/03/di-hatimu-ku-titip-cinta-bagian-5.html
. Jika ingin memposting ulang . Terima kasih!